26.7 C
Jakarta

Anies-Puan: Pasangan Alternatif Islam Modernis-Nasionalis

Artikel Trending

KhazanahResonansiAnies-Puan: Pasangan Alternatif Islam Modernis-Nasionalis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu berita yang cukup terobosan belakangan ini adalah berita tentang kemungkinan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat ini,  disandingkan dengan Puan Maharani, Ketua DPR yang berasal dari PDIP, partai yang dipimpin ibunya, Megawati Soekarnoputri.

Salah satu penggagasnya adalah Jusuf Kala, mantan Wapres Jokowi priode pertama, yang juga tokoh Islam modernis yang berasal dari Indonesia tengah dan tokoh Golkar. Foto mereka bersama Jokowi di arena Formula E belum lama ini pun berseliweran di jagat media sosial seperti facebook.

Meski belakangan agak meredup, jika benar, maka ini agaknya merupakan pasangan calon presiden (capres) 2024 alternatif yang cukup ideal, dan kemungkinan bisa meraup suara banyak. Tentu saja, ini masih asumsi dan memerlukan terpenuhinya beberapa syarat, tidak sebagai asumsi mutlak, yang layak dipertimbangkan oleh partai-partai dominan yang memunginkan mengusungnya.

Kekuatan Anies

Ada banyak kekuatan Anies yang layak diusung sebagai capres 2024. Bukan hanya kepopuleran dan elektabilitasnya yang tinggi  dalam berbagai survei, dimana ia menjadi calon tiga besar capres, yaitu Prabowo Subianto (Menhan RI), Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), meski antar dua yang terakhir sering bertukar tempat.

Di antaranya adalah kenyataan Anies berasal dari kekuatan masyarakat Islam perkotaan (modernis). Ia adalah aktivis HMI Cabang Yogyakarta saat menjadi mahasiswa UGM. Hingga kini ia pun duduk sebagai salah satu Presidium KAHMI (Korp Alumni HMI) pusat dan mantan Rektor Universitas Paramadina, universitas yang didirikan Almarhum Nurcholis Madjid, tokoh neo-modernisme Islam Indonesia bersama Gus Dur.

Kekuatan kalangan ini adalah di teknokrasi dan intelektualisme tanpa agenda Islamic state, sebagaimana mereka yang aktif di ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) yang pada akhir Orde Baru, organisasi ini menjadi pendulum politik Presiden Soeharto dan Habibie. Atau, hampir sama dengan Muhammadiyah yang bervisi Islam berkemajuan dan juga  mereka yang dulu aktif di PSI, Partai Sosialis Indonesia, yang didirikan Syahrir, meski akativis Psi banyak Muslim abangan.

Keberhasilan Anies menjadi gubernur harus diakui memang melalui gerakan 212 sebagai kekuatan Islam politik yang cenderung kanan yang sering disebut kaum Kadrun/Kampret. Mereka adalah lawan dari kekuatan kaum Kecebong yang kala itu mengusung Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

Namun, basis Anies sesungguhnya  adalah Islam modernis perkotaan kultural  di atas, dimana ia pun menampilkan kebijakan dan performa politik santun sebagai anti tesis dari Ahok sebelumnya yang dikeluhkan sebagian masyarakat, meski Ahik banyak terbosoannya.  Ia pun kini menjadi calon kaum Islam politik dan kaum modernis Islam dengan visi Islam kulturalnya, minus Islam tradisionalis, yang dianggap sebanding dengan capres-capres dari kaum nasionalis.

Kini menjadi berbeda dengan pilpres priode sebelumnya, dimana  kaum Islam modenis dan Islam politis hanya mampu bersaing di tingkat wapres saja seperti tampak dari tokoh Jusuf Kala. Dan itu hampir sama juga dengan kaum tradisionalis Islam seperti terlihat di tokoh Ma’ruf Amin.

Karena asal usulnya dari kalangan Islam modernis perkotaan yang nasionalis di atas, maka itu berarti kekuatan Anies juga adalah di intelektualisme. Salah satu kekurangan elite Orde Reformasi belakangan yang menonjol adalah di kemampuan intelektualisme. Fenomena kalangan elite politik saat ini yang sering kalah debat oleh Rocky Gerung–sebagai kekuatan oposisi individual yang dianggap mewakili Islam sosiologis perkotaan (modernis), meski ia non Muslim–memperlihatkan itu.

Mereka tak punya kemampuan logika yang tinggi, kemampuan menggambarkan realitas yang runut (sistematis) dengan berbasis teori/pendekatan ilmiah atau minimal melakukan kategorisasi, tidak komprehesif dalam memandang realitas, dan tidak tajam/kritis dalam melihat masalah. Pandangan mereka  pun tidak dalam, tidak tajam, tidak baru, dan bahkan tidak signifikans.

Mungkin sistem demokrasi yang berbasis massa membuat kalangan teknokrat dan intelektual –yang dipentingkan di akhir masa Orde Baru dan di awal Reformasi– menjadi banyak yang tersisih. Sudah lama juga Indonesia tidak punya presiden yang punya kemampuan intelektualisme yang tinggi pasca Soekarno-Hatta-Syahrir, Habibie, dan Gus Dur.

Tampaknya, pidato Anies di depan Sekjen PBB dimana ia diapresiasinya belum lama ini  memperlihatkan kekuatan Anies dalam bidang intelektualisme. Di dalamnya terdapat pilihan kata yang tepat dan juga kekuatan diskursus, meski pidatonya pendek.  Dan kemampuan itu sudah tampak sejak saya mengenalnya saat Anies menjadi mahasiswa, yaitu saat ada pertemuan pininanan Senat Mahasiswa se-Indonesia, di kampus UGM di awal dekade 1990-an.

Kala itu, ia adalah pimpinan mahasiswa di UGM, sementara saya di UIN Jakarta. Ia dapat bicara dengan tenang, runut, dan argumentatif di tengah banyaknya ide perbaikan gerakan mahasiswa kala itu.  Kemampuan dalam berdiskurus itu tentu penting, dimana kini di ruang publik Indonsia telah kehilangan/berkurangnya diskursus yang memadai.

BACA JUGA  Perang Gaza dan Matinya Kemanusiaan di Barat

Intelektualisme juga penting, karena dengan itu, seseorang bisa melihat masalah dengan tajam, sehingga bisa mengetahui syaraf masalah. Berdasarkan pengalaman Indonesia selama sekitar 6 tahun, kemampuan kerja saja ternyata tak cukup untuk poisisi presiden, jika tidak dibarengi kemampuan diskursif, ketajaman dalam melihat masalah hingga ke syarafnya, sikap independen, dan juga keberanian yang tinggi.

Karena kemampuan intelektualisme itulah, maka di antara kekuatan Anies berikutnya adalah tidak anti kritik, yang lebih sesuai dengan tuntutan sila keempat Pancasila. Ia pun dalam soal ini seolah/cenderung menjadi kebalikan dari kecenderungan rezim yang saat ini berkuasa. Seperti dipandang oleh sebagian ahli, rezim saat ini kecederungan besarnya adalah apa yang diinginkannya unstopable, karena minimnya oposisi dan kritisisme parpol yang membuat demokrasi di Indonesia kini tidak sehat. Protes publik atas banyak hal pun kemudian diabaikannya.

Dari mulai revisi UU KPK, pemecatan terjadap 75 pegawai KPK, meski belakangan mereka diakomodir di Mabes Polri, lolosnya UU sapujagat, dan UU IKN tanpa kritisme yang memadai.  Suara publik pun seolah menjadi suara berisik di tengah kebisingan.  Bahkan, kebebasan sipil kini menurun, yang membuat indeks demokrasi Indonesia menurun, selain oleh karena maraknya korupsi.

Sebaliknya, Anies berkecenderungan sebagai pejabat publik siap dikritik. Ia pun tak pernah membawa kritik yang dilayangkan publik kepadanya ke ranah hukum, meski sebagian kritiknya adalah serangan yang bersifat pribadi.

Namun, bukan berarti Anies bukan tokoh yang responsif atas problem real negara dan bangsa. Ia misalnya salah satu pelopor terlaksananya pendidikan Antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi di bawah Kemedikbud, meski sebelumnya sudah berlaku di sebagian PTN di bawah Kemenag.

Saat saya khutbah mengenai pentingnya pendidikan antikorupsi di Universas Paramadina, pada tahun 2008, hanya dalam hitungan tiga bulan, Universitas Paramadina menjadi pergurun tinggi pertama yang menjadikan PAK sebagai matakuliah wajib untuk semua mahasiswanya. Dari sinilah lahir IIEN (Indonesia Integrity Educaton Network) yang atas biaya TIRI Integrity Action, anggotanya mencapai 129 universitas.

Dari tim inilah lahir antara lain modul Pendidikan Antikorupsi yang diterbitkan DIKTI Kemendikbud pada tahun 2012. Tentu saja yang paling tampak adalah kepeloporanya dalam gerakan Indonesia Mengajar.

Selama memimpin DKI Jakarta Anies juga cukup berprestasi ketimbang Ganjar Pranowo misalnya. Ia adalah capres muda yang bisa bekerja. Tengok saja misalnya pembenahan transportasi yang kini menjadi terintegrasi, terutama MRT-nya yang nyaman dan murah. Tentu saja, masih banyak yang lain.

Di antaranya adalah: tata kelola kota, terutama tempat yang nyaman bagi pejalan kaki yang membuat Jakarta seperti kota-kota di negara maju; pembangunan Jakarta International Stadium di Jakarta Utara yang sempat viral saat dijadikan tempat berangsungnya salat Idul Fitri; dan pembangunan tempat balap Formula E yang viral juga belum lama ini, yang membuat Indonesia lebih dikenal lagi di Dunia.

Kelebihan Anies di atas tentu akan menjadi kekuatan politik nasional, jika dipasangkan dengan kekuatan nasionalis seperti Puan Maharani mewakili kaum nasionalis. Meski ada peluang juga dicapreskan, hingga kini kemungkinan yang paling real untuk Puan adalah posisi wapres, meski perkembangannya masih terus harus dipantau.

Jika ini benar-benar menjadi pasangan, dan mesin politik PDIP berjalan dengan baik, besar kemungkinan pasangan ini bisa memenangi Pemilu 2024. Tentu saja, akan lebih kuat jika partai Islam modernis ikut bergabung seperti PPP, PAN,  dan terutama PKS. Juga Nasdem. Agaknya, tiga partai Islam itu harus solid, jika ingin membuat sejarah presiden dari kalangan Islam modernis seperti saat Habibie menjadi presiden.

Tentu saja, yang sangat mungkin juga bergabungnya Golkar plus ketokohan Jusuf Kala yang bisa mengkonsolidasi politik di Indonesia Tengah dan Timur. Apalagi, jika dipandang Anies kuat juga di pulau lain selain Jawa. Lebih mantap lagi, jika kaum tradisionalis Islam bisa bergabung, meski ini kemungkinan kecil, karena kaum tradisionlis Islam sejak dulu dalam sejarahnya berkoalisi dengan kaum nasionalis abangan.

Alternatif lainnya Anies bisa dipasangkan juga bersama Agus Harimurti dari Demokrat, jika publik mau merotasi partai yang berkuasa ke depan agar Indonesia lebih baik lagi. Tentu dengan catatan di atas juga. Wallah a’lam.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru