31.8 C
Jakarta

Aliansi Ulama-Umara Penyebab Kemunduran Negara Muslim, Benarkah?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifAliansi Ulama-Umara Penyebab Kemunduran Negara Muslim, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Tumpukan argumen mengenai penyebab kemunduran negara Muslim belakangan ini kembali bergeming meramaikan khazanah perdebatan. Akibatnya, lahirlah banyak versi berkaitan dengan hal klasik ini. Sejumlah nama kembali diangkat agar polemik semakin menarik. Sebut saja Syakib Arslan, simpatisan Pan-Islamisme yang sohor di zamannya itu. Kemudian Ahmet T. Kuru, sang ‘pencerah’ yang dibanggakan oleh pengagumnya karena buah pikirnya yang dianggap baru dan menyegarkan.

Dalam pandangan Syakib, penyebab mundurnya negara Muslim hanya ada dua, yaitu banyaknya umat Muslim yang meninggalkan tradisi; dan hilangnya semangat bekerja keras dengan pasrah begitu saja kepada nasib yang menimpanya. Sekilas pandangan Syakib ini dapat dipahami maksudnya dengan mudah. Bahkan barangkali secara umum, orang-orang berpikir demikian, khususnya untuk alasan yang kedua.

Berbeda dengan Syakib, Ahmet memiliki cara pandang berbeda dalam menuturkan penyebab mundurnya negara Muslim. Menurut Ahmet, keterbelakangan negara Muslim disebabkan oleh menguatnya aliansi ulama-umara secara berkelanjutan. Bahkan sebagaimana disampaikan Luthfi Assyaukanie sebagai pendukung teori ini, perpaduan aliansi ulama-umara dengan sistem iqta merupakan perpaduan paripurna guna menciptakan kemunduran negara Muslim.

Cara pandang Ahmet ini dianggap sebagai paradigma baru nan menyengarkan oleh Luthfi. Bukan tanpa alasan, Luthfi lantas membeberkan mengapa ia sangat terkesan dengan pendapat Ahmet ini. Menurut Ahmet, sebagaimana dikutip oleh Luthfi, awal mula kemunduran Islam yaitu tatkala faksi Sunni dan Syiah berkonflik di abad 10 H yang mana wilayah Islam sebagian besar dikuasai oleh Syiah.

Al-Qadir sebagai khalifah Abbasiyah kala itu mulai menghitung peta politiknya. Sebagai usaha untuk menyelamatkan kepemimpinannya, ia kemudian mengundang dan mempekerjakan ulama untuk berkhidmat di pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar setiap kebijakan yang dikeluarkannya mendapatkan legitimasi ulama sebagai senjata mempengaruhi masyarakat agar taat dan patuh terhadap kebijakan yang telah dibuatnya. Dan ulama yang dipilihnya adalah al-Mawardi, tokoh agama dengan pengaruh luar biasa.

Di awal abad 11 H, al-Qadir membuat kebijakan kontroversial untuk membredel faksi selain Sunni yang dianggap sesat, termasuk Syiah dan Muktazilah. Bahkan lebih jauhnya, kebijakan tersebut sampai membolehkan untuk membunuh mereka yang berhaluan lain dengan Sunni. Lagi, kebijakannya tersebut diamini dan didukung dengan mendapatkan legitimasi utuh dari al-Mawardi dan pemerintahan Sunni lainnya. Begitu seterusnya hingga jabatan khalifah diganti oleh anaknya, al-Qaim.

BACA JUGA  Mengonstruksi Ruang Digital yang Steril dari Ekstremisme-Terorisme

Postulat Muslim Sunni

Postulat al-Qadir ini menjamur hingga tahun 1050-an H. Esensinya masih sama, memberangus selain Sunni. Nizham al-Mulk membuat lembaga pendidikan yang di dalamnya hanya mempelajari ilmu-ilmu Islam saja, ilmu umum tidak diajarkan di madrasah ini. Kendatipun ada pelajaran Filsafat, ini dimaksudkan untuk ‘membombardir’ para filsuf yang menurutnya lebih condong pada Muktazilah.

Tidak ada yang salah sebenarnya. Pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan sejatinya memiliki porsi sendiri untuk diterima oleh mereka yang menggelutinya. Namun, bangunan argumen Ahmet T. Kuru-lah yang kemudian diamini oleh Luthfi. Yang perlu diutarakan adalah bahwa konklusi dari kedua tokoh besar di atas merupakan fakta sejarah yang terjadi di masa yang berbeda, tentu dengan analisis yang matang juga tajam.

Semisal kita soroti pandangan Ahmet. Pandangan tersebut bisa saja dianggap tepat tatkala persoalan yang dihadapi negara adalah perseteruan Sunni dengan Syiah. Akan tetapi jika dikaitkan dengan kemunduran negara Muslim hari ini, letak persoalan bukan terletak pada wilayah ideologi, melainkan Human Development Index yang sebenarnya telah disebutkan oleh Luthfi sendiri. Karena itulah, sebagaimana disampaikan Luthfi bahwa negara paling islami versi Islamicity Foundation adalah Selandia Baru yang notabene penduduknya bukan mayoritas Muslim.

Dengan demikian, jika aliansi ulama dan keberlangsungan sistem iqta dianggap menjadi penyebab umat Muslim hari ini dengan dasar sejarah khalifah al-Qadir yang beraliansi dengan al-Mawardi yang dilanjutkan anaknya juga pemimpin berikutnya, ini hanya terbatas pada persoalan sempit. Karena tugas inti ulama tersebut hanya melegitimasi kebijakan khalifah, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan Syiah dan Muktazilah yang dianggap sesat, tentu di samping kebijakan lainnya.

Oleh sebab itu, alih-alih menjadi penyebab mundurnya negara Muslim hari ini karena klopnya ulama-umara, justru bisa jadi sebaliknya. Keharmonisan yang terjalin di antara keduanya dapat menjadi pemicu gairah etos kerja meningkat. Kejujuran, kebersihan dan keadilan sebagai bagian dari tolok ukur negara islami yang diusung sejatinya menjadi dogma agama juga hajat pemerintah/negara.

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru