30.9 C
Jakarta
Array

Beda Itu Biasa: Sebuah Kritik untuk Kelompok Takfiri

Artikel Trending

Beda Itu Biasa: Sebuah Kritik untuk Kelompok Takfiri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Fenomena masyarakat muslim Indonesia dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Gejala umat yang “mengeras” semakin kentara dalam realitas kehidupan dewasa ini. Banyak kelompok yang tidak memahami Islam secara komprehensif. Alih-alih beragama secara kaffah, yang ada hanya kebenaran sepihak. Walhasil, sikap memperjuangkan kebenaran monolitik inilah yang menyebabkan perpecahan karena menganggap kelompok yang berbeda dengannya adalah sesat dan kafir (takfiri).  Inilah yang disebut dengan paham takfiri. Padahal yang dikafirkan adalah orang mengucap syahadat, juga menunaikan shalat, dan mengamalkan rukun Islam dan iman serta ajaran agama lainnya.

Dari sini dapat terlihat betapa masyarakat kita belum mampu membedakan antara agama dan tafsiran terhadap agama, antara syariah dan fikih, maupun antara budaya dan agama. Mengatasnamakan agama seyogiyanya hanya pada hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, yang berlandaskan pada dalil-dalil syariah yang dalalahnya bersifat qath’i. Masyarakat masih belum dapat menerima bahwa –meminjam konsep M. Quraish Shihab- Islam itu tidak bertanya 7+3 berapa? (Menghasilkan jawaban tunggal), Islam itu bertanya, 10 itu berapa ditambah dengan berapa? Ia bisa 1+9, 2+8, 3+7 dst. (Multi tafsir, banyak jalan menuju surga).

Persoalan ini, khususnya yang berbau takfiri ingin dijawab secara ilmiah oleh Prof. Dr. Umar Shihab dalam buku terbarunya, “Beda Mazhab, Satu Islam”. Dengan latar belakang pendidikan penulis di jurusan hukum Islam, maupun latar belakang keluarga trah Shihab yang sangat dikenal sebagai keluarga ulama, beliau sangat otoritatif untuk menyajikan dalil-dalil nas maupun bukti-bukti sejarah yang menunjukkan betapa perbedaan (ikhtilaf) dalam dunia Islam adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bahkan sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad saw. Ini dapat ditelusuri jejak-jejaknya di Al-Qur’an, Hadis maupu catatan para ulama.

Berbeda dengan kebanyakan cendekiawan muslim Indonesia yang selalu menunjuk kesamaan Rukun Iman dan Rukun Islam sebagai titik persatuan umat Islam (Maksudnya, selama rukun Iman dan Rukun Islam nya sama, maka perbedaan furu’iyyahnya dapat ditolerir), Umar Shihab justru menganggap perbedaan Rukun Iman dan Rukun Islam sebagai sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. Sebab keduanya hanyalah daftar urutan hasil ijtihad para ulama, yang memiliki landasan teologis masing-masing.

Penulis menawarkan melting pot (Titik temu) yang baru bagi persatuan umat Islam se-Dunia, yaitu kembali merujuk pada Ushuluddin, pokok-pokok agama, yaitu Tauhid (Percaya akan keesan Allah), Nubuwwah (Percaya pada kenabian Muhammad saw.), dan Kiamat (Percaya pada hari akhir).

Tiga poin ini harus diimani setiap muslim. Jika tidak, maka dia bukanlah muslim. Ketiga poin ini pada prinsipnya mengacu pada Al-Qur’an dan pendapat seluruh mazhab yang diakui (Berdasarkan Risalah Amman tahun 2005 yang, dihadiri lebih dari 200 ulama muktabar, dari 50 negara sedunia. Termasuk Mufti Mesir, Ali Gomaa dan Grand Syekh Al-Azhar Muhammad Sayyid Thantawy)

Perbedaan adalah rahmat jika ia dijadikan landasan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairaat), namun tidak pula dapat dinafikan bahwa perbedaan dapat menimbulkan kerusakan (Lihatlah bagaimana sejarah Islam mencatat bagaimana Ulama disiksa karena tidak berfatwa sesuai dengan keinginan umara pada zaman dahulu).

Prof. Umar Shihab mencatat betapa umat zaman now merancukan istilah ikhtilaf (perbedaan) dengan perpecahan (Iftiraq) dengan takfiri. Padahal, sangat jelas dalam Al-Qur’an larangan untuk berpecah belah (wa laa tafarraquu). Olehnya itu, setelah penulis membahas dengan rinci dalil perbedaan dari tiap-tiap mazhab yang disertai contohnya, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Beliau menutup dengan himbauan agar umat Islam tidak lagi mempermasalahkan (hingga berujung pada perpecahan) perbedaan mazhab, melainkan merayakannya perbedaan itu dan bersama-sama merajut Kesatuan Islam.

Buku yang sangat bermanfaat ini sayangya tidak disertai dengan tampilan dalil-dalil yang berbahasa arab, sehingga akan sedikit menyusahkan  peneliti untuk merujuk kembali referensi yang dicantumkan oleh penulis. Disamping itu, meskipun buku ini tidak terlalu tebal sehingga cukup menarik untuk dibaca (khususnya pembaca awam yang tidak tertarik pada buku referensi tebal), desain sampul yang disajikan kurang menyimbolkan persatuan di atas perbedaan yang merupakan visi buku ini.

Secara umum, dengan bahasa yang mudah dicerna dan contoh serta dalil yang jelas, buku ini sangat direkomendasikan bagi para pengkaji Islam, baik dari golongan mahasiswa, penceramah, maupun pengambil kebijakan di bidang agama Islam. Sehingga pada waktunya nanti, umat Islam akan semakin dewasa untuk menghadapi perbedaan, tidak lagi serba sensitif dan agresif  terhadap penafsiran yang berbeda. Bahkan, diharapkan umat Islam Indonesia di masa depan akan sibuk berkolaborasi untuk memajukan bangsa dan agama, tidak hanya dengan sesama muslim dari mazhab yang berbeda, tetapi juga bergotong royong dengan penganut agama lain, menciptakan Indonesia yang Madani di bawah naungan kalimatun sawa, Bhinneka Tunggal Ika. Semoga.

 

Judul Buku      : Beda Mazhab Satu Islam

Penulis             : Prof. Dr. Umar Shihab

Penerbit           : Quanta

Cetakan           : 2017

Hal                    : vi + 174

ISBN                 : 978-602-04-0328-1

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru