Harakatuna.com – Reuni 212 akhirnya usai digelar tadi pagi, tapi hanya dihadiri ratusan orang. Pada tulisan kemarin, PA 212, Melemahnya Imamah FPI, dan Politisasi Islam yang Sudah Tidak Laku, telah disinggung bahwa massa tidak akan banyak karena dua hal, kesatu, FPI dan habib Rizieq sebagai komoditas yang sudah tak berdaya dan, kedua, sudah muaknya masyarakat dengan politisasi Islam. Namun, pertanyaannya, apakah aksi kali ini akan menjadi akhir hayat PA 212, atau akan ada aksi lagi tahun depan?
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu perlu dikaji lagi tentang landasan politis PA 212 dan aksinya. Menurut Amin Mudzakkir, doktor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, aspirasi Islam politik di Indonesia berdiri di atas landasan struktural yang lemah sebagai ideologi. Borjuasi ekonomi kurang tertarik dengan cita-cita radikal. Islam politik akan laku jika menyesuaikan diri dengan kebutuhan kapital. Tidak akan lebih daripada itu.
Konservatisme Islam, kata Mudzakkir, memang nyata, tetapi itu adalah bagian dari dinamika sosiologis masyarakat multikultural belaka. Faktanya, dalam konteks PA 212, mereka bisa menjadi radikal karena dikompori oleh “para pemain politik” yang sebagian besar justru berorientasi sekuler. Pemain politik Islam yang sungguh ideologis terlalu lemah dalam menggerakkan massa hingga ribuan orang seperti terjadi pada aksi Reuni 212 pertama, 2017 silam.
Para pemain politik, yang sebagian besar telah menjadi sosok religius, itu yang memobilisasi. Tapi pengaruh mereka besar dari segi filantropi, sementara magnet utamanya tetaplah FPI dan Habib Rizieq. Karena itu, Reuni 212 hari ini terjadi sangat kecil dan tidak signifikan. Setelah tidak dapat izin lokasi, tidak berlebihan dikatakan bahwa PA 212 sudah tamat sebagai ideologi Islam politik. yang tersisa adalah perasaan ketertindasan, yang ternyata juga tak efektif mendorong massa.
Akhir hayat PA 212 sebagai senja kala konservatisme mungkin terasa cenderung simplistis. Namun demikian, konservatisme, betapa pun ia kekal secara eksistensial, bisa berubah bentuk. AP 212 yang terlalu kentara kepentingan politis daripada agama sudah tidak punya marwah. Maka sementara kalangan, terutama pengamat, akan berpandangan bahwa tahun depan mungkin namanya bukan lagi PA 212—meski tetap dengan aktor yang sama.
Reuni-reunian Oposisi
Telah dikatakan juga, dalam tulisan sebelumnya, bahwa PA 212 lebih merupakan politisi oposan daripada kaum konservatisme. Oposisi memang berfungsi sebagai watchdog, yang mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. Tetapi jika kekritisan tersebut faktanya berbalut kepentingan politis, di situlah Reuni 212 sudah peyoratif. Ia tidak lagi laik disebut aksi bela Islam, melainkan aksi-aksian belaka. Biasanya oposisi selalu memainkan intrik ini. Berlagak sampaikan aspirasi, nyatanya tidak seideal itu.
Satu-satunya hal yang bisa diandalkan yang dimiliki FPI atau pun PA 212 adalah massa, tidak ada lagi yang lainnya. Semua kalangan pasti mengakui militansi mereka, yang kalau di atas bilang ke barat, yang di bawah akan ikut, mesti tidak tahu mau apa ke barat. Dari situlah ide reuni muncul, yang di antara pembingkaiannya adalah narasi melawan kezaliman rezim. Tapi antara reuni, arak-arakan massa, dan menyampaikan kritik terhadap pemerintah tetap tidak jelas.
Aksi-aksi yang digelar secara rutin telah melahirkan gerakan politik mengatasnamakan persaudaraan. Tentu maksudnya adalah persaudaraan politik sebagai sesama posisi. Aksi-aksian ala oposisi dalam Reuni 212 ini yang turut melanggengkan konservatisme, atau menjadi kendaraan para konservatif yang digaransi oleh politikus oposisi. Istilah concervative turn yang populer itu sebenarnya bersamaan dengan pragmatisme politik.
Mau Sampai Kapan?
Sampai kapan reuni-reuni yang tidak jelas tersebut akan berlangsung? Sampai kapan umat Islam dipermainkan para politikus? Perlu refleksi masing-masing. Ini bukan candaan. Mengatasnamakan pembelaan terhadap Islam tetapi faktanya kentara kepentingan politik kekuasaan jelas bukanlah ide bagus. Tanpa kesadaran individual, permainan ini tidak akan bisa berakhir.
Kalau benar-benar bermaksud menyampaikan aspirasi, reuni bukanlah satu-satunya jalan. Seharusnya mereka, atau kita semua sebagai umat Islam, malu karena orang luar akan berpikir betapa mudahnya memprovokasi umat Islam. Jelas kita harus kritis terhadap pemerintah, mengawal setiap kebijakan mereka. Tetapi ikut aksi atau reuni tanpa data riil bahkan tak memahami duduk perkara yang dituntut, itu naif. Semua harus bergerak berdasar nurani, bukan kepentingan oposisi.
Di sini tentu tidak mengkritisi Reuni 212 secara membabi buta, melainkan mengkritisi alasan aksi mereka yang masih terkesan sangat absurd. Narasi-narasi yang dibangun tidak jauh dari soal ‘kegagalan kinerja pemerintah’, yang dikaitkan dengan ‘pengandaian umat Islam yang berkuasa’. Jelas ini adalah taktik politik yang sudah usang, kuno, dan minim data konkret. Apakah selamanya kita, sebagai umat Islam, akan begitu?
Tidak. Kerangka berpikir yang hanya ikut-ikutan instruksi orang lain mesti dimusnahkan. Reuni harus dikembalikan pada makna idealnya, bukan yang terbumbui kepentingan-kepentingan politis. Arak-arakan massa juga mesti tak lagi ditempuh, karena untuk apa memamerkan kuantitas jika tidak berkualitas. Konservatisme boleh bergerak selama mengutaman rasionalitas, dan solidaritas umat Islam harus punya wibawa—tidak mudah diseret politik pragmatis.
Umat Islam harus berkelas secara intelektual maupun politik. Dan tidak mudah terprovokasi narasi oposisi. Umat Islam juga mesti menyadari eksistensinya kepada negara. Tahun depan, Reuni 212 tidak akan lagi, kecuali ada peluang politik baru. Selain itu, selama mindset umat masih hitam-putih, bagi oposisi yang berbalut keagamaan, mereka tidak lebih dari sekadar ‘kacung’ belaka. Jadi apakah akhir hayat PA 212 sekaligus menjadi senja kala konservatisme? Jelas, tidak.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…