28.2 C
Jakarta

Arteria Dahlan dan yang Hilang dari Kita

Artikel Trending

KhazanahOpiniArteria Dahlan dan yang Hilang dari Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jagat media sosial Indonesia hari ini sedang digegerkan oleh ulah anggota DPR RI Fraksi PDI-P Arteria Dahlan. Dalam acara Mata Najwa (09/10) yang bertajuk ‘Ragu-ragu Penerbitan Perppu”, politisi PDI-P itu berkomentar pedas, bahkan sebagian kalangan menyebut sebagai sebuah makian, kepada politisi senior, Emil Salim.

Video detik-detik Arteria Dahlan ‘bentak’ Emil Salim di acara Mata Najwa pun langsung viral,  bahkan di Twitter menempati trending topik.

Memang, di era demokrasi seperti saat ini, setiap kepala memiliki kebebasan/berhak untuk berbicara atau menyampaikan pendapat. Dalam ranah ini, apa yang dilakukan Arteria sah sah saja.

Bahkan acara debat atau dialog sudah menjamur di ruang-ruang publik. Acara Mata Najwa adalah salah satunya. Namun, apa yang dilakukan Arteria–menyebut Emil Salim sebagai “Prof sesat”, sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu sopan-santun.

Yang sedang ramai diperbincangkan publik hari ini adalah sikap Arteria Dahlan pada acara Mata Najwa. Lebih-lebih pada saat ia menanggapi dengan nada lebih tinggi sembari menunjuk-nunjuk Emil Salim, yang usianya lebih tua sekitar 45 tahun dari dia.

“Enggak pernah dikerjakan Prof. Prof tahu enggak. Mana Prof? Saya di DPR Prof, enggak boleh begitu Prof. Saya di DPR, saya yang tahu, Prof. Mana? Prof, sesat! Ini namanya sesat! Prof, sesat!”

Sebagai informasi, sebenarnya, Arteria berkata kasar di depan publik bukanlah kali yang pertama. Setahun lalu, nama Arteria juga ramai dibincangkan oleh publik. Hal ini lantaran dalam rapat Komisi III, 28 Maret 2018, Arteria menyebut Kementerian Agama dengan makian ‘bangsat’.

Publik Figur

Terlepas dari kondisi emosional personal karena geram terhadap seseorang atau lembaga, kata-kata kasar sebagai luapan kekesalan dan semacamnya, seharusnya tak terlontar dari mulut seorang pejabat tinggi negara.

Ingat! Pejabat tinggi negara itu, bukan–mohon maaf–orang jalanan yang bisa berkata sesuka hati. Wahai para pejabat, segala tindak-tanduk dan polah-tingkahmu itu diperhatikan, bahkan dijadikan teladan bagi rakyat.

Pejabat tinggi negara adalah publik figur, yang harus memberikan teladan yang paling baik untuk masyarakat. Bukan malah mempertontonkan kesan negatif kepada publik secara ‘live’ (telanjang).

Kini publik tak lagi buta dan apatis terhadap polah tingkah pejabat negara yang dirasa melenceng dari nilai-nilai umum berbangsa dan bernegara. Melalui kanal baru (media sosial) kekesalan atas tontonan yang amat menodai karakter luhur bangsa itu, diluapkan. Jadi, Jangan salahkan publik apabila Arteria Dahlan dibully di media sosial.

Adu Argumen Silahkan, Makian Jangan

Adu argumen adalah sebuah keniscayaan dalam suatu forum, terutama dialog yang mempertemukan antar tokoh yang beda pendapat. Namun, ada nilai yang harus dijunjung tinggi dalam hal ini, yakni sopan-santun, etika dan saling menghargai satu dengan lainnya.

Apa yang telah terjadi atas kejadian Arteria pada acara dialog di televisi tadi malam sungguh tidak kita inginkan terjadi atau terulang lagi.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

Publik juga menyayangkan sikap Arteria, yang ‘seolah-olah’ tidak merasa ada sebuah masalah yang berarti. Buktinya, pasca acara selesai, tak terlihat sikap negarawan, yakni memninta maaf kepada Emil. Arogansi sudah terpatri sehingga memunculkan gengsi yang menganga.

Kita lupa bahwa, para pemimpin bangsa terdahulu juga tak luput dari berdebatan sengit seperti pada sidang BPUPKI. Namun berdebatan itu sungguh dilakukan dengan berpegang teguh pada persaudaraan, etika dan sopan-santun. Jadi, berdebat atau adu argumen silahkan, tapi jangan sampai memaki-maki atau bahkan berkata kasar.

Menemukan yang Hilang

Sebenarnya, fenomena Arteria Dahlan adalah diantara cerminan kehidupan masyarakat, utamanya pemimpin negara hari ini. Bahwa moral atau etika tak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian bangsa ini.

Lazimnya para pejabat negara adalah mereka yang memiliki pendidikan tidak hanya tinggi, namun  mereka lulusan sarjana di lembaga pendidikan tinggi ternama.

Perlu dicamkan bahwa, setinggi apapun ilmu dan pendidikan Anda, tapi Anda tidak menjunjung tinggi moral, semua akan menjadi sia-sia. Sebab, ilmu tanpa moral akan melahirkan manusia robot yang tidak mempunyai hati nurani.

Langkanya akhlak dalam keseharian kita, sebenarnya sudah didengungkan jauh-jauh oleh ulama Indonesia, Quraish Shihab.

Melalui karya, “Yang Hilang dari Kita, Akhlak (2016), Quraish Shihab mengingatkan kita bahwa ada yang sedang (terancam) hilang dari kita, yakni akhlak.

Kata Pak Quraish: “Moral yang dipraktekkan dan diajarkan oleh leluhur bangsa kita, demikian juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, padahal ia adalah milik kita yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain. Ada sesuatu yang hilang dari kita, terutama dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan. Betapapun jika kita berkata, “Yang hilang dari kita,” kata kita di sini bukan menunjuk pribadi (Anda atau Dia), tetapi menunjuk masyarakat kita sebagai Muslim atau sebagai bangsa atau sebagai umat manusia. Umat Islam tidak mencerminkan ajaran Islam di tengah masyarakat.”

Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, sehingga tak perlu disikapi dengan cara “ngegas”, terlebih pada senior atau orang yang lebih tua.

Dalam ranah agama, Islam utamanya, kita bisa belajar banyak tentang cara menyikapi sebuah perpedaan (pendapat). Ambil saja ulama fikih (fuqaha). Meskipun berbeda-beda pandangan dan pendapat mengenai hukum Islam, mereka menghormati dan terus menghiasi perbedaan di antara mereka dengan sikap saling memuji. Sikap semacam ini tercipta karena akhlak atau etika telah dipegang teguh.

Fenomena Arteria Dahlan membuka mata kita semua bahwa moral atau akhlak yang dipraktekkan dan diajarkan oleh leluhur bangsa kita, demikian juga yang diajarkan oleh agama, telah hilang. Untuk itu, mari temukan (kembali) dan jadikanlah nilai yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain itu sebagai landasan dalam keseharian kita.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru