26.1 C
Jakarta
Array

Al-Qur’an Terpengaruh dari Ajaran Tradisi Yahudi ? Benarkah ?

Artikel Trending

Al-Qur'an Terpengaruh dari Ajaran Tradisi Yahudi ? Benarkah ?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berangkat dari fenomena masifnya kajian al-Qur’an di Barat, salah satu karya kesarjanaan Jerman yang di awali oleh Abraham Geiger (1810-1874), seorang rabbi yahudi dengan sebuah tulisan yang berjudul “Was hat Mohammet aus dem Judenthume aufgenommen”Geiger menyimpulkan bahwa ada 3 masalah utama keterpengaruhan al-Qur’an dari tradisi Yahudi yaitu seperti : 1) Beberapa kosakata al-Qur’an yang berasal dari tradisi Yahudi, seperti tabut, jannatu ‘adn, jahannam dll. 2) Konsep Agama Islam, yang mana Geiger menganggap dalam al-Qur’an memuat aspek keimanan dan doktrin keagamaan dari tradisi ajaran Yahudi. Seperti tentang penciptaan langit dan bumi beserta segala isinya dalam enam hari. Ia mengatakan bahwa dalam hal ini al-Qur’an sejalan dengan Bibel. Kemudian mengenai tujuh tingkatan Surga. Dalam kitab suci disebutkan bahwa ada tujuh tingkatan surga dan semuanya telah diberi nama. Hal ini tertera dalam Chagiga 9:2. Begitu juga dalam al-Qur’an, sebagaimana yang tertera dalam Q.S. Al-Baqarah: 29, 3) Mengenai pandangan hidup. Menurut Geiger, ada beberapa hal yang sama antara Islam dan Yahudi dari aspek pandangan hidup seperti  : harapan menjadi husnul khatimah, etika saat membuat janji, amal jariah, dan mengenai balasan perbuatan kebaikan.

Abraham Geiger merupakan sarjana Barat  yang ingin membuktikan keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Yahudi, hal ini bisa dilihat dari beberapa pemikiran Geiger yang telah dipaparkan. Secara umum, asumsi yang diangkat Geiger adalah ingin mengungkapkan bahwa al-Qur’an tidak lebih kecuali sebuah produk dan buah tangan Muhammad yang disusun berdasarkan Bibel yang sudah berkembang saat itu di Makkah. Geiger ingin mengatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sesuatu yang transenden, karena di dalamnya terdapat kombinasi dan perpaduan berbagai tradisi yaitu Yahudi dan Nasrani. Menurutnya, al-Qur’an hanyalah sebuah tanggapan Muhammad tentang tradisi dan kondisi sosial masyarakat Arab pada saat itu, maka konsekuensinya ia bersifat kultural dan untransenden. Asumsi Geiger sebenarnya tidak lepas dari keberadaaan Geiger sendiri yang merupakan Rabbi Yahudi Jerman, sehingga tidak heran bila ia memiliki asumsi terhadap al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan. Sikap kritis-objektif harus dikedepankan dalam menilai setiap kesimpulannya, bukan sikap apologis semata terlebih dalam dunia akademis. Namun, kita sebagai umat Islam sudah pasti memiliki reaksi negatif dalam menanggapi apa yang diasumsikan Geiger. Imam Asy-Syuyuti menyebutkan bahwa ada 120 kosakata yang bukan berasal dari bahasa Arab dan ia mengatakan bahwa adanya berbagai kosakata yang seperti ini didalam al-Qur’an adalah untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an itu mencakup ilmu-ilmu  para pendahulu maupun mereka yang akan datang kemudian. Selain itu, kita ketahui bahwa kitab-kitab terdahulu Yahudi berbahasa Ibrani, sedangkan tidak ada sejarah yang menyebutkan bahwa Rasulullah memiliki kemampuan berbahasa Ibrani. Jika kita melihat dari perspektif Teologis, sudah jelas apa yang dikatakan Geiger dapat kita tolak, karena jelas al-Qur’an bukanlah kitab yang terpengaruh oleh tradisi ajaran Yahudi, namun al-Qur’an sendiri adalah pembenar kitab-kitab samawi sebelumnya baik Taurat yang merupakan kitab suci umat Yahudi, maupun Injil yang merupakan kitab suci umat Nasrani. Sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. Al-Maidah ayat 48 : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…”.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru