Harakatuna.com – Saya lahir di era yang disebut sebagai “pasca-9/11.” Sebagai seorang Muslim, sejak awal kehidupan saya, agama saya selalu berada dalam bayang-bayang—sesuatu yang harus disembunyikan. Saat duduk di kelas satu, ketika teman-teman bertanya tentang agama saya, saya hanya berbisik setengah hati, “Saya Muslim.” Reaksi mereka selalu serupa—anak-anak bertanya apa versi Natal bagi seorang Muslim, sementara orang dewasa tampak kikuk, tidak tahu harus merespons bagaimana.
Namun, respons yang awalnya canggung ini segera berubah seiring bertambahnya usia saya. Dalam beberapa tahun, kebingungan mereka bergeser menjadi penghakiman dan bahkan kebencian.
Keimanan saya menjadi sumber ketakutan—lebih tepatnya, ketakutan akan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap saya. Pada usia 10 tahun, saya mulai sering disalahkan atas hal-hal yang tidak saya lakukan. Saat menginjak usia 12 tahun, saya sudah hafal semua aturan tak tertulis di bandara: tidak boleh berdoa secara terang-terangan sebelum lepas landas, tidak boleh bercanda dengan kata-kata seperti “bom,” dan yang paling penting—tetap menunduk dan berusaha tidak menarik perhatian.
Bagi orang lain, bahkan tindakan paling sepele pun bisa dianggap mencurigakan. Saya hanyalah seorang gadis 12 tahun, tetapi di bandara, identitas saya seolah menjadi ancaman. Sering kali, saya mendapati diri saya berharap agar pelaku serangan teror terbaru bukanlah seorang Muslim—dan jika ternyata iya, saya merasa harus meminta maaf atas sesuatu yang bahkan bukan kesalahan saya.
Saat memasuki sekolah menengah, ketakutan saya perlahan berubah menjadi kemarahan. Saya muak dengan orang-orang yang bahkan tidak saya kenal menuding saya sebagai penyebab tragedi acak, menganggap saya “tertindas” hanya karena saya seorang perempuan Muslim, atau melabeli saya sebagai anti-Amerika dan musuh kebebasan. Seiring bertambahnya usia, saya semakin yakin dengan siapa diri saya, namun dunia seakan terus-menerus menyangkal kebebasan saya untuk menjadi diri sendiri.
Setiap kali saya mendengar istilah “teror Islam radikal” atau “Moslem” (pengucapan yang, saya perhatikan, hanya digunakan oleh mereka yang tidak tahu apa-apa tentang Islam), kemarahan saya memuncak. Saya menjadi bertekad untuk membentuk narasi saya sendiri—baik melalui media sosial maupun diskusi di kelas.
Tidak lama kemudian, saya menemukan sekelompok perempuan yang memiliki tujuan serupa.
Saat mulai menulis untuk Muslim Girl, saya merasa sangat antusias. Di sana, saya bertemu dengan perempuan-perempuan luar biasa—para ibu yang menulis di sela waktu anak-anak mereka tidur, mahasiswa yang menyuarakan kesadaran di kampus, pengusaha yang menjalankan bisnis mode untuk Muslimah, hingga sesama siswa sekolah menengah yang sedang belajar bagaimana menggerakkan perubahan. Dalam sebulan pertama menjadi penulis, saya sadar bahwa kami adalah bagian dari sebuah gerakan.
Meskipun Islam kerap menjadi sasaran kebencian dan prasangka, perempuan Muslim terus bertahan. Kami berhasil menarik perhatian dan rasa hormat, membuktikan bahwa kami adalah individu yang merdeka serta memiliki peran penting dalam masyarakat. Aktivis seperti Linda Sarsour berjuang untuk menciptakan dunia yang penuh cinta.
Atlet seperti Ibtihaj Muhammad dan Dalilah Muhammad menjadi simbol sportivitas dan keanggunan. Sementara itu, para pendidik seperti Malala Yousafzai serta Fatima al-Fihri—pendiri universitas pertama di dunia—memberikan harapan bagi generasi masa depan.
Bagi saya, Hari Perempuan Muslim adalah perayaan bagi perempuan Muslim yang telah bertahan dan berkembang selama ribuan tahun. Hari ini memberikan kami kebanggaan yang telah lama dinanti. Ini adalah pengingat bagi dunia bahwa kami tidak bersembunyi dan tidak pula tertindas.
Yang terpenting, hari ini menjadi suar harapan bagi para gadis Muslim muda di seluruh dunia, memberi tahu mereka bahwa tidak peduli kebencian seperti apa yang mereka hadapi, mereka harus bangga—bangga dengan agama mereka, dengan warisan mereka, dengan keunikan mereka dalam menghadapi stereotip, serta dengan para perempuan Muslim yang terus mengubah dunia setiap harinya.