31.4 C
Jakarta

Bagi Prof. Said Aqil, Radikalisme adalah Musuh Kita Bersama

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBagi Prof. Said Aqil, Radikalisme adalah Musuh Kita Bersama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masuknya paham radikal di Indonesia menjadi tantangan yang cukup serius. Indonesia yang terkenal dengan kebhinekaan atau kemajmukannya tiba-tiba diklaim kafir dan sesat oleh kelompok radikalis berwajah ISIS atau Islamic State of Irak and Syam. Negara merah putih ini dikafirkan karena alasan yang sepele dan tidak masuk akal: bukan negara Islam (daulah Islamiyyah). Klaim radikal ini makin merambah ke ranah aksi nyata yang berwujud terorisme.

Anehnya, kehadiran paham radikal mendapat sambutan yang hangat bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga, tidak sedikit masyarakat yang rela meninggalkan keluarga sendiri di negaranya demi belajar Islam di negara ISIS Suriah. Mereka lebih memilih bujuk rayu ISIS yang menjanjikan segala fasilitas yang tercukupi, kendati pada kenyataannya hanyalah bullshit, omong kosong. Mereka lebih mengharapkan kehidupan di masa Nabi Muhammad Saw., padahal yang didapatkan hanyalah kekerasan dan penyiksaan.

Saya pikir, masyarakat Indonesia yang terbius bujuk rayu ISIS disebabkan kedangkalan dalam pengetahuan agama. Kali ini Prof. Said Aqil Siradj, seorang kyai dan tokoh publik akan membuka kedok paham radikal, terlebih ISIS di Suriah. Menurutnya, radikalisme, bahkan sampai terorisme selalu ada sepanjang sejarah Islam. Paham ini bermulai semenjak terbunuhnya khalifah keempat Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib. Pembunuhnya adalah orang Islam sendiri. Hal ini berbeda dengan Sayyidina Umar yang wafatnya dibunuh oleh orang non-muslim Majusi. Terus, Sayyidina Utsman dibunuh oleh demonstran yang tidak jelas siapa pembunuhnya.

Prof. Said Aqil menambahkan, pembunuh Sayyidina Ali jelas satu orang dan orang itu meyakini Ali telah kafir. Ali telah keluar dari ajaran Islam. Karena, Ali sebagai khalifah tidak menjalankan hukum Al-Qur’an sebagai hukum Islam, malah yang dijalankan adalah hukum hasil keputusan musyawarah manusia. Pembunuh itu berpandangan, bahwa siapa yang tidak menjalankan hukum Allah itu kafir. Kalau kafir, maka halal darahnya dibunuh. Untuk menguatkan keyakinannya, si pembunuh itu berdalih dengan pesan Al-Qur’an yang dipahami secara tekstual: Wa man lam yahkum bima anzalallah fa ula’ika humu al-kafirun. Artinya, barang siapa yang tidak menjalankan hukum yang telah diturunkan oleh Allah maka orang itu kafir. (QS. al-Ma’idah/5: 44).

Kelompok radikal, sebut Prof. Said Aqil, sesungguhnya berbuat demikian karena pemahamannya tentang agama itu keliru. Mereka menuduh, negara Indonesia ini tidak benar dan Indonesia ini kaya tapi tidak pernah makmur. Sehingga, untuk memakmurkan Indonesia adalah menjadikannya negara Islam. Mereka berdalih, janji Allah dalam Al-Qur’an, barang siapa yang menjalankan Islam akan sejahtera. Tidak ada jalan lain yang paling benar selain negara Indonesia dijadikan negara Islam. Akhirnya, masyarakat Indonesia yang terbuai bujuk rayunya ikut bergabung dengan kelompok radikalis itu. Selain itu, masyarakat bergabung karena pengangguran atau kemiskinan, sehingga mereka beranggapan, bahwa daripada nganggur lebih baik bergabung dengan ISIS. Konon katanya para pengikut ISIS digaji dua puluh juta sebulan. Ada lagi yang hanya terjebak dalam pergaulan yang tidak benar. Mereka bergabung dengan ISIS karena ikut temannya.

BACA JUGA  Sudahkah Kelompok Radikal Memerangi Hawa Nafsunya sebelum Memerangi Sesamanya?

Prof. Said Aqil sedikit menguraikan sejarah terbentuknya ISIS. Konon katanya, ISIS ini dibentuk oleh seseorang yang namanya Ibrahim Ibn Awwad Ibn Ibrahim al-Badri yang mengaku dengan nama Abu Bakar al-Baghdadi. Awal mulanya sederhana. Ada pihak tertentu yang bayar mereka dari sebuah kota untuk menghadang perjalanan tentara Iran kalau akan membantu Bashar al-Assad, presiden Suriah. Supaya perjalanan tentara bisa terhambat dibentuklah penyamun. Lama kelamaan menjadi besar, menjadi kaya raya, menjadi berkuasa karena Irak sebelah utara itu memiliki kekayaan minyak. Sampai-sampai Raja Abdullah, raja Yordania mengatakan dari ISIS inilah dimulailah perang dunia ketiga.

Untuk membentengi diri dari paham radikal, Prof. Saiq Aqil berpesan: “Mari kita mengambil pelajaran. Prancis yang keamanannya canggih saja kecolongan. Terjadi dua kali penembakan. Ingatlah, kekerasan yang mengatasnamakan agama itu tidak benar. Itu salah. Man amruhu ma’rufan falyakun bi ma’rufin. Barang siapa tujuannya baik, maka harus dengan cara-cara yang baik pula. Oleh karena itu, terutama kepada pemerintah harus waspada, harus memantau gerakan radikal yang ada kemungkinan meningkat menjadi kelompok teroris. Saya yakin, para intel dari kepolisian maupun dari BIN sudah mampu membentengi. Kalau dibutuhkan gotong royongnya, mari bukan hanya polisi tetapi juga masyarakat, tokoh agama, para ulama harus sama-sama menganggap bahwa teroris itu musuh kita bersama.”

Sebagai penutup, Prof. Said Aqil memberikan closing statement bahwa Rasulullah pernah menyatakan: La udwana illa ala azh-zhalimin. Tidak boleh ada permusuhan kecuali kepada yang zalim. Terorisme ini merupakan kezaliman. Karena itu, kita anggap mereka musuh bersama. Kalau tidak, maka keutuhan dan keselamatan NKRI akan terancam, bahkan persatuan akan diporak-porandakan. Dan tidak mustahil kerusuhan dan konflik di Timur Tengah akan pindah ke Indonesia.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari perbincangan Prof. Said Aqil Siradj di Akun YouTube Official NET News

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru