26.1 C
Jakarta

Anak Muda Jadi Teroris Buntut dari Tafsir Ekstrem

Artikel Trending

Milenial IslamAnak Muda Jadi Teroris Buntut dari Tafsir Ekstrem
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Anak muda menjadi teroris berawal dari tafsir ekstrem. Penafsiran ekstrem menjadi pemicu utamanya. Itu terlihat sebagaimana mengutip teori Muhammad Abied al-Jabiri dalam bukunya, al-Aqls al-Siyasi al- Arabi, karena penafsiran atas agama yang dipolitisasi bisa memicu dan pemacu konflik yang berujung pada radikalisasi dan kekerasan agama (Mustaqim, 2018).

Maka perjalanan agama menemui jalan yang sempit. Mudah tersandung oleh batu neraka yang hanya menawarkan kekerasan. Dengan begitu pula, agama makin terjadi konflik dan kekerasan, baik yang dipicu oleh pertikaian qabilah (suku dan entnisitas), aqidah (keyakinan atau ideologi), maupun oleh persoalan ghanimah (persaingan ekonomi) (Wijaya, 2018).

Tafsir Literal dan Parsial

Dari argumen di atas, sudah jelas aksi-aksi kekerasan agama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ideologi ekstrem teroris yang keras yang berbasis pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang parsial. Seperti kata Mustaqim, sejauh tafsir terhadap Islam bersifat literal-radikal, maka sejauh itu pula dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sosial politik para penganjurnya.

Misalnya, sejumlah ayat-ayat ditafsirkan secara tekstual dan mengikuti kemauannya sendiri. Hal kita bisa lihat dari produk tafsir-tafsir mereka yang terinspirasi dari tafsir Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an yang memang terdapat beberapa penafsiran yang potensial untuk dijadikan legitimasi terhadap praktik kekerasan agama. Contohnya ketika menafsirkan “Ina al-Din Indallah al-Islam.., Sesungguhnya agama yag benar di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19). Ayat tersebut oleh penafsir dipahami sebagai legitimasi untuk menyingkirkan agama lain.

Produk ijtihad para ulama seperti hukum, sistem, Pancasila dan sejenisnya harus ditolak karena dianggap menyimpang dari Islam. Hal demikian dipertgegas saat Sayyid Qutb menafsirkan ayat: “waman lam yahkum bima anzala Allah fa ulaikmum al-kafirun” (QS. al-Maidah [5]: 44). Artinya: Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh allah Swt (yakni Al-Qur’an), maka mereka itu adalah kafir. Karena mereka kafir, maka harus diperangi dan semua hukum produk manusia harus diganti dengan yang sesuai dengan hukum Allah Swt.

BACA JUGA  Idul Fitri: Meraih Satu Bulan Kemenangan, Tetapi Mengotori Sebelas Bulan Lainnya?

Penafsiran seperti itulah yang kemudian melahirkan produk tafsir yang mengarah pada radikalisme agama. Bahkan tafsir-tafsir di atas akhir-akhir ini oleh para ideolog dan aktivis muslim konservatif-teroris dijadikan pijakan untuk menselancarkankan praktik garang agamanya (Wijaya, 2018).

Sehingga, tidak heran jika pemahaman agama begitu tekstual dan literal dan karena itu mereka ber-ideologi dan menalar Islam dengan kaku dan keras. Karena menalar agama kaku dan keras, maka terjadilah tindakan-tindakan keras atas nama agama. Kendati seperti kata Gerrtz, pola pikiran (mode of thought) ada hubungan yang signifikan dengan pola perilaku (mode of conduct) (Clifford Gerrtz, 1993). Maka, produk nalar pikiran yang keras melahirkan tindakan yang keras pula.

Moderatisme Tafsir

Sebab itu, untuk remoderasi Islam yaitu untuk membendung ideologi radikalisme agama, diperlukan setidaknya ada dua jalan. Pertama, kontra narasi. Kedua, pembacaan yang kritis (qira’ah al-naqd), holistik dan komprehensif dalam memahami Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks, baik internal teks maupun eksternalnya. Juga harus berpijak pada ragam pendekatan dan analisis semantis, semiotik, hermeneutik, maqashid dalam proses penafsiran.

Jika jalan di atas mulai dilakukan, maka agama pasti meniscayakan jalan keluar, bukan semata bahasa keras yang lantang mengatakan “agama adalah solusinya”. Seperti Nabi, meski punya power, beliau tidak menunjukkan sikap-sikap intoleran dan berlaku diskriminatif terhadap non-muslim, yakni Nasrani dan Yahudi. Tapi, Nabi SAW tetap meneguhkan akan visi dan misi agamanya (Islam) sebagai agama yang humanis, tidak dijadikan alat pendendam, apalagi kesewang-wenangan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru