29.7 C
Jakarta

Apakah Teroris Pasti Tidak Beragama?

Artikel Trending

KhazanahOpiniApakah Teroris Pasti Tidak Beragama?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Teroris itu punya agama atau tidak? Jawabannya, bisa iya, bisa tidak. Adakah teroris yang meneror dengan motif agama? Ada. Misalnya kasus bom bunuh diri oleh Agus Sujatno alias Abu Muslim yang terafiliasi pada kelompok Jamaah Anshorut Daulah, yang baru saja terjadi pada 7 Desember 2022 di Polsek Astanaanyar, Bandung, yang menewaskan satu orang polisi beberapa waktu lalu.

Adakah teroris yang meneror dengan motif bukan agama? Ada. Misalnya kasus penusukan pada 2021 lalu di dalam sebuah kereta di Tokyo oleh seorang pria berkostum Joker yang menyatakan bahwa motifnya adalah ingin membunuh orang agar dirinya dijatuhi hukuman mati. Fakta ini perlu diakui secara jujur dan adil. Ada beberapa hal yang penting untuk ditandai yang menjelaskan mengapa mengatakan teroris itu pasti beragama atau pasti tidak beragama merupakan sebuah masalah dan kerancuan berpikir.

Tidak Beragama Belum Tentu Melakukan Teror

Pertama, orang tidak beragama belum tentu melakukan teror, sama halnya dengan orang beragama belum tentu melakukan teror. Negara-negara Skandinavia misalnya, seperti Denmark, Swedia, Finlandia, banyak sekali orang tidak beragama di sana.

Phil Zuckerman, dalam bukunya, “Masyarakat Tanpa Tuhan”, mengatakan bahwa Denmark merupakan salah satu negara yang rakyatnya paling tidak beragama namun tingkat kriminalitas dan korupsinya justru salah satu yang terendah di dunia, pendidikan dan ekonominya termasuk yang terbaik di dunia, layanan kesehatan yang baik, dan kebijakan sosialnya egaliter.

Mengatakan bahwa orang tidak beragama pasti melakukan teror atau tindakan kriminal lainnya menunjukkan bahwa kita “kurang piknik” dan tidak mengakui bahwa di luar sana banyak orang baik yang tidak beragama.

Biasanya, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mungkin orang yang tidak beragama bisa menjadi orang baik? Salah satu jawaban terhadap pertanyaan ini adalah bahwa agama bukanlah satu-satunya acuan moral bagi manusia di dunia ini. Masih ada acuan moral lainnya yang bisa dijadikan pegangan oleh manusia dalam menjalani kehidupan, misalnya seperti hukum adat, hukum positif negara, dan lain-lainnya.

Maka, pertanyaan yang lebih relevan untuk dikemukakan bukanlah apa moral yang dipegang, tetapi seberapa jauh moral yang dipegang sudah direalisasikan. Membangga-banggakan acuan moral yang kita pegang sebagai acuan terbaik tidak akan cukup tanpa dibarengi fakta-fakta hasil dari reliasasi acuan moral tersebut.

Fokus pada Perilaku, bukan Identitas

Kedua, terorisme itu bukan masalah teroris itu beragama atau tidak. Intinya adalah terorisme itu kejahatan, siapapun pelakunya. Jangan hanya fokus pada identitas pelakunya, tapi fokuslah terutama pada perilakunya. Jika identitas teroris itu beragama, akui. Jika identitasnya tidak beragama, akui. Yang pasti perilakunya sama, yaitu meneror orang lain, apapun motifnya.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Setiap kali terjadi tindakan teror, sebagian masyarakat kita masih berhenti pada identitas pelakunya tanpa mengkritisi sebab-sebab perilakunya. “Tuh, kan, pasti kelompok itu!”, “Teroris itu enggak punya agama!”, adalah kalimat-kalimat yang masih sering dijumpai ketika terjadi kasus terorisme.

Justru, sebab-sebab terorisme lebih penting untuk diketahui, dan untuk mengetahuinya tidaklah mudah. Fokus yang terhenti pada identitas pelaku teror hanya membuat kita berhenti pada pertanyaan siapa pelaku teror, tidak sampai pada mengapa pelaku tersebut melakukan teror.

Penafsiran Agama yang Bermasalah

Ketiga, jika identitas seorang teroris itu beragama, maka hal tersebut seharusnya memperingatkan kita bahwa ada yang tidak beres dalam penafsiran agama yang ada di kehidupan masyarakat kita. Agama memang tidak salah, karena agama hanyalah alat yang baik atau tidaknya tergantung kita sendiri sebagai penggunanya.

Tetapi, penafsiran kita terhadap agama masih berkemungkinan salah. Teroris itu menafsirkan atau menelan mentah-mentah sebuah penafsiran yang berwatak atau bernuansa kekerasan. Itu adalah fakta. Mengelak dari fakta tersebut hanya akan membuat kita terus “kecolongan”. Kesadaran bahwa penafsiran yang keras bisa mengganggu stabilitas masyarakat merupakan sesuatu yang harus kita upayakan bersama.

Upaya pemerintah dalam memberantas terorisme tidak akan berhasil secara maksimal jika kita sebagai masyarakat masih gemar terhadap penafsiran agama yang tidak ramah.

Penyebab Terorisme Tidaklah Tunggal

Keempat, penyebab terorisme tidak cuma satu. Ia bercabang bagaikan akar serabut. Terorisme memang memperingatkan kita untuk melihat ulang penafsiran kita terhadap agama, namun mengatakan bahwa terorisme semata-mata karena permasalahan tafsir agama juga merupakan sebuah kenaifan. Terorisme juga terkait dengan masalah sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, hingga politik.

Jika kesenjangan sosial dalam masyarakat masih tinggi, misalnya, tentu hal tersebut menjadi sasaran empuk bagi pihak yang tidak bertanggungjawab untuk “mengompori” umat yang kemampuan berpikir logisnya kurang sehingga terdorong melakukan teror.

Negara-negara yang memiliki persoalan sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan politik yang baik dan stabil akan sulit untuk “dibobol” oleh terorisme. Jadi, terorisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tapi tanggung jawab seluruh masyarakat secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Alhasil, terorisme merupakan masalah yang kompleks. Menuding teroris sebagai orang yang tidak beragama tidaklah membuat persoalan terorisme menjadi usai. Hal tersebut hanya membuat kita melupakan fakta-fakta bahwa banyak orang baik yang tidak beragama di dunia ini. Terorisme tidak terhenti pada identitas tapi lebih kepada perilaku.

Penafsiran agama yang ada di masyarakat masih ada yang bermasalah, dan penyebab terorisme tidaklah tunggal. Upaya penciptaan stabilitas masyarakat yang plural di negara ini tidaklah berhasil apabila kita melemparkan tanggung jawab ini kepada pemerintah saja tanpa kontribusi kita juga sebagai masyarakat. Tabik.

Muhammad Alwi
Muhammad Alwi
Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat pada kajian Hubungan Antaragama.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru