27.3 C
Jakarta

Bekerja Untuk Membangun Tempat Ibadah Non Muslim, Bolehkah?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamBekerja Untuk Membangun Tempat Ibadah Non Muslim, Bolehkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Indonesia adalah negara yang penuh keragaman. Masyarakatnya sudah terbiasa bahu-membahu dan bergotong royong untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan. Sehingga tak jarang, sering kali kita melihat saudara kita yang muslim menjadi tukang bangunan untuk membangun tempat ibadah non muslim, baik itu pura, gereja, klenteng maupun wihara. Lantas apakah Islam membolehkan seorang muslim menjadi tukang bangunan untuk membangun tempat ibadah non muslim

Setidaknya ada dua pendapat ulama tentang hukum membangun tempat ibadah non muslim

Pertama, membangun tempat ibadah non muslim merupakan bentuk kemaksiatan, oleh karenanya tidak diperbolehkan bekerja menjadi tukang untuk membangunnya. Hal ini seperti pendapatnya Imam As Subki

قال الفقهاء لو وصى ببناء كنيسة فالوصية باطلة لأن بناء الكنيسة معصية وكذا ترميمها ولا فرق أن يكون الموصي مسلما أو كافرا وكذا لو وقف على كنيسة كان الوقف باطلا مسلما كان الواقف أو كافرا فبناؤها وإعادتها وترميمها معصية مسلما كان الفاعل لذالك أو كافرا كذا شرع النبي

Artinya, “Ulama ahli fikih mengatakan “Seandainya seseorang berwasiat untuk membangun gereja maka wasiat itu batal karena membangun gereja adalah maksiat begitu juga merenovasinya, dan tidak ada perbedaan baik orang yang berwasiat adalah muslim maupun kafir, begitu juga seandainya wakaf untuk gereja maka wakaf tersebut batal, baik orang yang wakaf adalah muslim maupun kafir, maka pembangunan gereja, renovasi maupun pemugaran gereja adalah maksiat, baik pelakunya muslim maupun kafir dan inilah syariat nabi Muhammad Saw”. (Taqiyuddin As-Subki, Fatawa as-Subuki, [Kairo, Dar Ma’arif: 2011 M], juz II, halaman 369).

BACA JUGA  Hukum Baca Qunut di Separuh Terakhir Ramadhan

Pekerja Yang Membangun Tempat Ibadah Non Muslim Tidak bermaksiat

Kedua, pekerja yang disewa untuk membangun tempat ibadah non muslim tidak berdosa, karena hal tersebut bukanlah maksiat secara subtansial

(وجاز تعمير كنيسة)  قال في الخانية ولو آجر نفسه ليعمل في الكنيسة ويعمرها لا بأس به لأنه لا معصية في عين عمل

Artinya “Dan boleh dalam pembangunan gereja, dalam kitab al-Khaniyah disebutkan bahwa seandainya ia disewa untuk bekerja di gereja dan membangun gereja maka tidak masalah karena hal tersebut bukan maksiat secara substansial” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M], juz VI, halaman 391).

Dalam kitab, Mausuah Fikhiyah, diterangkan bahwa dalam keterangan Madzab Hanafiyah  yang dikenakan hukum maksiat adalah pihak yang melakukan maksiat secara langsung yaitu penyewanya atau pemberi upahnya dan bukan pekerjanya.

Dengan demikian menjadi jelas, apabila yang memberi upah adalah orang Islam dan menyuruh pekerja untuk membangun tempat ibadah non muslim maka yang dikenai hukum maksiat adalah yang memberi upah atau yang memperkerjakan. Dan apabila yang menyuruh adalah pihak non muslim, dan meminta pekerja muslim untuk membangunkan tempat ibadahnya, maka para pekerja tetap dihukumi tidak bermaksiat.

Walhasil dari pendapat yang kedua ini, pekerja dan atau pesuruh yang bekerja di tempat ibadah non muslim karena dikontrak atau disuruh oleh pihak tempat ibadah maka dihukumi tidak maksiat dan diperbolehkan, Wallahu A’lam Bishowab

 

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru