29.7 C
Jakarta

Banyak Pesantren Radikal? Saatnya Kaum Santri Terlibat Kontra-Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniBanyak Pesantren Radikal? Saatnya Kaum Santri Terlibat Kontra-Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kiai Haji Muslim Rifai Imampuro atau yang dikenal Mbah Liem mempunyai gerakan unik untuk menjaga nasionalisme. Beliau mendirikan pesantren yang dinamai Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa), yang menjadi ikhtiar dari Mbah Liem untuk menegakkan eksistensi Pancasila.

Mbah Liem menganggap, pesantren bisa dijadikan ujung tombak atas sikap nasionalisme sekaligus pelindung dari terorisme dan radikalisme yang belakangan ini gencar disuarakan.

Pendirian Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti tidak terlepas dari konflik ideologi antar kelompok di tahun 1965. Bahkan di tahun 1980 konflik itu semakin meluas yang ditandai dengan munculnya kelompok radikal yang membawa ideologi transnasional dengan mempertanyakan relevansi Islam dan dasar negara. Menjawab permasalahan tersebut, Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti menjadi salah satu lembaga kuat yang membela Pancasila.

Pada saat itu, kelompok radikal menyebut Pancasila, bendera merah putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai thaghut. Melawan pernyataan tersebut, Mbah Liem secara tegas melalui pondok pesantrennya menyatakan Pancasila, bendera merah putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai simbol nasionalisme bangsa.

Selain pelajaran keagamaan, para santri juga diajarkan materi ke-Indonesiaan dan kebhinekaan yang akan memperkuat daya mereka membela Indonesia.

Gerakan Mbah Liem ini seolah menegaskan bahwa pesantren bisa dijadikan sebagai benteng pertahanan untuk melawan tindak radikal. Selain itu, Mbah Liem juga menegaskan bahwa rahmatan lil alamin dalam Islam dapat diwujudkan dengan mencintai negara dan menjaga kedaulatannya. Oleh karena itu, pesantren harus menjadi salah satu lembaga yang mampu mencetak santri nasionalis sekaligus membendung paham-paham transnasional.

Penyebab Munculnya Radikalisme 

Penyebab munculnya radikalisme dijelaskan secara lengkap oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Islam Radikal. Didalam bukunya, Yusuf Qardhawi menjelaskan 3 penyebab utama munculnya radikalisme di Indonesia.

Pertama, lemahnya pemahaman ajaran keagamaan. Kedua, pemahaman yang tidak mendetail terkait sunnatullah, sejarah, dan realitas sosial yang ada di masyarakat. Ketiga, adanya banyangan semu yang mengancam eksistensi umat Islam.

Ketiga sebab tersebut menjadi alasan kuat berdirinya radikalisme di Nusantara. Apabila diurai secara detail, kita akan menemukan benang merah bahwa penyebab radikalisme adalah lemahnya pemahaman akan nilai agama, nasionalisme, dan corak sosial itu sendiri.

Maka untuk mengatasi hal ini, diperlukan sebuah lembaga yang bisa memahamkan secara detail tentang tiga hal tersebut. Sehingga tidak lagi terjebak dalam narasi-narasi palsu yang dikumandangkan pelaku terorisme dan radikalisme.

BACA JUGA  Pilpres 2024; Ulama Sebagai Komoditas Politik Semata?

5 Nilai Deradikalisasi Pesantren

Kata pesantren mendapatkan awalan pe- dan akhiran -an. Di mana kata utama yang mendasari namanya adalah santri. Dalam buku Pembaharuan Pendidikan Pesantren Studi atas Gagasan Nurcholish Madjid karya Mohamad Salik dijelaskan bahwa santri memiliki arti orang yang memahami kitab suci. Atau dalam Bahasa Indonesia, diartikan sebagai murid yang mendalami ilmu agama dalam suatu lembaga keagamaan.

Terlepas dari istilah yang mendasari pembentukan kata pesantren, ada 5 nilai yang mendasari ajaran pesantren. Dijelaskan oleh Nurcholish Madjid, bahwa ada 5 nilai yang mendasari berdirinya pondok pesantren yaitu, (1) Tawazzun (menjaga keseimbangan) (2) Tawassut (tidak berpihak) (3) Tasamuh (rasa toleransi) (4) Adl (sikap adil) (5) Tashawwur (suka bermusyawarah).

Kelima nilai tersebut menggambarkan akan tingginya tradisi keilmuan yang ada dalam pesantren, sehingga memunculkan potensi pemahaman mendalam akan suatu ilmu pengetahuan.

Nilai Tawazun akan menghindarkan seseorang untuk fanatik pada satu ajaran saja, sehingga menutup diri dari paham di luar keyakinannya. Terorisme dan radikalisme bisa terjadi jika seseorang bersikap egois pada ilmu pengetahuan. Dirinya hanya memahami satu dasar saja, yang kemudian menutup dirinya pada pengetahuan-pengetahuan yang lainnya.

Maka dengan adanya sikap tawazun, eksplorasi pengetahuan akan semakin meluas dan potensi terjadinya tindak radikal juga akan mengecil.

Nilai Tawassuth dan ‘Adl, akan berpengaruh pada sejauh mana seseorang menghargai pihak lainnya. Biasanya orang akan lebih bisa menerima kalangannya sendiri, dan sulit menerima kalangan lain yang berbeda darinya. Maka sikap Tawassuth dan ‘Adl akan menggeser paradigmma tersebut sehingga seseorang lebih lentur.

Kemudian sikap Tasamuh akan mendorong seseorang untuk tidak alergi terhadap paham yang lain. Meskipun tidak bersepakat pada paham lain, namun mempunyai rasa untuk menghargainya, sehingga tidak menimbulkan pergeseran hak dan salah paham.

Dan dilengkapi dengan nilai Tashawwur, yang akan menilik permasalahan dari banyak kepala. Mendengarkan dan menyerap banyak gagasan yang dilahirkan dari latar belakang yang berbeda.

Membumikan Gerakan Pesantren-Pancasila

Maka tepatlah apabila Kiai Haji Muslim Rifai Imampuro menjadikan pesantren sebagai basis nasionalisme dan benteng dari paham transnasional. Pesantren memiliki tradisi intelektual yang mampu memahamkan seseorang sampai tahap yang lebih mendetail.

Apabila dikaitkan dengan konteks nasionalisme, pesantren bisa menjadi jembatan bagi anak-anak muda untuk menjadi generasi Pancasila sekaligus tentara yang menghalau paham transnasional dari bumi Nusantara.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru