31.3 C
Jakarta
Array

Arus Kebangsaan Penerus Bangsa

Artikel Trending

Arus Kebangsaan Penerus Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada tahun 1928, sekumpulan anak muda menyatakan kesetiaan kepada negara. Bersatu dan berdaulat dalam satu bahasa, bangsa, dan tumpah darah yang sama. Kini, setelah 74 tahun lamanya, semangat perjuangan itu kian dipertanyakan. Anak muda mundur secara perlahan meninggalkan barisan persatuan. Kemudian satu per satu budaya luhur bangsa mulai dikucilkan sehingga asing dari pergaulan.

Kondisi pasca reformasi ini mengundang perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Sebagai negara yang dibangun dengan asas Pancasila, justru banyak sekali kejadian yang bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Anak-anak muda bertindak amoral seperti tawuran dan pelecehan seksual, kemudian disusul gelombang terorisme yang mengajak bangsa ini menuju arah kekerasan.

Meskipun masih terdapat rasa nasionalisme yang diwujudkan dalam berbagai prestasi yang mengharumkan nama bangsa dan negara, kecenderungan dinamika sosial seakan menjebak mereka sehingga melupakan identitas diri dan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung bangsa di masa yang akan datang. [hlm. 4]

Era Globalisasi

Arus globalisasi terus menerus menggeser perilaku masyarakat terutama kalangan akademisi seperti mahasiswa. Kemudahan teknologi informasi telah memberikan ruang tanpa batas bagi siapapun yang menggunakannya. Terlebih mahasiswa, media sosial dan sarana yang melengkapinya sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bila digunakan secara bijaksana, tentulah sarana itu mengundang dampak positif bagi pemakai dan sesamanya. Namun, jika penyimpangan yang dilakukan pada sarana tersebut, maka tindak kejahatan lah yang menjadi buahnya.

Alat komunikasi seperti gawai maupun ponsel merupakan alat penggenggam informasi dari seluruh dunia. Ibarat dua sisi mata uang, penggunaan gawai tidak hanya mengundang dampak positif, namun juga dapat memberikan dampak negatif. Penggunaan gawai yang berlebihan dapat memengaruhi kemampuan berinteraksi dan mengurangi kepekaan sosial sehingga tergantikan sifat individualisme dan kepentingan eksis di dunia maya [hlm. 24]. Tindakan ini sering mengantarkan mereka kedalam jurang keegoisan dan mau menang sendiri.

Lingkungan sekitar yang menjadi tempat berkembangnya tak lagi diperdulikan. Mereka seolah tak lagi mengenal tanggung jawab dan moralitas yang harus dilaksanakannya sebagai penerus bangsa. Interaksi yang pada hakikatnya untuk memperkuat persaudaraan malah disepelekan dan lebih memilih untuk hidup dalam kesendirian. Akhirnya, nilai-nilai nasionalisme yang hendak disampaikan dari pahlawan kepada penerus-penerusnya hilang terputus oleh kemajuan zaman.

Tindakan kekerasan merupakan rentetan kegiatan yang terjadi akibat sifat individualistik yang kian berkembang [hlm. 26]. Dan hal ini jelas sekali dilihat oleh gerombolan terorisme untuk menitipkan ajarannya melalui tubuh anak muda. Wawasan nasionalisme yang telah hidup, mulai mereka kikis dari benak pemuda. Mereka menggantikannya dengan ajaaran amoral yang harus dilaksanakan dengan alasan mendesaknya keadaan.

Kalangan remaja dipahami sebagai kalangan yang kondisi mentalnya belum mengalami kesetabilan. Masih banyak goncangan yang membuat gamang hidup mereka. Sehingga pengaruh-pengaruh yang datang, banyak yang terserap dan diamalkan dalam kehidupan kesehariannya. Dengan adanya dua kondisi ini, bukan tidak mungkin tindakan teror dapat tumbuh subur di wilayah Indonesia, terutama melalui pemudanya.

Bangkitkan Mental Nasionalis

Nasionalisme merupakan kata pertama yang mampu menyatukan Indonesia di masa penjajahan. Sebuah kata yang mampu menghidupkan pergerakkan dan membangkitkan semangat juang rakyat untuk rela berkorban. Namun, kata ini seakan menjadi buaian semata. Sering didengungkan namun miskin pelaksanaan dan pengimplementasian.

Kondisi pemuda yang masih dalam tahap pencariaan jati diri, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memupuk rasa nasionalisme dalam dada mereka. Mengembangkan semangat kepedulian dan rasa kebersamaan untuk menghapus sikap individualnya. Sehingga bangsa Indonesia akan menjadi negara damai dari sifat persaudaraan dan kesadaran persatuan pemudanya.

Ir. Soekarno pernah berkata “Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata copy atau tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.” Ini menjadi isyarat yang patut kita bersama renungkan, bahwa humanitas menjadi basis orientasi para penerus bangsa. Tanpa kemanusiaan, bukan hanya kekacauan yang terjadi, melainkan pula terancamnya kedaulatan NKRI.

Oleh karena itu, sebagai agen perubahan, kalangan remaja haruslah dibangun atas rasa kemanusiaan yang tinggi. Menghormati sesama dan menghargai perbedaan di antara mereka. Sehingga pola kehidupan seperti inilah yang dapat membuat bangsa Indonesia mempunyai masa depan yang cerah dari para pemudanya. Karena hanya merekalah yang menjadi tempat bersimpuh bangsa dari segala keterikatan masalah amoral yang menghantui bangsa ini.

 

Judul Buku : Resonansi Kebangsaan: Membangkitkan Nasionalisme dan Keteladanan

Pengarang : Suhardi Alius

Tahun terbit : 2019

Penerbit : Gramedia Pustaka

Jumlah halaman : 142 halaman

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru