Harakatuna.com. Baghdad – Pasukan Amerika Serikat (AS) pada Kamis (16/1) kembali melakukan operasi militer gabungan dengan pasukan Irak. Sebelumnya sempat ditangguhkan sejak peristiwa pembunuhan jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara AS di Baghdad. Akan tetapi setelah kondisi Iran kembali mendingin operasi meliter AS ini di awal tahun ini kembali dilanjutkan.
Operasi militer gabungan ini terjadi ketika Komando Operasi Salah Al-Din (yang berafiliasi dengan Pertahanan Irak) mengumumkan bahwa delapan militan tewas dan posisi ISIS dihancurkan selama operasi militer, seperti dikutip Arab 48.
Dalam beberapa pekan terakhir, serangan yang diduga dilakukan militan ISIS telah meningkat. Di wilayah berbatu antara provinsi Kirkuk, Salahuddin dan Diyala, yang dikenal sebagai “Segitiga Kematian” kembali beraksi.
Pada tahun 2017, Irak mendeklarasikan kemenangan atas ISIS dengan merebut kembali semua wilayahnya, yang berada di bawah kendali ISIS. Diperkirakan sekitar sepertiga dari wilayah negara itu, yang telah diserang organisasi itu pada musim panas 2014.
Namun organisasi itu masih menyimpan sel-sel tidur di wilayah besar Irak, dan meluncurkan serangan dalam berbagai periode.
Sementara itu dikutip dari The New York Times, dua pejabat militer Amerika yang namanya tidak disebutkan mengatakan, bahwa Departemen Pertahanan AS ingin melanjutkan sesegera mungkin kerjasama dengan tentara Irak dalam memerangi ISIS sehingga organisasi jihad tidak mengambil keuntungan dari status quo.
Menanggapi hal itu, Pentagon menolak untuk mengomentari apa yang dilaporkan oleh The New York Times.
Awal Mula Dilanjutkannya Operasi Meliter AS
Atas prakarsa Washington, operasi militer gabungan antara kedua negara berakhir pada 5 Januari, dua hari setelah pembunuhan komandan “Pasukan Quds di Pengawal Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani, dengan serangan oleh pesawat AS yang terbang di dekat bandara Baghdad.”
Pada hari yang sama, parlemen Irak meminta pemerintah untuk mengakhiri kehadiran semua pasukan asing di negara itu. Suleimani dibunuh oleh Amerika Serikat pada 3 Januari, setelah serangkaian serangan rudal yang menargetkan militer AS dan upaya oleh faksi pro-Iran untuk menyerbu kedutaan AS di Baghdad.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Irak jika Baghdad memutuskan untuk mengusir 5.200 tentara AS.
Pada hari Senin (13/1), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, bahwa semua pemimpin Irak mengatakan kepadanya di dewan pribadi bahwa mereka mendukung kehadiran militer Amerika di negara mereka, meskipun ada seruan publik untuk kepergian tentara Amerika dari Irak.
Namun, menteri Amerika itu tidak mengesampingkan pengurangan jumlah tentara negaranya yang dikerahkan di Mesopotamia, sejalan dengan keinginan Presiden Trump, yang selalu mengkonfirmasi niatnya untuk menarik diri dari operasi militer yang mahal di Timur Tengah.
Diolah dari berbagai Sumber
Editor: Ahmad Fairozi