25.9 C
Jakarta

Muhammad Syahrur Sesat?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamMuhammad Syahrur Sesat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menurut Muhammad Syahrur dalam menafsirkan Alquran tidak diperlukan mengkontekskan bagaimana dan dimana wahyu itu turun termasuk pada Nabi. Karena dalam pandangannya bahwa kontekstualisasi ada pada teks itu sendiri yang dapat dilihat melalui struktur linguistiknya. Selain itu dia juga beranggapan bahwa tidak ada sinonimitas dalam bahasa. Sehingga ia membedakan term yang selama ini disinonimkan dengan Alquran.

Jadi dalam menafsirkan Alquran Muhammad Syahrur lebih cenderung menggunakan pendekatan linguistik Alquran. Hal demikian tidak terlepas dari asumsinya bahwa Alquran memiliki dua sisi mukjizat yakni sastrawi dan ilmiah. Yang pertama dipahami dengan pendekatan diskriptif-signifiantif. Yang kedua, dengan pendekatan historis ilmiah yang dimana keduanya terletak dalam bingkai studi linguistik. Pendekatan pertama dilakukan dengan memadukan analisis sastra dan gramatik. Sedangkan yang kedua dengan pendekatan sinonimitas.

Dalam menjalankan kedua metode tersebut, Muhammad Syahrur berangkat dari tiga prinsip kebahasaan Abu Ali Al-farisi yang dipegang oleh syahrur. Selain tentang ketiadaan sinonimitas dalam bahasa, yakni. Pertama, bahasa adalah sebuah sistem, kedua, bahasa adalah fenomena sosial dan konstruksinya terkait dengan konteks dimana ia disampaikan, ketiga, ada keterkaitan antara bahasa dan pemikiran.

BACA JUGA  Apakah Boleh Menjual Ginjal untuk Biaya Kampanye?

Kesimpulan sementaranya bahwa Muhammad Syahrur dalam menafsirkan perpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan yang kemudian dianalisis secara mendalam bagaimana pola kebahasaan tersebut, sehingga dapat menemukan suatu makna yang relevan dalam kontekstasi, oleh karena itu dia beranggapan bahwa dalam memahami Alquran tidak diperlukan dalam memahami konteks bagaimana ayat Alquran itu turun. Karena sebenarnya dalam teks Alquran sendiri mengandung bagaimana makna kontekstualisasinya, yaitu dengan bernggapan bahwa bahasa Alquran merupakan sebuah sistem.

Jadi dalam menaganggap bahwa bahasa sebuah sistem, konsekuensi logisnya seorang mufassir harus mencari makna suatu bahasa dari kurun waktu tertentu kepada masa saat mufassir melakukan interpretasi, karena sebagaimana pemaknaan bahasa akan terus berurbah dari waktu kewaktu.

Latif Sulton, M.A
Latif Sulton, M.A
Pegiat Kajian Islam dan Politik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru