31.7 C
Jakarta
Array

Belajar Ikhlas dengan Menulis

Artikel Trending

Belajar Ikhlas dengan Menulis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam sebuah kesempatan mendampingi kawan-kawan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Arga Dahana dari Universitas Muria Kudus (UMK) yang tengah menggelar pelatihan penulisan, ada satu pertanyaan yang cukup menarik dilontarkan oleh salah satu peserta.

‘’Mas, kami saat ini sedang mengikuti pelatihan penulisan. Harapannya, ke depan kami bisa berkarya melalui tulisan. Kawan-kawan saya yang berkecimpung di Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM), menerbitkan majalah dan buletin, tetapi responsnya juga sangat kurang. Bagaimana dengan karya kami nanti?’’ tanya salah satu peserta.

Cukup tertarik juga penulis dengan pertanyaan itu. Dan secara spontan, Saya katakan, bahwa menulis adalah sarana yang baik belajar menjadi orang yang sabar dan ikhlas.

Pertama, belajar menjadi sabar. Mengapa demikian? Karena proses seseorang bisa memiliki keterampilan menulis dengan baik, butuh proses yang sangat panjang dan tidak bisa sertamerta kemampuan menulis itu dimiliki tanpa sebuah proses pembelajaran.

Dan proses belajar menjadi seorang penulis, juga mensyaratkan sebuah aktivitas lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu membaca. Membaca adalah hal mutlak yang tak bisa diabaikan oleh seorang penulis, karena dengan itulah, maka seorang penulis memiliki wawasan yang luas dan akan kaya dengan diksi.

Ya, membaca memang hal yang teramat penting, yang mestinya harus menjadi budaya kita semua, khususnya para penulis. Salah seorang senior saya pernah berpesan: ‘’Kalau Anda ingin jadi penulis yang baik, maka harus jadi pembaca yang baik juga’’.

Kedua, belajar ikhlas. Pertanyaannya, apakah ada keterkaitan antara aktivitas menulis dengan keikhlasan?

Sangat terkait. Seorang penulis, tugasnya adalah menulis. Sebuah kerja-kerja intelektual yang melelahkan namun memiliki manfaat yang sangat besar bagi sebuah peradaban. Pramoedya Ananta Toer (Pram) bilang: Menulis adalah tugas nasional.

Namun demikian, bagi penulis-penulis yang belum begitu dikenal, hasil dari proses kreatifnya menulis, belum tentu bisa langsung diterima oleh sebuah media -jika dikirimkan ke media massa- karena mesti  bersaing dengan karya-karya dari penulis lain.

Di posisi inilah, seorang penulis mesti ikhlas dan tidak boleh menggerutu apalagi patah semangat jika karyanya tidak dimuat (dipublikasikan). Dimuat ataupun tidak, seorang penulis harus tetap menulis.

‘’Sehari sekali walaupun setahun cuma sekali’’. Itu pesan guru Saya yang juga sastrawan kenamaan asal Semarang: S. Prasetyo Utomo. Maknanya, menulis harus dilakukan setiap hari, walaupun dalam setahun, karya (tulisan) Anda yang dimuat (di media) cuma satu.

Menilik dari statemen sastrawan S. Prasetyo Utomo tersebut, jelas bahwa untuk memiliki mental dan bisa melakukan aktivitas menulis sebagaimana yang disampaikan, seseorang butuh keikhlasan dan semangat luar biasa yang mesti senantiasa dijagainya.

Pembelajaran lain mengenai keikhlasan terkait aktivitas penulisan, kita bisa berkaca pada jurnalis (wartawan) yang bekerja di sebuah media massa cetak (surat kabar, majalah atau tabloid).

Para jurnalis di sebuah media cetak, setelah melakukan tugasnya menulis, tidak memedulikan apakah karyanya yang dimuat di media tempatnya bekerja itu dibaca orang, dibuat bungkus nasi kucing atau lainnya. Tugasnya adalah menulis, memberikan informasi yang bisa memberikan pencerahan kepada publik melalui karya-karyanya.

Akhirnya, jagailah senantiasa semangat untuk berbagi ilmu dan informasi melalui tulisan (karya-karya) berkualitas dan mencerahkan kepada publik. Apalagi di era sekarang, di mana hoax marak, maka karya-karya yang bermutu, berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan, tentu akan sangat ditunggu kehadirannya. Wallahu a’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru