32.9 C
Jakarta

Batasan Aurat Perempuan Menurut 4 Mazhab

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamBatasan Aurat Perempuan Menurut 4 Mazhab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Namun, dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara”, dan ketika ia sebagai ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman: “Surga berada di telapak kaki ibu.” Tetapi, pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Ia terlarang tampil di panggung politik yang ingar-bingar.

Pandangan-pandangan tersebut, pada gilirannya akan melahirkan berbagai aturan, kebijakan dan praktik diskriminasi, marginalisasi serta kekerasan terhadap perempuan, yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja, bahkan paling ideal. Terbukti, di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua buah bola matanya atau bahkan kerap kali wajahnya dilekatkan cadar hitam. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon, ini karena di dalamnya terdapat sesuatu yang berharga. Apabila melepas bungkus tubuhnya di ruang sosial, ia harus “ditertibkan” dan disanksi.

Dewasa ini, isu yang berkenaan dengan perempuan sering menuai kontroversi, terutama di tanah air tercinta kita yang di dalamnya terdiri dari penduduk yang beraneka ragam agama. Pada tanggal 23 Januari 2021, keharusan memakai kerudung di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat memicu polemik dan membuat masyarakat geger. Pasalnya, aturan itu tak hanya untuk siswi muslim, tetapi juga untuk mereka yang non muslim.

Lagi pula, agama Islam sendiri tidak membuat aturan yang demikian detail mengenai hal tersebut. Hal ini tentunya bukan lantaran keterbatasan jangkauan hukum Islam terhadap suatu permasalahan yang muncul di permukaan, melainkan tawaran Islam akan arti sebuah kebebasan berekspresi demi mempermudah umat di dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Dan soal memakai kerudung itu erat kaitannya dengan aurat perempuan.

Pengertian Aurat

“Aurat” sendiri, secara bahasa, artinya celah yang memungkinkan seseorang jatuh terpuruk dalam persoalan [Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashirah, 2/1128]. Dalam bahasa sehari-hari, aurat sering dimaknai sebagai bagian dari tubuh yang harus ditutupi karena dipandang aib bila dibuka dan membikin malu [Fiqh al-Lughah, 1].

Dalam al-Quran sendiri, kata ini disebutkan empat kali. Dua kali dalam bentuk tunggal (dua kali di QS. al-Ahzab: 13) dan dua kali dalam bentuk plural (QS. an-Nur: 31 dan 58). Bentuk tunggal diartikan sebagai celah yang mudah dimasuki musuh, atau orang lain yang ingin berbuat jahat. Sementara, bentuk plural diartikan sebagai bagian-bagian anggota tubuh yang dianggap menarik dari perempuan yang sebaiknya ditutup karena tidak pantas dibuka (QS. an-Nur: 31), dan sebagai waktu-waktu di rumah yang biasanya seseorang sedang berpakaian santai dan terbuka sehingga orang lain yang ingin masuk harus minta izin terlebih dahulu (QS. an-Nur: 58).

Batasan-Batasan Aurat

Berangkat dari tidak adanya argumen yang menjelaskan secara detail dan menyeluruh tentang batasan-batasan aurat perempuan di hadapan laki-laki, maka sudah sewajarnya para mujtahid melakukan ijtihad terkait batas anggota yang dikategorikan sebagai aurat. Ijtihad ini bermuara dari dalil universal yaitu

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya”. [QS. an-Nur: 31]

“Perhiasan” dan “apa yang biasa tampak” adalah dua kata krusial yang maknanya dapat diinterpretasikan secara ambigu. Kata pertama, ada yang memaknainya secara literal, yakni perhiasan yang melekat pada tubuh, seperti gelang tangan atau kaki, cincin, kalung, anting, celak mata (eye liner), pewarna pipi atau hena/pacar/inai di tangan dan kaki. Sebagian lagi menafsirkannya dengan makna metaforis, sebagai tempat di mana perhiasan itu dikenakan, yakni wajah dan telapak tangan, leher dan ujung bawah betis. Penafsiran yang terakhir ini tentunya melebihi yang pertama sehingga lebih layak untuk ditutup.

Kata kedua, pandangan yang masyhur adalah wajah dan telapak tangan. Ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Sayyidah Aisyah r.ha. Karena itu, menurut mereka perempuan harus menutupi tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Tetapi, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyebut hadis lain bahwa di samping mengecualikan wajah dan telapak tangan, juga separuh lengan. Ketiga bagian ini boleh dibuka. Imam asy-Syaukani menginformasikan bahwa kaki sampai setengah betis perempuan bukanlah aurat sehingga tidak harus ditutup. Pandangan paling ketat dikemukakan oleh Imam Hanbali, tokoh perintis aliran literalis (fundamentalis). Ia menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan harus ditutup, tanpa kecuali.

Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, Imam Ibrahim an-Nakha’i, Imam Sufyan ats-Tsauri berpendapat bahwa lengan tangan perempuan bukanlah aurat, demikian juga rambut yang terjurai. Bahkan, lengan bagian atas (عضد) dianggap bagian “apa yang biasa tampak” oleh salah seorang ulama besar hanafiyah yaitu Imam Najmuddin Abi Hafs Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi. [Thilbatuth Thalabah Fil Ishthilahatil Fiqhiyah: 191]. Tambahan, di dalam kitab Syarh Fath al-Qadir, Imam Abu Yusuf menoleransi untuk membuka separuh dari betis. Sehingga wajar kiranya, sebagian ahli fikih Mazhab Maliki menganjurkan agar baju perempuan menutup hingga separuh betis. Ia mengatakan: wal mustahabbu fits tsiyabi antakuna ila nisfis-saq.

Salah satu penyebab beragamnya interpretasi di kalangan para Imam dalam memahami teks suci di atas adalah menghindari kerepotan atau kesulitan (raf’an lil haraj wal masyaqqah), atau dengan kata lain untuk kebutuhan kemudahan bergerak (lil hajah). Sehingga ulama membuat nataij `amaliyah atau konklusi praktis, yaitu “Apabila larangan terhadap sebuah perkara berdasarkan mafsadah yang ada di dalamnya, maka perkara itu hanya bisa dibolehkan dalam keadaan darurat. Dan apabila perkara yang dilarang tidak mengandung mafsadah semisal hanya sebagai bentuk tindakan preventif (saddud-dzari’ah) maka hukumnya bisa berubah menjadi boleh saat ada hajat, di mana hajat ini masih dikategorikan sebagai kebutuhan yang biasa” [Shina’ah al-fatwa al-‘aqalliyat: 112].

BACA JUGA  Janji Politik dari Seorang Calon Wajibkah Ditunaikan?

Namun, di sisi lain juga dilatarbelakangi oleh adat atau tradisi. Imam Zamakhsyari menyebut alasan adat untuk mengecualikan perintah dalam petikan ayat 31 surah an-Nur, dan yang dimaksud dengan pengecualian berdasarkan adat adalah sesuatu yang dibutuhkan (hajat). Jikalau tidak dibuka maka akan ada kesulitan dalam interaksi, seperti dalam perjalanan saat harus naik turun kendaraan. [Tafsir al-Kassyaf: III/231].

Ditambah lagi, Imam al-Qaffal berpendapat bahwa makna ayat “kecuali yang biasa tampak” adalah sesuai dengan adat kebiasaan manusia. Nah, untuk konteks zaman dulu bisa dipahami bagi perempuan yang biasa kelihatan secara adat setempat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini dikarenakan syariat Islam itu moderat, mudah, dan toleran. [Tafsir ar-Razi: XI/305].

Ketentuan Orang yang Melihat Aurat

Batas-batas aurat yang beragam tersebut, berdasarkan lanjutan petikan ayat 31, ternyata tidak berlaku sama bagi semua orang. Teks al-Quran mengecualikan sejumlah orang, yaitu 1) suami, 2) ayah, 3) mertua, 4) anak laki-laki, 5) anak suami, 6) saudara laki-laki kandung, 7) keponakan laki-laki, 8) perempuan lain, 9) budak laki-laki, 10) pelayan laki-laki yang tidak bergairah terhadap perempuan, dan 11) anak laki-laki yang belum mengerti aurat perempuan. Jika harus dikelompokkan, maka pertama, kelompok keluarga dekat (nomor 1-7); kedua, budak laki-laki (nomor 9); dan, ketiga, kelompok yang tidak memiliki hasrat seksual (nomor 10 dan 11).

Oleh karena itu, seorang perempuan tidak berkewajiban menutup auratnya dihadapan sejumlah ketiga kelompok tersebut. Pengecualian ini menunjukkan dengan jelas bahwa al-Quran tidak menggenalisir semua perempuan harus menutup auratnya di hadapan semua laki-laki.

Aurat perempuan yang demikian juga merupakan salah satu isu yang sering dijadikan argumentasi untuk mengurangi bahkan menghambat keterlibatan perempuan di ruang publik. Pemahaman tekstual ini didasarkan pada hadis nabi

حدثنا محمد بن بشار حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة عن مورق عن أبي أحوص عن عبد الله : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان

Abdullah bin Mas’ud Ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Perempuan itu aurat. Jika keluar (rumah), ia akan disambut oleh setan.” [Sunan al-Tirmidzi, no. 1173].

Teks hadis ini sering dipahami sebagai pelanggaran atau pengekangan perempuan dari ranah publik. Sebab, dalam pemahaman ini, jika mereka keluar rumah maka akan disambut oleh setan untuk bersama-sama menggoda masyarakat atau tepatnya menebar pesona kepada laki-laki. Dan juga terdapat riwayat lain menggunakan tambahan bahwa “Tempat terbaik perempuan di mata Allah Swt. Adalah di kamar paling tersembunyi dari kamarnya” [Musnad al-Bazzar, jus 5, hlm. 427, no. 2061].

Pemaknaan dari teks ini bahwa perempuan dilarang berkiprah di publik dengan alasan “aurat” adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip anti diskriminasi jenis kelamin yang sudah dijelaskan oleh berbagai ayat al-Quran dan teks-teks hadis. Di samping itu, juga bertentangan dengan preseden pada masa nabi Muhammad Saw, di mana banyak perempuan yang berpatisipasi secara aktif dalam berbagai aktifitas di ranah publik.

Alasan perempuan tidak boleh tampil di publik karena dengan auratnya, laki-laki menjadi “tergoda” adalah pandangan sebelah mata, di mana potensi “menggoda” tak jarang bermuara dari laki-laki. Potensi ini ada dan bersifat alami, sehingga yang perlu disadari bersama yaitu jangan sampai menjerumuskan kedua belah pihak pada kemungkaran dan keburukan.

Nah, apabila menggunakan perspektif QS. al-Ahzab: 13, bahwa “aurat” adalah segala sesuatu yang bisa menjadi celah bagi kerusakan atau kehancuran yang bisa dimanfaatkan musuh, maka “perempuan adalah aurat” maksudnya yakni celah yang dimanfaatkan orang lain untuk menghancurkan kehormatan keluarga dan bangsa.

Jika ruang publik adalah milik bersama, dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab bersama, maka isu “perempuan menggoda laki-laki” tidak bisa menjadi alasan untuk mengurung perempuan. Karena problemnya juga ada pada laki-laki yang melihat dirinya sebagai yang “tergoda” dan “terpesona”.

Begitu pun alasan mengurung di rumah untuk melindungi mereka dari kekerasan laki-laki di ruang publik. Karena dunia ini tidak kehilangan cara bagaimana “melindungi tanpa membatasi”. Bahkan perlindungan itu harus dihadirkan di ruang publik, sebagaimana di ruang domestik. Sebab, potensi kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan, pada kenyataannya, juga terjadi di ruang domestik, oleh keluarga sendiri. Tetapi, kenapa laki-laki yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan tidak pernah dilarang untuk masuk di ruang publik maupun di ruang domestik. Jawabannya, karena pengekangan dan pelarangan tidak akan menghadirkan kebaikan apapun. Jika pengekangan tidak terjadi pada laki-laki, maka seharusnya juga tidak boleh terjadi pada perempuan.

Oleh karena itu, kalau ada yang memakai jilbab terus ia memakai perhiasan atau make up, atau melihat perempuan memakai jilbab tetapi tangannya kelihatan atau separuh betisnya juga kelihatan, maka jangan buru-buru diceramahi, ya! Karena hal itu masih dibenarkan oleh sebagian ulama. Dan yang diperlukan dari kita adalah menjaga diri dan waspada secara bersama-sama tanpa menganggap salah satu pihak sebagai yang paling berbahaya sehingga harus dikungkung dan bahkan dirumahkan. Tetapi, semua potensi kemanusiaan serta akal budi yang dimiliki laki-laki dan perempuan harus dikembangkan sedemikian rupa untuk kebaikan masyarakat, dengan tetap menjaga etika pergaulan yang positif dan sehat.

 

Oleh As’ad Humam (Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Situbondo)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru