Harakatuna.com – Suatu malam, di sebuah kafe di sudut Ciputat, Nisa—bukan nama sebenarnya—duduk bersama teman-temannya. Perempuan berusia 22 tahun itu tampak antusias membicarakan topik yang hari-hari ini memenuhi lini masa medsosnya: khilafah. “Kalian tahu, kan, tentang konsep khilafah yang sering dibahas di Instagram?,” tanyanya sambil menyesap kopi. Salah satu temannya mengangguk. “Iya. Mereka bilang, dengan khilafah, umat Islam bisa lebih bersatu,” ungkapnya.
“Benar,” sahut teman satunya lagi. “Aku ikut beberapa diskusi online. Mereka bilang, khilafah bisa jadi solusi untuk masalah sosial-politik yang kita hadapi sekarang.”
Percakapan semacam itu bukan hal yang langka di kalangan Gen Z tanah air. Saat ini, HTI tengah gencar-gencarnya tebar propaganda tentang khilafah, Islam kafah, dan konsep one ummah yang anti-NKRI. Pada bulan Rajab ini, sebagai contoh, mereka hendak menggelar acara Isra’-Mi’raj Aksi Bela Palestina. Flyer-nya sudah disebar; bendera HTI terpampang jelas. Namun setelah saya telusuri, nomor kontak yang disediakan bukan identitas asli. HTI menyamarkan propagandanya.
HTI memang terus bergerak di bawah tanah, memanfaatkan medsos dan acara-acara kekinian untuk menarik simpati generasi muda. Mereka mengemas khilafah palsunya dalam wujud yang menarik dan unik, persis acara Metamorfoshow: It’s Time to be One Ummah, yang digelar di TMII Jakarta tahun lalu. Dan tentu, animo generasi muda masih tinggi. Buktinya, acara itu berhasil menarik sekitar 1.200 anak muda. Artinya, Gen Z telah secara sadar, sukarela, dan atas dorongan hati ikut HTI.
Namun, di balik kemasan menarik itu, tersembunyi agenda politik yang kompleks. Gen Z pun memang menjadi target empuknya. Romantisme masa lalu yang telah dimanipulasi, secara langsung atau tidak, telah memengaruhi anggapan dan cara berpikir Gen Z akan khilafah. Makanya, di sini ada pertanyaan reflektif yang menarik: apakah dukungan Gen Z terhadap khilafah murni dorongan hati, ataukah mereka sebenarnya korban propaganda HTI itu sendiri?
Propaganda HTI untuk Gen Z jelas menuntut perhatian serius dari berbagai pihak. Pemerintah, guru, dan orang tua, perlu membekali generasi muda dengan pemahaman yang benar ihwal sejarah dan politik Islam. Misalnya, bahwa semua yang HTI narasikan tidak punya landasan teologis dan historis yang jelas. Jika tidak, maka Gen Z akan terperangkap dalam agenda global Hizbut Tahrir yang dekonstruktif untuk NKRI: Gen Z akan menjadi katalisator khilafah palsu. Na’ūdzubillāh.
Gen Z: Titik Tolak Renaisans HTI
Penting dicatat bahwa, saat ini HTI memfokuskan agendanya dalam strategi jangka panjang. Dengan menargetkan Gen Z, mereka tengah membangun fondasi kebangkitan atau Renaisans di masa depan. Gen Z hari ini, mesti diingat, adalah pemimpin di masa yang akan datang. Di situlah HTI berupaya menciptakan pemimpin, pemikir, dan aktivis yang bisa memperjuangkan kembalinya khilafah, atau Islam kafah, atau one ummah, dalam beberapa dekade mendatang.
Langkah tersebut tampak jelas dalam pelibatan intensif Gen Z lewat acara-acara kepemudaan yang islami, atau event kekinian yang sekilas tak beridentitas HTI, seperti acara Isra’-Mi’raj Aksi Bela Palestina yang digelar bulan ini. Nanti, di pagelarannya, mereka akan menyisipkan narasi khilafah sebagai identitas keberislaman. Tahun lalu, di acara Metamorfoshow, kemasan Isra’-Mi’raj-nya seminar one ummah. Hari ini, di momen Isra’-Mi’raj juga, kemasannya Aksi Bela Palestina.
Yang tak Gen Z sadari, mereka berada di tengah perang ideologi. Di situlah, mereka terjebak dalam posisi ambivalen: sebagai Muslim yang ingin berislam kafah—yang ini artinya sukarela—atau justru sebagai subjek para propagandis HTI. Emosi mereka, ironisnya, telah dimanipulasi. Analoginya, mereka berada dalam jeratan HTI bak burung dalam sangkar: Gen Z menyangka berada di jalan benar karena dijejali kajian atau halakah islami, padahal aslinya mereka terkurung ideologi transnasional.
Itulah yang dimaksud di sini bahwa Gen Z adalah proyek masa depan HTI. Karena itu, seperti telah diucapkan berulang kali, bahkan sampai terkesan klise: perlu ada upaya sistematis tentang literasi sejarah, dorongan berpikir kritis, dan kontra-transnasionalisme yang masif. Akademisi, ulama, dan pemuda itu sendiri perlu mengarusutamakan penyadaran bahaya propaganda khilafah. Anak-anak muda, jika tak dibimbing betul, jelas akan menjadi agen khilafah HTI di masa depan.
Titik tolak Renaisans HTI di tangan Gen Z bukan bualan kosong. Gen Z itu bak pedang bilah ganda: satu sisi akan membawa negara ini menuju kejayaan, sisi lainnya akan membawanya menuju kehancuran. Tergantung siapa yang membentuk mereka hari ini. Dan dalam konteks tersebut, HTI telah melihat peluang menanamkan ideologinya di benak generasi muda, menjadikannya aset strategis untuk Renaisans mereka di dekade-dekade yang akan datang.
Gen Z Bukan Korban Propaganda
Apakah dengan demikian, Gen Z yang secara sadar dukung khilafah HTI karena dorongan hati tak laik disebut korban propaganda? Jawabannya tak sesederhana “iya” atau “tidak”. Ada spektrum yang kompleks di situ, yang mengaburkan boundaries antara sadar-sukarela dengan manipulasi ideologis; hasil propaganda. Sebagian Gen Z boleh jadi mendukung khilafah secara sadar atas dasar keinginan untuk melihat Muslim bersatu dalam satu panji kepemimpinan global bernama “khilafah”.
Namun, kesadaran tadi sejujurnya juga tak lahir dari pengetahuan yang objektif, melainkan hasil eksposur intensif propaganda HTI itu sendiri. Sebab, penting digarisbawahi bahwa, HTI telah menguasai seni membangun narasi pengabur fakta dan emosi. Mereka menampilkan khilafah sebagai solusi tunggal berbagai masalah dunia Islam: kemiskinan, korupsi, konflik, hingga ketidakadilan seperti di Palestina. Narasinya dikemas menarik, melenakan, memabukkan.
Terhadap Gen Z, HTI tidak sekadar menjual ideologi, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar, yakni rasa memiliki, tujuan hidup, dan identitas sesuai syariat. Itulah yang membuat dukungan Gen Z terhadap khilafah HTI tampak seperti pilihan sadar, padahal sesungguhnya adalah hasil manipulasi psikologis yang sangat terencana. Pada saat yang sama, Gen Z tak memiliki akses atau minat terhadap kajian sejarah yang asli. Mereka memilih cara instan nan bahaya: tidak kritis dan iya-iya saja.
Maka, apakah mereka korban propaganda? Sebagian besar memang demikian, meskipun mereka boleh jadi tak menyadarinya. Namun, ada juga Gen Z yang mendukung khilafah karena alasan ideologis yang kompleks. Mereka kecewa dengan sistem politik-ekonomi global yang tampak tak adil, lalu mencari alternatif yang dianggap lebih adil: khilafah ala HTI. Tentu, HTI tak menyiakan kesempatan. Mereka pun terus menanamkan gagasan ‘khilafah adalah solusi masalah umat’.
Karena itu, dengan banyaknya Gen Z yang secara sadar mendukung khilafah HTI, semua harus paham satu rumus: kesadaran sejati tak lahir dari informasi belaka, tetapi juga kemampuan mempertanyakan dan mengontekstualisasikan informasi itu sendiri. Banyak Gen Z yang mendukung khilafah HTI karena belum sepenuhnya sadar. Mereka boleh jadi yakin bertindak atas dasar pemahaman, padahal sebenarnya mereka berada dalam kabut manipulasi yang menyesakkan.
Akhiran, dukungan Gen Z terhadap khilafah HTI bukanlah dorongan hati yang murni, tetapi juga bukan pilihan yang sepenuhnya bebas. Ia adalah hasil pertarungan ideologi yang memanfaatkan kerentanan mereka di era disrupsi informasi dan defisit ilmu keislaman. Propaganda aktivis HTI telah mendorong hati Gen Z mendukung khilafah. Mereka sadar secara motorik, namun secara kognitif mereka tak sadar; terhipnotis oleh kuatnya arus propaganda khilafah palsu HTI.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…