26.8 C
Jakarta

Analisis Gerakan Politik HTI Perspektif Niccolo Machiavelli

Artikel Trending

KhazanahOpiniAnalisis Gerakan Politik HTI Perspektif Niccolo Machiavelli
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melihat realitas politik Indonesia yang plural dan liberal, yang mengikuti sistem negara barat dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang jauh dari peradaban, karena tidak memakai sistem politik Islam. Maka dari itu mereka selalu merespons isu-isu politik di Indonesia yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, mereka tidak segan melakukan segala cara untuk mengkritik sistem pemerintah Indonesia.

Gerakan Politik HTI Nir-Moralitas

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan aktivitasnya sedangkan Islam adalah ideologinya. HTI bergerak ditengah- tengah umat dan bersama-sama menjadikan Islam sebagai titik sentralnya. Khilafah dalam sistem HTI adalah sistem pemerintahan dan sistemnya bertentangan dengan Pancasila. Gerakan khilafah HTI yaitu untuk mengganti sebuah sistem yang telah disepakati oleh pendiri bangsa.

Gerakannya yang demikian jelas terlarang. HTI sebagai gerakan transnasional ingin memfokuskan pada satu negara yang berdasarkan Islam yang meliputi beberapa bangsa menjadi satu negara yaitu negara Islam. Jika gerakan tersebut dibiarkan berkeliaran untuk diperjuangkan tentu sangat berbahaya bagi kita sebagai warga negara Indonesia.

HTI merupakan gerakan politik yang tidak pernah menyerah untuk melakukan gerakan politiknya kepada masyarakat maupun organisasi Islam yang ada di Indonesia. Gerakan yang dilakukan salah satunya adalah lewat penyusupan ke dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Tentu, masuk ke dua organisasi tersebut adalah bagian dari usaha mereka untuk menyebarkan konsep khilafahnya.

Dalam praktik politiknya, seperti yang telah terjadi, HTI telah mengambil alih kekuasaan masjid yang telah dikelola dan dibangun dengan susah payah oleh warga NU. Masjid yang diambil alih oleh HTI salah satunya adalah masjid an-Nur desa Jatiwates, Tembelang, Jombang.

Masjid lain yang dikendalikan oleh HTI dan menjadi ajang cuci otak adalah masjid Babul Jannah yang berada di desa Sengon Jombang. HTI menggunakan masjid itu untuk melakukan kegiatannya seperti menonton video tentang fenomena umat Islam saat ini dan kemudian mengaitkannya dengan sistem pemerintahan di Indonesia. Kegiatan semacam itu hanya semata-mata untuk kepentingan politik.

Apa yang dilakukan HTI di atas merupakan politik yang tidak mempertimbangkan moralitas dalam berpolitik. Kalau kita melihat melalui perspektif Niccolo Machiavelli, HTI dalam melakukan pengambil alih kekuasaan atas masjid memang boleh dilakukan selama tujuan itu bisa tercapai, karena menurut HTI tujuannya merupakan hal yang baik, karena akan menentukan dalam mewujudkan Islam yang lebih maju dan mapan.

Niccolo Machiavelli mengatakan tujuan yang baik mengijinkan cara-cara yang jahat. Nilai tertinggi bukan individu tapi negara, individu boleh dikorbankan untuk kepentingan politik. Jadi HTI menggunakan individu atau seseorang untuk dijadikan korban politiknya dengan cara mencuci otak korbannya untuk memenuhi keinginan politiknya mendirikan sebuah negara Islam.

Dalam realistasnya, Niccolo Machiavelli melihat bahwa politik selalu dipenuhi dengan kebohongan, fitnah, dan hasutan kepada rakyat demi memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya agar tetap langgeng. Kita juga melihat itu pada politiknya HTI dengan mengesampingkan moralitas demi mewujudkan cita-citanya. HTI melihat politik yang terjadi sekarang ini merupakan politik produk kafir yang sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.

Mereka mengatakan bahwa politik produk kafir tidak akan membawa Indonesia pada kemajuan suatu negara. HTI melihat indonesia dalam realitasnya sedang dijajah oleh pihak barat, misalkan mereka melihat Indonesia sedang dicuri kekayaan alamnya seperti PT. Freport yang dikuasai oleh pihak asing, dan respons pemerintah hanya mendiamkannya dan seolah tidak mau tahu.

Dalam hal ini, mereka tidak mempertimbangkan moralitas dalam urusan politik. Mereka selalu menggunakan kata “kafir” untuk merespon isu-isu politik yang terjadi di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan pernyataan mereka yang mengklaim bahwa, HTI dalam menjalankan tugas-tugas politiknya selalu berdasarkan nilai-nilai keislaman.

Di sini mereka menafikan nilai-nilai keislaman, sehingga mereka menggunakan cara apapun untuk kepentingan politiknya. Sama halnya dengan Machiavelli yang mengesampingkan moralitas dalam urusan politik. Menurutnya negara ltu lebih penting dibandingkan apa pun, karena urusan negara itu levelnya adalah paling tinggi.

Virtu dan Fortuna Versi HTI

Virtu merupakan kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya, disini raja harus memiliki kualitas virtu yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan, dapat menggunakan cara kekerasan (sangat jahat). Virtu adalah terma kunci dalam konsepsi teori politik Machiavelli. Virtu difahami sebagai sifat superior dalam dunia politik. Kekuatan tersebut bertujuan untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan.

Dalam tubuh HTI, virtu bisa ditemukan dalam cara memandang peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan. HTI memandang laki-laki sebagai satu-satunya virtu dalam politik, dan bukan perempuan. Perempuan dianggap tidak mampu dan tidak mempunyai hak dalam ruang publik. Perempuan tersebut dianggap sebagi fortuna yang harus ditaklukkan dalam konsepsi teori Niccolo Machiavelli, untuk menaklukkan fortuna yaitu dengan cara menyiksanya.

Jadi perempuan harus ditempatkan di bawah kita, mereka harus dianiaya dan ditaklukkan. Dengan kata lain, fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.  Jadi virtu merupakan kumpulan sumber daya yang dimiliki seseorang, bisa diciptakan, dimobilisasi, dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya selaku aktor politik.

BACA JUGA  Pilpres 2024; Ulama Sebagai Komoditas Politik Semata?

Contoh virtu: kepintaran dan keberanian strategis dan taktis, ketelitian, ketegasan, reputasi pemurah hati dan pemaaf, dukungan dari masyarakat sendiri, dukungan penguasa negara tetangga, kemampuan memilih pembantu raja dan kemampuan membaca tanda zaman. Juga, tentu saja kelihaian dan kesediaan berdusta dan menggunakan kekerasan secara kejam dan berdarah dingin.

Ketika dalam sebuah acara muktamar PKS, dalam rangka pemilihan calon ketua Muhammadiyah, terjadi perdebatan antara pemuda-pemuda Muhammadiyah dengan aktivis HTI tentang seorang wanita yang didijadikan calon ketua yang diusung oleh Muhammadiyah. Ketika acara tersebut berlangsung dan seorang wanita menyampaikan pidatonya di hadapan para aktivis HTI, mereka menyorakinya, meneriakkannya seolah-olah mengejek ketidakpantasannya menjadi calon ketua Muhammadiyah.

Menurut aktivis HTI, perempuan tidak layak dijadikan seorang pemimpin, karena menurutnya perempuan tidak boleh aktif dalam dunia perpolitikan, tugas seorang perempuan cukup menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak.

Kalau dilihat dari kacamata Machiavelli, seorang perempuan diibaratkan fortuna yang menjadi objek atas kekerasan virtu seseorang. Disini aktivis HTI sebagai virtu telah menjatuhkan martabat seorang perempuan sebagai fortuna yang dianggapnya tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin, dan hal ini tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Islam memandang derajat perempuan dalam dunia sosial dan politik sejajar dengan laki-laki dalam hak dan kewajiban. Tentu yang dikatakan Machiavelli ini tidak terlepas dari kesetaraan bahwa laki-laki lebih unggul dalam melakukan sesuatu, termasuk untuk menjadi seorang pemimpin.

Politik Ketakutan HTI

Politik ketakutan merupakan strategi politik Niccolo Machiavelli. Konsep ini dioperasikan dengan cara menimbulkan rasa takut kepada masyarakat melalui kekerasan, intimidasi dan ancaman. Menurutnya lebih baik ditakuti daripada dicintai. Puncak ketakutan ini adalah kesetiaan kepada penguasa. Dalam analisis saya, konsep tersebut bisa ditemukan dalam strategi politik HTI. Organisasi masyarakat keislaman yang terjun ke dalam dunia politik ini melakukan segala cara dalam meraih kekuasaan termasuk politik ketakutan.

Berbeda dengan konsep ketakutan Machiavelli, HTI menakut-nakuti masyarakat secara psikis melalui keyakinan keagamaan mereka. Beberapa contoh yang mereka dengungkan ialah bahwa negara Indonesia adalah negara kufur, dan masyarakat yang menolak konsep khilafah yang ditawarkan HTI adalah dosa besar dan dianggap telah melakukan perbuatan maksiat yang paling besar.

Stategi ini tidak lain adalah untuk memperoleh dukungan dari penduduk Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena iu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas.

Ada perbedaan mendasar epistemologis yang menjadi latar belakang penegakan politik ketakutan antara Machiavelli dan HTI. Machiavelli berangkat dari latar belakang keresahan terhadap sifat manusia secara umum. Menurut Machiavelli manusia pada umumnya tidak tahu terima kasih dan segera ingin melepaskan diri dari bahaya. Untuk mengahadapi manusia semacam itu, lebih baik ditakuti daripada dicintai, karena seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik itu kehilangan kehidupan atau kepemilikan.

Berbeda dengan HTI yang berangkat dari latar belakang kondisi perpolitikan di Indonesia. Indonesia, menurut HTI memakai sistem negara kufur, dimana individu dalam pemerintahannya selalu terjerat kasus korupsi, nepotisme, penipuan, serta kasus-kasus hukum lain yang menimpanya. Sehingga konsep ini harus dirubah dengan konsep yang ditawarkan HTI, yaitu khilafah.

Contoh lain di luar gerakan politk HTI bisa dilihat dari pilpres 2019. Jika kita melihat belakangan ini persoalan moral dalam kampanye politik menjadi hal yang saling beririsan, ketika tujuan kekuasaan membenarkan segala cara, maka hoaks dan fitnah sering kali mendapatkan pembenarannya. Sementara kandidat yang bertarung justru mengkapitalisasi isu moral, mereka tidak ingin disebut Machiavellian, karena istilah tersebut identik dengan hal-hal yang tidak bermoral.

Namun pada praktiknya, mereka justru melakukan cara-cara tersebut. Jokowi misalnya adalah sosok yang berangkat dari status yang disukai oleh masyarakat, namun ia juga semakin tegas dan keras dengan istilah genderuwo dan sontoloyo. Sang petahana mengkapitalisasi politik hukum, salah satunya dalam kasus perppu ormas. Menurut penulis hal ini dianggap linear dengan pemikiran Machiavelli dimana tujuan stabilitas kekuasaan berbenturan dengan prinsip kebebasan berserikat dalam demokrasi.

Sementara dari pihak oposisi, Prabowo juga sosok yang bercitra kuat, ia menggunakan politik kebocoran kekayaan negara dan kehancuran bangsa sebagai alat politiknya. Hal ini sesuai dengan prinsip kekuasaan Machiavelli tentang politik ketakutan. Dan Prabowo menggunakannya untuk meraih dukungan politik. Jika tidak bisa meraih keduanya lebih baik ditakuti dari pada dicintai, demikian kata Machiavelli.

Untuk itulah Machiavelli menyarankan seorang penguasa hendaknya tidak mengutamakan legitimasi moral dan religius, melainkan fokus terhadap kekuasaan menjadi lebih stabil. Dengan itu stabilitas kekuasaan dan politik akan mengarah juga pada stabilitas negara. Stabilitas negara yang baik juga mengarah pada stabilitas keadilan dan kesejahteraan.

Dalam hal ini, pandangan Niccolo Machiavelli lebih mengarah pada desakan dan tuntutan situasi genting yang potensial menimbulkan turunnya stabilitas kekuasaan. Untuk itulah, penguasa sebisa mungkin bisa mengamankan kekuasaannya.

Abdur Rahmad
Abdur Rahmad
Santri Pesantren Nurul Jadid, pelayan para pelayannya kader biru kuning, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Probolinggo, yang tidak lain hanyalah seorang anak pulau Giligenting di seberang pulau Madura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru