26.2 C
Jakarta

Bagaimana Cara Sholat Yang Benar di Kereta Api?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamBagaimana Cara Sholat Yang Benar di Kereta Api?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kereta api termasuk salah satu alat transportasi yang sering digunakan oleh masyarakat. Seringkali saat dalam perjalanan dengan menggunakan kereta, para penumpang merasa bingung bahkan tidak tahu tentang cara melaksanakan shalat yang benar, sering kita lihat dalam kereta terdapat orang yang shalat dengan cara duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya sebagai pertanda perpindahan rukun shalat yang dilakukan. Ada pula penumpang yang shalat sambil berdiri dengan menutup jalan para penumpang karena dalam kereta tidak meyediakan fasilitas untuk shalat, bahkan ada juga yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat di kereta dengan niatan mengqadla shalat di rumah karena shalat di kereta dianggap terlalu ribet.

Sebenarnya bagaimana cara shalat yang benar ketika dalam keadaan di kereta?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, patut dipahami bahwa kewajiban shalat tidak gugur bagi seseorang selama akalnya masih normal, sehingga ketika ia dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat menyempurnakan rukun, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat semampunya dalam rangka li hurmatil waqti.

Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan shalat li hurmatil waqti yaitu wajib bagi seseorang untuk melaksanakan rukun dan syarat-syarat shalat yang mampu ia lakukan, sedangkan untuk syarat atau rukun yang tidak mampu ia lakukan, syara’ menolelir hal ini karena sudah bukan termasuk hal yang dapat ia jangkau dan shalatnya wajib untuk diulang kembali (i’adah) dalam keadaan sempurna ketika telah sampai di rumah.

Dalam praktek shalat li hurmatil waqti di kereta api, ketika seseorang masih mungkin untuk melaksanakan shalat dengan wudlu, berdiri dan menutup aurat namun ia tidak dapat menghadap kiblat maka wajib baginya untuk melaksanakan syarat dan rukun tersebut, sedangkan syarat berupa menghadap kiblat menjadi hal yang ditolelir, sehingga tidak perlu ia laksanakan.

Realita yang sering terjadi di kereta, syarat yang paling sulit untuk dilakukan adalah menghadap kiblat, sebab lintasan kereta seringkali berkelok-kelok hingga menyebabkan orang yang awalnya sholat dengan menghadap kiblat, saat perjalanan arahnya menjadi berubah hingga ia tidak lagi menghadap arah kiblat.

Untuk rukun-rukun lain yang masih dapat dilakukan, wajib bagi para penempung yang shalat untuk melaksanakannya, seperti berdiri, ruku’, sujud dan rukun lainnya.

Berdasarkan ketentuan diatas, tidak layak bagi kita untuk mencela orang yang melaksanakan shalat di kereta dengan cara berdiri, justru cara seperti itulah yang benar, meski berdiri di tempat yang berpeluang dilewati oleh orang lain adalah hal yang makruh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah:

يكره للمصّلي أن يصلي في مكان يكون فيه عرضة لمرور أحد بين يديه، سواء مر أحد بين يديه أو لم يمر
“Makruh melaksanakan shalat di tempat yang berpeluang dilewati orang lain di depannya, baik kenyataannya ada orang yang lewat atau tidak” (Abdurrahman Al-Jaziri, al-fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, juz. 1, hal. 246)

BACA JUGA  Apakah Boleh Menjual Ginjal untuk Biaya Kampanye?

Kemakruhan ini, bisa berubah menjadi haram ketika ada larangan langsung dari pihak KAI atau dugaan kuat pihak KAI akan melarang orang yang melakukan shalat di tempat berjalannya para penumpang, sebab KAI memiliki kekuasaan dalam hal mengatur ruang gerak yang dilakukan oleh penumoang agar tidak bersinggungan dengan penumoang yang lain.

Dengan begitu, orang yang shalat di kereta dengan duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya adalah hal yang tidak benar, sebab sejatinya ia masih bisa melaksanakan shalat dengan berdiri. Kecuali ketika shalat fardlu dengan cara duduk ini, ketika ruku’ dan sujud dilaksanakan dengan sempurna, maka cara demikian dianggap benar menurut mazhab hanafi, namun praktek demikian jarang sekali kita temukan.

Lalu bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat di kereta dan memilih untuk mangqadla’ shalatnya di rumah karena dipandang sulit?

Langkah demikian tetap dibenarkan menurut salah satu pendapat dalam madzhab syafi’i. Seperti yang ditegaskan dalam Hasyiyah Ibnu Qasim ‘ala al-Ghurar al-Bahiyah:

وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

“Imam Haramain dan Imam Ghazali menukil bahwa dalam madzhab syafi’i terdapat pendapat bahwa sesungguhnya setiap shalat yang butuh (bisa) untuk di qadla’ tidak wajib melaksanakannya pada waktunya, pendapat ini juģa merupakan pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah” (Ibnu Qasim, Hasyiyah Ibnu Qasim ‘ala al-Ghurar al-Bahiyah Juz 1, Hal. 207)

Hal yang bijak bagi para penumpang, jika memang masih mungkin untuk menjama’ shalatnya baik berupa jama’ taqdim dengan cara shalat terlebih dahulu sebelum berangkat, atau jama’ ta’khir yaitu ketika sampai di kota tujuan masih memungkinkan melaksanakan shalat. Maka hal yang baik dilaksanakan adalah menjama’ shalatnya.

Sedangkan ketika shalat yang dilaksanakan tidak dapat di jama’, maka lebih baik bagi para penumpang untuk mengikuti pendapat yang dinukil dari imam Haramaian dan Al-Ghazali yaitu tidak melaksanakan shalat li hurmatil waqti di kereta dan memilih mengqadla’ shalatnya ketika sampai di tempat tujuan. Pemilihan langkah ini dikarenakan melaksanakan shalat di kereta sesuai dengan ketentuan shalat li hurmatil waqti selain dipandang sulit, juga dianggap mengganggu aktifitas penumpang lain seperti terhambatnya jalan ketika ada orang lain hendak lewat dan berbagai hambatan-hambatan yang lainnya, sehingga sangat tidak elok untuk dilakukan. Wallahu a’lam.

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru