27.9 C
Jakarta
Array

Antropomorfisme Kaum Sufistik

Artikel Trending

Antropomorfisme Kaum Sufistik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

ولقد كرمنا بني ادم وحملناهم فى البر و البحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا (الإسراء (17) : 70)

“ dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’ [17] : 70).

Manusia

Manusia, tidak seperti makhluk-Nya yang lain, telah Allah muliakan di atas muka bumi sebagai khalifah. Ditundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk umat manusia. Seperti perahu yang berlayar, manusia mengarungi nasibnya sendiri sebagai khalifah yang Allah tugaskan untuk tidak berbuat kerusakan di atas bumi.

Menurut perspektif ulama , manusia memiliki dua kutub yang bertentangan  ; jasadi (tubuh) dan ruhani (spiritual). Nampak dalam firman Allah :

فإذا سويته ونفخت فيه من روحي (الحجر (15) : 29)

“ maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian) nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan) – Ku ke dalamnya.” (QS. Al-hijr [15] : 29).

Tubuhnya tercipta dari tanah (الطين) dan ruhaninya dari ruh Allah.[1] Dalam pandangan Dr. Ali Syari’ati, dua kutub yang bertentangan itu saling tarik menarik dan bergumulan dalam diri manusia, sehingga ia memilih salah satunya saja sebagai jalan hidupnya.[2]

Menurut sudut  pandang yang lain, Dr. Yusuf al-Qardhawi, manusia tidak dapat melalaikan tabiat kejadiannya yang berupa jasadi dan ruhani. Oleh karenanya, tabiat kejadian manusia mencakup dua arah secara beriringan ; jasad dan ruh.[3]  Dalam kitabnya, yaitu “ al-Iman wa al-Hayat “, ia berujar :

“ sungguh Allah telah menciptakan manusia berupa jisim (tubuh) yang padat dan ruh yang lembut. Tubuhnya menarik ke bumi, dan ruhnya memandang ke langit. Tubuhnya memiliki motif-motif dan syahwat (keinginan), dan ruhnya memiliki cakrawala dan pandangan-pandangan. Tubuhnya memiliki tuntutan-tuntutan seperti hewan, dan ruhnya memiliki kerinduan-kerinduan (rasa) seperti rindunya malaikat.”[4]

Pandangan Kaum Sufistik                                              

Dalam cara pandang kaum sufistik, seperti al-Ghazali menyatakan : manusia terdiri dari tiga hal ; jisim (tubuh), ruh, dan jiwa. Dan yang membedakannya dengan hewan adalah jiwanya, bukan ruhnya.[5] Firman Allah SWT inilah yang dimaksudkan al-Ghazali :

ونفخت فيه من روحي (الحجر (15) : 29)

Artinya :

“dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya.” (QS. Al-Hijr : 29)

Dalam hal ini, al-Jili yang merupakan kaum sufistik pula, sependapat dengan al-Ghazali bahwa manusia dan hewan tak berbeda, hewan pun memiliki ruh. Bahkan manusia, menurutnya, merupakan macam (النوع)  dari hewan. Karena hewan dalam definisinya merupakan jisim (tubuh) yang berkembang dan tumbuh yang digerakkan dengan kehendak.[6] Terlebih segala sesuatu dari hal-hal diindera pun (المحسوسات) memiliki ruh ; baik hewan, tumbuhan, ataupun benda mati.[7] Ia berlandaskan firman Allah SWT :

( 44 :  (17) الإسراء ) بحمده يسبح إلا شيء من وإن

Artinya :

“dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. Al-isra’ : 44)

Kendati demikian ia meneruskan, manusia merupakan wujud dan hal-hal yang dimuatnya, pun adalah al-haqq (Allah) dan al-khalq (makhluk).[8] Karena bersesuaian dengan sabda Rasulullah Saw :

خلق أدم على صورته

Artinya :

“Allah menciptakan Adam atas Citra-Nya.”

Ia melanjutkan, bahwa manusia merupakan paling turunnya tingkatan (المرتبة) dari segala hal yang ada (الموجودات) dan paling atas martabatnya dalam kesempurnaan, tidak ada yang seperti manusia. Manusia mencakup hakikat-hakikat ketuhanan (الحقاءق الحقية) dan hakikat-hakikat makhluk (الحقاءق الخلقية). Oleh karenanya, kejadian manusia merupakan penyempurna alam semesta.[9] Dalam pandangan ulama tasawuf, seperti al-Jili dan al-Ghazali, ia memiliki tendensi sendiri dalam memahami manusia.

Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil)

Menurut al-Jili, manusia seperti halnya nabi-nabi Allah dan para awliya (wali Allah) adalah manusia sempurna, atau dalam ungkapannya ialah “al-insan al-kamil”. Mereka berbeda-beda dalam tingkat kesempurnaanya (الكمال), sebagiannya sempurna (الكامل) dan sebagiannya lebih sempurna (اللأكمل).Kendati demikian, tidak ada yang dapat mencapai kesempurnaan layaknya nabi Muhammad Saw. Bahkan ia mengkhususkan bahwa al-insan al-kamil adalah Muhammad Saw.[10]

Dalam pandangannya, al-insan al-kamil saling bersandingan terhadap segala hakikat-hakikat wujud, baik hakikat yang tinggi (الحقاءق العلوية) dan hakikat yang rendah (الحقاءق السفلية), yaitu bersandingan dengan hakikat-hakikat makhluk (الحقاءق الخلقية) dan hakikat ketuhanan atau Allah (الحقاءق الحقية).[11]Sedangkan menurut ibnu Arabi, alam semesta ini senantiasa terjaga selama di dalamnya masih ada al-insan al-kamil.[12]

Antropomorfisme kaum sufistik semacam ini menghadapkan manusia pada dua wajah ; dzhohir (tampak) dan bathin (tak tampak), atau dalam ungkapan ibnu Arabi ialah syahadah (tampak) dan ghoib (tak tampak). Dengan (alam) gaib manusia, seseorang dapat mengerti Yang Bathin (sifat Allah), dan dengan (alam) syahadah (nyata) manusia seseorang dapat mengerti Yang Dzahir (sifat Allah).[13]

الحديد (57) : 3)) عليم شيء بكل وهو والباطن والظاهر والأخر الأول هو

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-hadid [57] : 3).

*Muhammad Anas

[1] Al-Insan wa al-Islam, Dr. Ali Syariati, hal-18 ;

[2] Al-insan wa al-Islam, Dr. Ali syariati, hal-19 ;

[3] Al-Iman wa al-Hayat, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hal-71 ;

[4] Al-Iman wa al-Hayat, Dr. Yusuf al-Qardhawi, hal-72 ;

[5] Mi’raj as-Salikin, al-Ghazali, hal-62 ;

[6] Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kulli maujud, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-60 ;

[7] Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kulli maujud, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-60 ;

[8] Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kulli maujud, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-62 ;

[9] Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kulli maujud, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-61 ;

[10] Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifati al-Awakhir wa al-Awakhir, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-207 ;

[11] Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifati al-Awakhir wa al-Awakhir, Syaikh Abdul Karim al-Jili, hal-211-212 ;

[12] Fushus al-Hikam, ibnu Arabi, hal-50 ;

[13] Fushus al-hikam, ibnu Arabi, hal-54.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru