26.9 C
Jakarta

Aktor di Balik Kericuhan Aksi Mahasiswa dan Simpati Sosial yang Macet

Artikel Trending

Milenial IslamAktor di Balik Kericuhan Aksi Mahasiswa dan Simpati Sosial yang Macet
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sudah terbeberkan begitu nyata betapa aksi kemarin tak menuai hasil yang maksimal. Itu terjadi karena banyak hal yang tak terduga. Salah satunya kasus kekerasan yang menimpa seorang dosen Universitas Indonesia, Ade Armando.

Seorang dosen UI yang juga influncer itu digebuk massa tak dikenal. Sekujur tubuhnya babak belur. Kini dilarikan ke ruang ICU, Rumah Sakit (RS) Siloam, Semanggi, Jakarta Selatan. Menurut kabar media massa, kondisinya tambah memburuk.

Kekerasan Tak Dibenarkan

Ade Armando, datang ke tengah-tengah aksi demo sekadar membuat konten. Sempat ia juga diwawanca oleh beberapa media, sebelum ia dihajar oleh oknum yang benci terhadapnya. Ade jelas banyak orang tidak suka kepadanya karena banyak hal: dia juga sering ngejek pejabat dan mengatakan kasar di media sosial (kekerasan verbal), mengatakan kadrun terhadap lawan politiknya, dan juga kebal hukum.

Tapi aksi kekerasan tak bisa dibenarkan. Sebagaimana Ade yang sering melakukan kekerasan secara verbal, dan juga kepada oknum atau penyusup aksi demonstran mahasiswa yang menonjok sekujur tubuh Ade sampai tengkulai lemah dan bertelanjang. Dari peristiwa ini, yang terjadi media hanya mengekspos berita tentang Ade, tetapi melupakan butir-butir tuntutan aksi mahasiswa.

Ada empat butir tuntutan mahasiwa pada aksi demo 11 April tersebut. 1) menolak penudaan pemilu 2024 dan menolak masa jabatan 3 periode: 2) menuntut dan mendesak Presiden Jokowi untuk menunda dan mengkaji ulang UU IKN termasuk dengan pasal-pasal yang bermasalah, serta dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial ekologi, dan kebencanaan: 3) mendesak penerintah untuk menstabilkan harga dan ketersediaan bahan pokok di masyarakat: 4) menuntut untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.

Yang paling penting dalam tuntutan aksi demo tersebut adalah mahasiswa meminta presiden dan wakil presiden berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji kampanyenya di sisa masa jabatannya. Terkait ini masih ada Sembilanbelas tuntutan mahasiswa yang tak kunjung diindahkan: silakan klik https://www.suara.com/news/2022/04/11/140111/daftar-18-tuntutan-bem-si-yang-tak-kunjung-diindahkan-bertambah-4-poin-terbaru?page=3

Bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa ini adalah gerakan yang cair. Mereka berjuang demi kepentingan bangsa dan demokrasi, meski juga ada yang sebaliknya; yakni demi kepentingan diri sendiri dan kekuasaan serta sebagainya. Singkatnya, gerakan mahasiswa ini adalah gerakan moral dalam motif politik. Artinya, mahasiswa beraksi dalam bingkai politik untuk mengubah kesepakatan politik pemerintahan, yang sekonyong-konyongnya untuk didaratkan kepada kebaikan moral publik.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi dan Moderasi Bukan Perbuatan Tercela

Penyusup Lebih Diutamakan

Tapi apa boleh buat, ketika penyusup lebih disenangi oleh moncong kamera dan media massa di Indonesia. Alhasil, gerakan moral mahasiswa diobsesikan menjadi gerakan yang amoral. Ketika ada satu influncer babak belur, maka hancurlah tujuan daripada demo mahasiswa tersebut.

Yang terjadi, ketika aksi mahasiswa yang merupakan gerakan murni dan organik tersebut menjadi cacat. Gerakan mahasiswa yang diinisiasi untuk menjaga moral bangsa sekaligus sebagai pengingat pemerintah agar tak gelap kekuasaan, menjadi tak bermakna.

Tentu itu bukanalah kesalahan murni mahasiswa. Itu adalah kesalahan penyusup yang memang punya misi untuk menggembosi gerakan mahasiswa. Penyusup ini telah melakukan perang tagar di media sosial #TurunkanJokowi. Di medan aksi, kelompok mereka juga meneriakkan “Jokowi Mundur”. Mereka juga membawa spanduk dengan seruan yang sama. Mereka juga menyuarakan mosi tidak percaya kepada DPR RI dan Pemerintah Indonesia.

Belajar Memetakan Aksi

Terlepas dari itu semua, jika Anda masih memiliki kesadaran dan objektivitas akal sehat yang penuh, akan bisa membedakan mana yang betul-betul murni aksi untuk membangun bangsa dan mana yang sekadar menjadi pendopleng pada setiap aksi-aksi mahasiswa. Di sini butuh kejelian, agar tidak mudah menilai setiap aksi adalah seperti yang tuduhkan kiai dan kakek di media sosialnya, seperti postingan ini, “mahasiswa buta huruf, tak sanggup membaca dan tuli, tidak mampu mendengar, dll”.

Sesungguhnya jika kita bisa membaca dengan kepala dingin, maka kita bisa mendapatkan point-point tuntutan aksi mahasiswa. Minimal bisa membedekan mana tuntutan mahasiswa dan mana tuntutan yang menunggangi. Tapi itu tak mungkin bisa dan berarti, jika mata hatinya, sudah digerogoti oleh fanatisme buta, jiwanya tebal oleh kemapanan, penghormatan dan elitisme, serta tangannya menginginkan ciuman wolak-walik, dari tangan-tangan yang rapuh. Duh!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru