26.1 C
Jakarta

Belajar Islam Secara Benar, Mencegah Sikap Ekstremisme Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniBelajar Islam Secara Benar, Mencegah Sikap Ekstremisme Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ekstremisme beragama mungkin menjadi sesuatu yang berbahaya baik untuk kelangsungan negara, masyarakat, atau untuk umat beragama itu sendiri. Faktanya memang ada sekelompok orang yang memiliki pandangan agama yang demikian.

Mereka suka menyalahkan hingga mencap sesat orang di luar kelompok mereka sendiri. Tidak jarang pandangan seperti ini berujung kepada mengkafirkan sesama saudara seagamanya hingga pada tindak kekerasan.

Dalam bahasa Arab, ekstremisme sendiri seringkali disebut sebagai tatharruf. Adapun di dalam nash baik Al-Qur’an maupun hadis kerap diistilahkan sebagai ghuluw. Menurut Syekh Dr. Yusuf Qardhawi dalam Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya (1985), ghuluw diartikan sebagai sikap berlebih-lebihan, dan Islam jelas melarang hal tersebut.

Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah, bahwa Nabi Saw bersabda, “Hindarilah daripadamu sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya.”

Pendapat tersebut senada sebagaimana dijelaskan oleh Kementerian Agama RI dalam buku yang mereka keluarkan yang berjudul Moderasi Beragama (2019), yang menjelaskan bahwa ekstremisme dalam bahasa Arab juga disinonimkan dengan istilah ghuluw dan juga tasyaddud, yang mana dalam konteks beragama berarti bersikap melebihi batas dan ketentuan syariat agama.

Maka lawan kata dari ekstremisme beragama itu ialah moderat atau dalam bahasa Arab disebutkan sebagai wasathiyah.

Oleh sebab itu moderasi beragama menjadi sebuah cara untuk mencegah sikap ekstremisme ini. Sikap yang moderat berarti berdiri di pertengahan di antara perilaku esktrem yang ada, yakni sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Oleh sebab itu, moderasi beragama menjadi solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lainnya (Kemenag RI, 2019: 18)

Lebih lanjut, Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa sikap ekstremisme beragama ini bisa diakibatkan karena lemahnya pemahaman terhadap agama, seperti kecenderungan memahami nash-nash agama secara harfiah tanpa mendalami maksud kandungan serta tujuannya

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Sibuk mempertentangkan hal yang merupakan perkara furu’iyah hingga lupa pada perkara yang ushuliyah, condong kepada penyempitan dan penyulitan dalam beragama, serta kedangkalan tentang beberapa pengertian pokok mengenai Islam.

Maka cara untuk merubah pandangan dari ekstremisme menuju kepada pandangan yang moderat itu ialah dengan cara memperdalam pengetahuan agama secara benar.

Sebagaimana disebutkan oleh Prof. Quraish Shihab, bahwa kunci pertama menerapkan prinsip wasathiyah ialah pengetahuan, yakni mengetahui perihal ajaran-ajaran agama dan juga mengenai kondisi-kondisi di masyarakat.

Maka cara untuk mencegah dan menangani pandangan ekstremisme beragama itu dapat dilakukan dengan mempelajari perihal agama secara benar. Dalam tradisi keilmuan dan pendidikan Islam, cara mempelajari agama atau menuntut ilmu yang baik telah dijelaskan dan dicontohkan oleh para ulama sejak zaman dahulu.

Seperti harus didampingi oleh guru yang baik dan benar, yakni guru yang juga memiliki otoritas dalam mengajar. Lalu belajar secara bertahap dan perlahan, di mana seorang murid harus memulai dari bahasan paling mendasar hingga bahasan yang tinggi.

Juga menjaga adab-adabnya baik terhadap hubungan guru dengan murid hingga terhadap kitab-kitabnya. Banyak para ulama yang telah menulis mengenai adab para penuntut ilmu ini, yang lumrah dijadikan rujukan misalnya Syaikh Az-Zarnuji yang menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim, hingga KH. Hasyim Asy’ari yang menulis kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.

Namun sayangnya di zaman sekarang ini banyak yang mempelajari agama hanya secara instan khususnya melalui internet dan dilakukan tanpa bimbingan guru. Sehingga mereka tidak mendapat ilmu dan pemahaman mengenai agama secara komprehensif. Di zaman keterbukaan informasi ini pula muncul banyaknya ustadz dan ulama dadakan sehingga menyulitkan kita memilah-milih mana yang otoritatif dan mana yang tidak.

Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya kerap kali membentuk pandangan ekstremisme beragama, karena sempitnya wawasan dan tidak adanya guru yang otoritatif yang membimbing dan mengarahkannya. Maka tidak ada cara lain, bahwa mereka-mereka yang memang otoritatif dalam mengajarkan perihal agama Islam ini, mesti lebih bisa menyuarakan dan membumikan lagi pemahaman Islam secara benar secara langsung maupun melalui dunia maya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru