27.6 C
Jakarta
Array

Bedanya Sanad Keilmuan Ustadz Google dengan Pengajian Online (Bagian II-Habis)

Artikel Trending

Bedanya Sanad Keilmuan Ustadz Google dengan Pengajian Online (Bagian II-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagaimana dengan pengetahuan agama? Sektor ini pun tak luput dari kecenderungan tersebut. Masyarakat terkotak-kotak dengan ustadz idolanya masing-masing. Sering pula muncul labelling orang yang tidak menyukainya, bukan dari referensi pengetahuan agama. Pendek kata, agamaku dari guru digital dan status online.

Dialog tak lagi terjadi antara sang murid dan sang guru, lantaran para pembelajar agama itu nyaris tidak mengalami perjumpaan dengan gurunya. Sering saya jumpai, dalam informasi-infromasi keagamaan itu, sang ustadz hanya menampilkan foto dirinya, atau malah tidak sama sekali. Hanya tanya, lalu jawab. Jarang juga, di media sosial seorang ustadz atau ustadzah menjelaskan latar belakang pendidikannya. Kalaupun ditampilkan, pembaca mungkin tak sempat membacanya karena yang mereka perlukan, hanyalah jawaban atas masalah keagamaan yang mereka gusarkan.

Benarkah dalam belajar agama, seseorang harus mempunyai sambungan pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan? Jawabnya tentu saja ya. Pengetahuan yang diperoleh hendaknya tersambung kepada Nabi saw. Karena, dari sanalah pengetahuan agama pertama kali diperoleh. Ulama besar Imam Syafi’i mengatakan, tiada ilmu tanpa sanad. Begitu pula kata Imam al-Tsauri “menuntut ilmu tanpa sanad bagaikan seseorang yang ingin menaiki atap rumah tanpa tangga.”

Selama ini, mungkin kita hanya mengenal sanad dalam literatur hadits. Sanad dimaksudkan sebagai hasil pelacakan autentik terhadap perawi atas kekuatan perolehan matan atau redaksi hadits dari nabi SAW. Sanad juga bisa dimaksudkan sebagai ketersambungan pengetahuan dari seseorang kepada gurunya, hingga kepada nabi SAW.

Menuntut ilmu pada zaman milenial dianggap tidak praktis jika harus selalu bertemu sang ustadz. Apalagi, rasa ingin tahu anak muda itu begitu kuat dan harus segera menemukan jawabannya. Keingintahuan generasi milenial ini dijawab di pasar bebas digital dengan google yang menghidangkan santapan spiritual siap dilahap pembacanya.

Namun, muatan-muatan spiritual itu bisa saja menghadirkan interpretasi-interpretasi yang berbeda-beda. Persoalan agama tidaklah cukup dengan bacaan-bacaan bebas di dunia daring. Hal itu karena sang ustadz seringkali meninggalkan teks-teks bacaan itu begitu saja dan tak bisa didialogkan. Kalaupun ada menu tanya jawab daring, para ustadz itu pun tidak selalu bisa online dan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Apa yang tersurat dalam bacaannya kadang belum bisa dipahamkan, karena itu perlu ditanyakan. Kehadiran ustadz atau guru dipandang penting agar seseorang tidak berguru kepada benda mati. Almarhum Habib Munzir Al-Musawa (wafat 2013) pemimpin majelis dakwah yang banyak digandrungi anak-anak muda itu pernah memberi nasehat tentang pentingnya guru.

“orang yang beguru kepada buku saja, maka dia tidak akan menemukan kesalahannya. buku tidak dapat menegur, sedangkan guru bisa menegur jika dia salah. Jika tidak paham, dia bisa betanya. Sebaliknya, berguru pada sebuah buku, jika pembacanya tidak paham dia mungkin hanya terikat pada pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, seseorang haruslah punya guru, tempat dia bertanya. guru juga bisa menegurnya jika dia salah memahami.”

Guru tak hanya soal kekayaan ilmu, juga soal keteladanan. Kita tak hanya mempelajari pengetahuan yang dimilikinya, tapi juga perilaku dan keteladanannya. Artinya, kecendrungan bertanya soal agama lewat media sosial tanpa mencermati siapa yang membawanya dan mengonfirmasi isinya merupakan hal-hal yang mestinya dihindarkan.

Kini, seiring kemajuan zaman, sang ustadz bisa menjumpai komunitas daring (online) murid-muridnya, tanpa harus datang ke majelis pengajian atau kerumahnya. Lihatlah model pengajian online dengan kiai online. Sebagai contoh Ulil Abshar Abdalla dengan pengajian kitab Ihya Ulumuddin, yang melakukan “kopi darat” dengan santri-santri onlinenya.

Disinilah sanad online bertemu karena pengajaran agama sangat mudah diakses, gurunya bisa ditemui, mampu, dan bisa merespon murid-muridnya. Sang murid atau santri juga bisa bertanya di mana dan bagaimana gurunya atau dainya memperoleh ilmu pengetahuan. Demikian pula gairah generasi milenial mengaji sekrang ini. Tantangan ini perlu dijawab dengan tepat, dengan menyediakan guru-guru mengaji yang terpercaya sanad keilmuan dan silsilah gurunya agar pengajian agama benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru