27.9 C
Jakarta

Bayang-bayang Muslimah Kaffah Pejuang Khilafah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBayang-bayang Muslimah Kaffah Pejuang Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Sholehah Demi Khilafah; Perempuan dalam Gerakan dan Ideologi Politik Hizbut Tahrir Indonesia, Penulis: Inayah Rohmaniyah, Penerbit: Lampu Merapi dan Mirra Buana Media, Kota Terbit: Yogyakarta, Tahun Terbit: 2020, Peresensi: Moh Syaiful Bahri.

Harakatuna.com – Sebagai akademisi, Inayah Rohmaniyah melakukan riset ilmiah yang cukup detail tentang gerakan dan ideologi politik Hisbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi kemasyarakatan yang secara resmi dibubarkan pada tahun 2017 lalu, menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Yang mana rumah fisikinya dikubur, tetapi tidak dengan ruhnya (ideologi). Hal ini terbukti pasca pembubaran HTI tidak menjadikan masyarakat yang terjaring organisasi ini absen dalam aktivisme kegiatan dan kerja-kerja sosial lain.

Hadirnya buku Sholehah Demi Khilafah: Perempuan dalam Gerakan dan Ideologi Politik  Hizbut Tahrir Indonesia (2020), Inayah membuka kembali peta pergulatan anak-anak ideologis HTI, dan uniknya lagi tidak lepas dari sosok perempuan. Doktrin jihadis terhadap indvidu, baik laki-laki dan perempuan dilakukan dari ruang lingkup keluarga. Bisa dibayangkan, dalam satu keluarga tumbuh kewajiban berjihad untuk menegakkan Khilafah Islamiyah yang sudah menjadi prototipe HTI atau MHTI.

Pada mulanya, tahun 1990-an ide-ide dakwah HTI tersebar di berbagai masjid-masjid perkampungan dan kampus, perusahaan, kantor dan perumahan. Selain mengajak untuk selalu mengedepankan syariat Islam, agen-agen HTI mendorong kesadaran kolektif untuk kembali memperjuangkan dan menyelamatkan umat Islam. Lebih-lebih kehadiraan perempuan membawa nafas lain.

Oleh karenanya, meskipun ada kewajiban berjihad menegakkan Khilafah Islamiyah, perempuan masih berada di lingkaran yang didominasi oleh kaum laki-laki. Dalam wilayah domestik, laki-laki sebagai pemegang kuasa dijadikan imam bagi anggota keluarga. Kekuasaan ini kerap menjadi pintu dominasi atas hak-hak dan peran perempuan di ranah domestik. Sentralitas dan superioritas laki-laki diyakini sebagai jalan menimbah keberkahan dan kelanggengan keluarga. Inayah menyebut sebagai takdir dan mendapat posisi legitimasi teologis dan sosiologi dalam kelompok organisasi HTI bagi kalangan mereka.

Pada level organisasi atau publik, perempuan diberikan ruang, tetapi sempit. Suara-suara perempauan untuk kemaslahatan, tetapi lak-laki justru lebih memiliki keunggulan dalam membuat keputusan penting. Kita bisa menyaksikan lingkaran dakwah perempuan yang terbatas hanya untuk perempuan saja. Selebihnya diserahkan sama laki-laki, baik jamaah perempuan dan laki-laki. Inilah yang bagi aktivis feminis sebagai ketimpangan peren antara laki-laki dan perempuan. Alih-alih sebagai agen untuk menyampaikan Islam rahmatan lil alamin, justru sisi lain perempuan diberi visi penegak Khilafah Islamiyah (hlm. 106).

Pemikiran yang berkembang dalam komunitas HTI, tidak ramah kesetaraan. HTI/MHTI menyebut bahwa laki-laki dan perempuan dibedakan oleh Islam, dan agama juga memberikan laki-laki keistimewaan, dan tidak pada perempuan (hlm. 111). Tolak ukur keistimewaan semacam ini membuka keran inferioritas perempuan di ranah domestik dan publik. Seolah-olah laki-laki mempunyai kekuasaan di atas perempuan, dan pemikiran semacam ini mencederai visi Islam yang memuliakan sosok perempuan.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Lebih jauh, Inayah menemukan fakta menarik dalam penelitiannya di Gorontalo. Ketaatan dan ketundukan pada suami dipahami sebagai takdir bagi perempuan MHTI yang sudah menikah (hlm. 121). Seorang informan, Tira (nama samaran) justru menganggap bahwa ketaatan dan kepatuhan pada suami adalah sebuah kemutlakan yang menentukan hubungan harmonis dan sakinah dalam keluarga. Di sisi lain, seorang Juru Bicara MHTI malah menganggap kesetaraan gender yang digaungkan oleh kaum feminis selama ini melukai kehormatan perempuan (hlm. 123).

Bias pemaknaan pada kesetaraan gender sudah menjadi doktrin mapan dalam lingkungan HTI dan MHTI. Seolah-olah konsep kesetaraan gender jadi jurang kelam bagi kemerdekaan perempuan. Kesetaraanlah yang menambah kasus penceraian, kekerasan seksual, dan juga kemunduran ekonomi akibat perempuan ingin setara dan menganggap laki-laki tidak diperlukan. Logika ini bukan hanya membahayakan perempuan, melainkan juga menumpulkan gerakan feminis Indonesia yang sudah berdarah-darah memperjuangkan kesetaraan gender. Yang dalam istilah Faqihuddin Abdul Qodir dalam konsep mubadalah kesetaraan gender menekankan pada kesalingan.

Menariknya, para aktivis MHTI memiliki konsep sendiri tentang gender. Di mana gender digunakan mengidentifikasi kontruksi sosial yang berkenaan dengan peran, tanggung jawab, dan status yang diletakkan pada laki-laki dan perempuan (hlm. 127). Narasi dan pemikiran ini mencampuradukkan antara kontruksi sosial yang selalu berubah-ubah dengan organ fisik dan peran reproduksi yang sifatnya kodrati. Hal semacam ini yang melahirkan anggapan bahwa peran sentral perempuan berada di rumah, merawat anak dan menjaga keluarga sebagai peran utama.

Anehnya lagi, ada pemahaman yang menganggap bahwa poligami justru berat bagi kaum laki-laki, dan tidak untuk perempuan. Di mana poligami dianggap sebagai tiket menuju surga-Nya bila perempuan tersebut rela dan rida. Berbeda dengan laki-laki yang bertugas untuk membuat rukun dan saling berhubungan baik. Maka dari itu, baik di ranah domestik ataupun publik, perempuan sudah didoktrin untuk patuh sepenuhnya pada laki-laki. Meskipun pada dasarnya mereka mempunyai hak untuk bersuara dan memberikan kesempatan sama.

Bangunan pengetahuan semacam ini, dalam artian yang berkaitan dengan isu-isu perempuan masih tidak bisa lepas dari visi menegakkan Khilafah Islamiyah. Setiap masalah yang ditimbulkan dalam kehidupan sehari-hari muncul karena Islam tidak dijadikan sebagai pegangan dalam keseharian; ekonomi, sosial dan politik. Narasi-narasi yang dibangun, apalagi berkaitan dengan perempuan masih seputar jihad berdirinya bendera tauhid sebagai panji keemasan Islam dan jalan kebahagiaan dunia akhirat.

Buku ini mengajak kita, lebih-lebih perempuan untuk terus merawat nalar kritis dalam melihat dan berproses di salah satu organisasi kemasyarakatan. Sebab, dalam tubuh perempuan ada energi perlawanan, perdamaian dan pengalaman yang cukup signifikan untuk keluar dari dominasi penindasan berbasis gender.

Muhammad Syaiful Bahri
Muhammad Syaiful Bahri
Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, Aktif di Lingkaran Kajian Culture, Humanity and Religion di Lesehan KUTUB Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru