27.4 C
Jakarta

Bagaimana Posisi Perempuan di Tengah Arus Kapitalisme?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanBagaimana Posisi Perempuan di Tengah Arus Kapitalisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bicara tentang periodisasi bagi perempuan sekarang ini telah tergerus oleh peradaban kapitalis. Perempuan tidak lagi mengedepankan andhep asor dengan tata krama. Akan tetapi, telah lama bereinkarnasi menjadi zaman modernisasi.

Perempuan telah menjadi aktris hasil eksploitasi kapitalis dalam zaman serba modern. Budaya dari kapitalis sendiri sudah menjadi produk baru terhadap keberadaan perempuan dalam hal fashion, gaya hidup, karir, dan aspek lainnya yang telah menempatkan ruang tersendiri bagi perempuan di era modern.

Perempuan dapat menyetir diri sendirinya dan kemudian dengan mudah meninggalkan konstruksi adat yang sudah menjadi tradisi turun-menurun dari leluhurnya hingga pada akhirnya lahir menjadi perempuan baru dalam balutan kapitalisme. Contohnya adalah ajang Miss Universe yang mana memosisikan perempuan sebagai objek yang dieksplorasi dalam pemilihan ratu sejagat.

Perempuan dilihat dari kecantikannya, postur proporsional, dilihat dari kualitas IQ dan perbandingan inner beauty dan kecantikan fisiknya. Perempuan cantik, menarik, dan dipoles dengan balutan sensualitas telah menjadi sisi eksploitasi tampilan iklan. Hal demikianlah, yang telah memosisikan perempuan dalam kapitalisme.

Iklan merupakan strategi untuk menyebarkan suatu tayangan tentang normalisasi tubuh perempuan. Strategi itu telah mengendus pada wacana kulit putih, langsing, tinggi, dan rambut lurus dan panjang sehingga tanpa sadar telah menganggap bahwa tubuh perempuan itu adalah sesuatu yang ideal dan normal dalam sebuah wacana media.

Obsesi kulit putih yang menggiring kebanyakan perempuan Indonesia yang memiliki kulit sawo matang mendorong mereka untuk memborong produk kecantikan yang ditawarkan iklan-iklan. Fenomena model dengan menjadi bintang iklan yang diharuskan cantik, tinggi, langsing menjadikan perempuan sebagai ajang eksplorasi habis-habisan media massa dalam berbagai seni pertunjukkan peragaan modernisasi mode busana.

Perempuan itu kodratnya sudah lama ditempatkan pada posisi menjadi seorang ibu. Peran perempuan dirasa lebih menarik bila dia sudah menghayati diri menjadi seorang ibu. Perannya hanya sebatas dapur dan melayani suami. Kodrat menjadi seorang ibu membuat perempuan sering kali membalut dirinya dengan karakter pengasih, penyayang, mengurusi anak dan suami.

Kenyataannya, posisi perempuan tidak hanya sebatas itu saja melainkan dapat melakukan lebih asalkan tidak melebihi kodratnya sebagai perempuan. Perempuan tidak diberikan hak-hak ekonomi, sosial, hukum, spiritual, dan kerohanian.

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Perempuan sebagai objek media massa merupakan sebuah kenyataan tentang ketidakadilan gender yang dialami kebanyakan perempuan dalam lingkup masyarakat. Akar dari suatu permasalahan ketidakadilan gender berkaitan dengan kebudayaan patriarki, yang mana menganggap bahwa laki-laki menjadi subjek dengan kekuatannya sedangkan perempuan sebagai objek yang lemah dan hanya bisa dipojokkan.

Persoalan perbedaan gender bisa melahirkan ketidakadilan posisi perempuan di masyarakat. Perempuan menduduki posisi  tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender dalam berbagai hal. Sterotipe terhadap perempuan telah menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan dipandang tak berdaya.

Perempuan didudukkan pada persepsi secara kodrati saja tanpa melihat kemampuan yang dimilikinya. Dalam agama islam, kedudukan perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam hal tanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajiban agama dan takdir sesuai dalam Al-Qur’an Surah an-Nisa'[4]: 11.

Perempuan dan laki-laki memiliki hak pendidikan dan hak belajar yang sama. Sebaik-baiknya perempuan itu berada di rumah. Hal itu dimaksudkan agar perempuan tidak menjadi fitnah ketika keluar dari rumahnya. Kajian feminisme yang telah beredar di Barat telah membenturkan persoalan kontemporer perempuan di Indonesia yang dimunculkan di media massa di era kapitalisme global.

Maka dari itu, diperlukan kampanye dan kesadaran perempuan untuk melepaskan diri dari gaya hidup konsumerisme yang diciptakan oleh produsen kecantikan yang mengkonsepkan bahwa perempuan harus cantik dan ideal.

Keberadaan perempuan dalam arus kapitalisme lebih mengeksplorasi kelebihan yang dimiliki perempuan dalam hal fisik. Pada dasarnya tubuh perempuan menjadi milik perempuan itu sendiri. Perempuan tidak harus berkulit putih dan berambut panjang untuk dinilai cantik. Semua perempuan itu cantik tergantung bagaimana perempuan itu bisa mencintai dirinya sendiri.

Setiap perempuan itu unik dan tidak dapat disamakan dengan lainnya. Monopoli industri media tentang objek eksplorasi dan idealisasi perempuan yang sempurna harus segera diakhiri. Tubuh perempuan itu milik perempuan itu sendiri dan kesadaran itu harus ditanamkan sejak kecil.

Mita Indah Sari
Mita Indah Sari
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru