26.7 C
Jakarta

Bekal Perjalanan Musafir (5)

Artikel Trending

Bekal Perjalanan Musafir (5)
image_pdfDownload PDF

Keringanan Puasa

Sebagaimana dijelaskan pada tulisan serial sebelumnya, keringanan ini berasaskan prinsip kemudahan. Rasa capek dan berat saat perjalanaan harus diimbangi dengan kemudahan yang diberikan oleh agama. Sehingga agama tidak terkesan kaku, saklek menuntut pemeluknya dengen semena-mena. Ada

Hampir semua maklum, salah satu ritual ibadah yang mendapatkan keringanan (dispensasi) bagi musafir adalah puasa. Keringanan tersebut mencakup izin resmi dari Allah swt untuk tidak menjalankan puasa sementara waktu hingga kembali dalam keadaan dan kondisi normal, yaitu di luar perjalanan. Namun perlu dicatat bahwa keringanan ini tidak berarti menggugurkan tuntutan kewajiban puasa –jika itu memang puasa wajib seperti Ramadan atau nazar- sehingga pelaksanaannya harus diganti di lain waktu.

Baca: Bekal Perjalanan Musafir (3)

Baca: Bekal Perjalanan Musafir (4)

Izin resmi keringanan puasa yang diberikan Allah swt sudah sangat jelas terekam dalam al-Quran lebih tepatnya QS al-Baqarah [2]: 184. Para pakar hukum Islam (fuqahâ’) memberikan garis ketentuan keringanan ini. Jadi tidak serta merta semua bepergian dapat meringankan tuntutan berpuasa, syarat dan ketentuan berlaku. Di antara ketentuan yang harus dipenuhi sebagai berikut:

  1. Jarak perjalanan minimal kurang lebih 82 km (jarak minimal diperbolehkannya meringkas (qashr) shalat.
  2. Perjalanan dimulai sebelum terbitnya fajar, ini menurut pendapat mayoritas fukaha (selain madzhab Hanbali).
  3. Bepergian bukan dengan tujuan yang menimbulkan dosa (maksiat) yakni perjalanan yang mubah (selain madzhab Hanafi).
  4. Tidak berniat tinggal di tempat (mukim/menginap) selama empat hari selama perjalanan (selain madzhab Hanafi).
  5. Bukan orang yang selalu bepergian (mudîm al-safar) seperti supir dll, kecuali jika puasa khawatir dapat mengganggu kesehatan dan kelangsungan kegiatan sehari-hari (madzhab Syafii).

Dalam suatu waktu Rasulullah saw bersama para sahabat bepergian ke kota Mekah. Saat itu akan terjadi penaklukan Mekah (Fahtu Makkah). Kondisi Nabi saw dan semua sahabat sedang menjalankan ibadah puasa. Hingga tiba di kawasan Kuraʻ al-Ghamim, para sahabat kebingungan. Mereka mulai tidak tahan dan merasa berat dengan puasa yang sedang dijalankan. Nabi saw pun menjadi tempat mengadu, berharap pada pendapatnya yang menjadi solusi keadaan yang sedang dialami.

Akhirnya Nabi saw meminta segelas air untuk beliau minum. Sebagian sahabat mengikuti Nabi saw membatalkan puasa. Sementara sisanya tetap berpuasa. (HR. Muslim, al-Nasa’i, dan al-Tirmidzi). Menurut al-Syawkani riwayat sahih ini menjadi landasan diperbolehkannya berbuka saat perjalanan setelah sebelumnya telah niat berpuasa sejak malam hari.

Namun perlu digarisbawahi, puasa lebih baik dan afdal bagi musafir jika tidak dikhawatirkan mengganggu. Berdasarkan firman Allah swt QS al-Baqarah [2]: 184, kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru