31.8 C
Jakarta

As Long As the Lemon Trees Grow: Membaca Trauma Berkepanjangan dalam Konflik Suriah

Artikel Trending

KhazanahTelaahAs Long As the Lemon Trees Grow: Membaca Trauma Berkepanjangan dalam Konflik...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Konflik di Suriah, yang mengakibatkan kekacauan pada negeri tersebut, oleh Wikipedia seringkali disebut sebagai perang saudara. Bahkan di beberapa informasi melalui media daring, kalau kita searching konflik Suriah, seringkali disebut sebagai perang saudara. Di sinilah letak perbedaan informasi tentang konflik Suriah yang disajikan oleh Katouh, melalui novel ini, memperlihatkan secara jelas bahwa situasi Suriah sejak tahun 2011 bukanlah disebabkan oleh adanya perang saudara.

Ia juga menegaskan bahwa situasi tersebut bukan sebuah perang, melainkan revolusi. Revolusi yang dimaksud dimulai pada bulan Maret hingga Juli tahun 2011. Pada waktu itu, revolusi Suriah pertama kali meletus. Masyarakat Suriah terus melakukan aksi protes besar-besaran kepada pemerintahan Assad yang sudah lama berkuasa lebih dari dua dekade. Protes ini juga disusul dengan adanya protes kebangkitan Arab atau yang kita kenal sebagai Arab Spring.

Presiden Bashar Al Assad tidak tinggal diam dalam aksi protes ini. Serangkaian tindakan kekerasan fisik, mental yang diterima oleh masyarakat Suriah terjadi, mulai dari pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, penyiksaan, dll. Revolusi yang pada mulanya dilakukan untuk menuntut reformasi demokratis, justru disambut dengan kekerasan oleh Presiden Al Assad. Pada tahap inilah, perpecahan internal masyarakat Suriah tidak terbendung sehingga tercipta kekacauan yang terjadi pada masyarakat.

Terlepas dari pergolakan yang terjadi di Suriah, Zoulfa Katouh sukses menyihir banyak orang di seluruh dunia melalui novel yang sudah diterjemahkan ke dalam sembilan belas bahasa, termasuk Indonesia. Katouh mengajak para pembacanya untuk melihat lebih detail sekaligus merasakan konflik yang terjadi di Suriah, melalui tokoh Salam Kassab, seorang mahasiswa farmasi yang terpaksa harus menjadi dokter pada sebuah rumah sakit di Zaytouna, Homs, Suriah.

Melalui sosok Salama, cerita yang ditulis oleh Katouh mengajak para pembaca untuk melihat trauma panjang pada korban perang di Suriah. Perlu diketahui bahwa, Salama adalah gadis berusia 19 tahun yang menjadi paramedis pada kondisi perang.

Berdasarkan sepak terjangnya, ia bahkan belum banyak melakukan praktik medis dan tidak menyentuh kuliah kedokteran atau keperawatan. Karena jurusan yang diambil adalah farmasi, ia hanya hapal obat-obatan herbal, ataupun tumbuhan yang berfungsi untuk tubuh manusia. Namun karena kondisi perang pada saat itu kekurangan tenaga medis, mau tidak mau ia terjun menjadi garda terdepan bersama paramedis di kota tersebut.

BACA JUGA  Komunitas Royatul Islam: Perpanjangan Tangan HTI, Bagaimana Nasibnya Kini?

Trauma Berkepanjangan

Katouh tidak hanya menggambarkan sosok Salama seorang diri. Ia juga menghadirkan sosok Layla, sahabat Salama sejak kecil sekaligus kakak ipar karena menikahnya dengan kakaknya, Hamza. Kondisi perang membuat Hamza ditangkap oleh tentara pemerintah, sedangkan Layla pada saat itu dalam kondisi hamil. Di sinilah digambarkan dengan jelas, kondisi Layla yang tidak berdaya sebagai perempuan hamil dan tidak bisa melakukan apa pun. Kondisi diperparah dengan kepergian ibu Salama yang meninggal pada saat perang terjadi, sehingga membuat Salama terus berada di sisi Layla untuk menemani.

Hal yang disorot pula adalah keterlibatan Salama ketika menjadi tenaga medis. Karena keterbatasan faktor pengetahuan dan pengalaman, apalagi dengan pengetahuannya di bidang farmasi, perannya dalam menyelamatkan korban perang, selalu menghantui dirinya. Rasa takut, rasa bersalah apabila ada orang yang meninggal karena tidak tertolong atau tidak mendapatkan pertolongan yang layak dari dirinya, terus menjadi beban bagi Salama. Tidak heran, dari setiap pengalaman itu membuat Salama menderita trauma. Ia sering mengalami sulit tidur, berhalusinasi, hingga sering sekali terdiam dengan tatapan kosong.

Melalui narasi dan alur cerita yang penuh emosi, Katouh berusaha menyampaikan kondisi Suriah dari sudut pandang Salama. Berbagai pengalaman personal yang dialami oleh para tokoh yang ada di dalam novel ini, membuat pembaca jadi mengerti bahwa, konflik yang terjadi dalam sebuah negara, akan membawa kesengsaraan pada rakyatnya. Sekalipun dalam novel ini tidak lepas dari kisah manis antara Salama dan Kenan, seorang pemuda yang mengabadikan momen serangan militer untuk diperlihatkan ke seluruh pelosok negeri, namun kengerian dan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat Suriah sangat besar.

Katouh melalui novel ini, memperdalam karakter masing-masing tokoh agar pembaca lebih mendalami konflik yang ada di Suriah. Melalui pendekatan humanis, setiap tokoh yang ada di dalam novel ini, memiliki perlawanan terhadap konflik yang berasal dari ketidakbecusan pemerintah. Wallahu A’lam.

*Artikel ini merupakan sebuah telaah terhadap buku Zoulfa Katouh yang berjudul “As Long As the Lemon Trees Grow”.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru