26.1 C
Jakarta
Array

Bekal Perjalanan Musafir (3)

Artikel Trending

Bekal Perjalanan Musafir (3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menggabung (jamʻ) shalat

Jamʻ adalah menggabungkan dua shalat fardhu untuk dilakukan dalam satu waktu. Penggabungan ini hanya berlaku bagi shalat Dzuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya. Sehingga tidak dibenarkan menggabung Ashar dengan Maghrib, Isya’ dengan Subuh atau pun Subuh dengan Dzuhur. Keringanan menggabungkan dua shalat ini berlandaskan hadis Nabi saw yang dicantumkan oleh al-Bukhari (hadis no. 1056) melalui riwayat Ibnu Abbas ra yang menceritakan bahwa Rasulullah menggabungkan shalat Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika berada dalam perjalanan.

Shalat jamʻ ini ada dua; jamʻ taqdîm (menggabungkan di waktu shalat pertama) dan jamʻ ta’khîr (menggabungkan di waktu shalat kedua). Pembagian ini berdasarkan riwayat Abu Dawud (no. 1208) dan al-Tirmidzi (no. 553) dari Muadz bin Jabal yang menceritakan saat perang Tabuk, jika Nabi saw berangkat sebelum masuk waktu dzuhur beliau saw mengakhirkan shalat Dzuhur untuk digabungkan dengan shalat Ashar. Jika berangkat setelah masuk Dzuhur maka beliau saw melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar dulu baru berjalan. Jika beliau saw berangkat sebelum Maghrib, maka mengakhirkan Maghrib untuk menggabungkannya dengan shalat Isya’. Sebaliknya jika berangkat setelah masuk Maghrib, maka beliau saw memajukan shalat Isya digabung dengan shalat Maghrib.

Syarat-syarat jamʻ taqdîm (menggabungkan dua shalat di waktu shalat pertama) ada enam:

  1. Memulai shalat yang pertama, yakni Dzuhur atau Maghrib.
  2. Ada niat men-jamʻ (menggabungkan) pada takbiratul ihram shalat pertama.
  3. Berlanjut tanpa adanya pemisah antara shalat pertama (Dzuhur/Maghrib) dengan shalat kedua (Ashar/Isya).
  4. Masih dalam status musafir saat takbiratul Ihram shalat kedua.
  5. Shalat yang pertama sah.
  6. Mengerti ilmu dan tata cara jamʻ (menggabungkan dua shalat).

Sementara jamʻ ta’khîr (menggabungkan dua shalat di waktu shalat kedua) ada dua syarat:

  1. Pada waktu shalat pertama sudah niatan men-ta’khîr dua shalat.
  2. Masih dalam status musafir hingga selesai salam shalat kedua.

Shalat di atas kendaraan

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Jabir ra, sahabat Nabi saw pernah melihat Rasulullah saw shalat sunah di atas kendaraannya. Saat sujud, beliau saw memberi isyarat lebih rendah dari ruku’. Riwayat ini menjadi dasar diperbolehkannya shalat sunah di atas kendaraan dengan menghadap arah tujuan perjalanan.

Namun mengenai shalat fardhu di atas kendaraan baik mobil, kapal, maupun pesawat harus memenuhi syarat dan rukun shalat secara utuh. Sebab ada syarat dan rukun shalat yang sulit dilakukan di atas kendaraan, yakni menghadap kiblat (QS al-Baqarah [2]: 144), berdiri bagi yang mampu khusus shalat fardhu (HR al-Bukhari no. 1066), ruku’ dan sujud secara sempurna. Oleh karena itu jika tidak memungkinkan lagi memenuhi syarat dan rukun yang diminta maupun menjalankannya dengan jamʻ taqdîm atau ta’khîr, maka solusi terakhir adalah tetap melaksanakan shalat fardhu itu meski tanpa menghadap kiblat, ruku’ sujud tidak sempurna, dan tidak berdiri. Shalat dalam keadaan ini dinamakan shalat li hurmah al-waqti (untuk menghormati waktu shalat). Namun shalat li hurmah al-waqti tidak menggugurkan kewajiban shalat sehingga tetap wajib meng-qadha’ (mengganti) shalat fardhu tersebut. Wallahu Aʻlam [Ali Fitriana]  

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru