32.1 C
Jakarta

Akar Terorisme Yang Mengatasnamakan Agama

Artikel Trending

Akar Terorisme Yang Mengatasnamakan Agama
image_pdfDownload PDF

Akar Terorisme Yang Mengatasnamakan Agama

Oleh: A Muchlishon Rochmat*

Sudah menjadi watak manusia menggunakan agama sebagai tameng untuk melegalitas segala tindakan seseorang maupun kelompok, meski tindakan tersebut ditentang oleh nalar sehat. Begitulah gambaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal terorisme. Mereka melakukan tindakan-tindakan radikal yang merugikan berbagai pihak atas nama ‘jihad’, menegakkan agama Allah dan mengibarkan bendera tauhid. Sangat ganjil sekali, tujuan yang mulia dilakukan dengan cara yang hina.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, masyarakat dunia lagi-lagi dikejutkan dengan jaringan Islam radikal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Akar jaringan ini sudah ada sejak 1999 namun baru pada Juni 2014 jaringan tetorisme ini memproklamirkan diri sebagai Islamic State dengan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai pimpinan tertinggi atau khalifahnya. Juga ISIS merupakan kelompok jaringan dengan kekayaan yang paling tinggi yaitu 15 triliun per tahun, uang tersebut didapatkan dari hasil penyelundupan minyak mentah dan penjarahan-penjarahan masyarakat sipil Irak dan Syuriah. Karena brutalnya tersebutlah ISIS menjadi musuh bersama dan paling berbahaya bagi kelompok-kelompok anti-terorisme.

Lantas apa yang menjadi motif terorisme tersebut dan bagaimana cara untuk meredam keganasan mereka? Alasan mereka yang sering kita dengar dan baca di media-media selama ini adalah sederhana yaitu ‘jihad’, menegakkan panji-panji Islam. Namun kalau kita telaah lebih lanjut, alasan atau motif terorisme sangatlah komplek dan saling terkait. Saling terkait antara satu sektor dengan sektor yang lainnya.

Setidaknya ada dua motif utama tindakan terorisme: motif religious dan motif sosial-ekonomi-politik. Setelah wafatnya Rasulullah, otoritas untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi tak terbataskan. Siapa saja bisa menafsirkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan yang diinginkan. Maka dari itu, tidak sedikit yang menafsirkan teks ‘jihad’ sebagai perang melawan para orang kafir karena mereka dianggap menjajah Negara Islam. Padahal setelah perang badar Rasulullah berkata bahwa perang di medan adalah jihad shighor (kecil), sementara memerangi hawa nafsu adalah perang akbar (besar) Berawal dari pemahaman agama yang sepotong-sepotong tersebut lah, terorisme berkembang dengan subur.

Kedua, motif sosial-ekonomi-politik. Diakui atau tidak bahwa kondisi umat Islam sedang dalam masa keterpurukan yang hebat, umat Islam tertinggal jauh dalam hal kesejahteraan dan kemajuan dari Barat. Hampir sebagian besar Negara yang mayoritasnya berpenduduk muslim berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan dalam segi ekonomi bahkan politiknya. Banyak pengangguran, tingkat kemiskinan yang tinggi, orientasi hidup yang pendek –karena hanya mengincar kehidupan akhirat dan frustasi dengan kemajuan Barat- menjadi serangkaian faktor bagi muslim untuk tidak segan bergabung dengan jaringan Islam radikal seperti ISIS.

Selain kondisi umat Islam yang terpuruk, jaringan Islam radikal mengiming-imingi kepada siapa saja yang mau bergabung dengannya dengan kehidupan yang sejahtera, honor yang tinggi, segala kebutuhan hidup dicukupi bahkan diiming-imingi dengan surga apabila mereka mati, karena meraka yakin bahwa mereka sedang berjuang dalam jihad menegakkan agama Allah. Sungguh ironis sekali, bagi siapa saja yang mau berfikir secara sehat tentu tidak akan bergabung dengan jaringan radikalisme tersebut hanya dengan alasan klise an sich.

Kita sadari atau tidak bahwa terorisme memiliki serangkain proses yang saling terkait –seperti pemahaman agama yang keliru, kesejahteraan yang kurang, kemiskinan yang merajalela dan frustasi terhadap kemajuan Barat. Apabila kita ingin memberantasnya tentu kita harus memangkas setiap rangkaian tersebut. Tidak cukup kalau hanya menangkap dan mengeksekusi para teroris yang tertangkap saja, karena mereka masih memiliki sistem kaderisasi yang saling berkesinambungan. Baik Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun masyarakat sipil memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengantisipasi dan memberantas jaringan terorisme.

Untuk menangkal dan mematikan paham terorisme dibutuhkan pemberian pemahaman keagamaan yang benar kepada setiap lapisan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi rakyat serta suntikan motivasi untuk mengejar ketertinggalan dari Barat –bukannya malah frustasi terhadap kemajuan Barat. Kalau semua itu sudah ditunaikan, terorisme atas nama agama (Islam) tidak akan memiliki lahan lagi. Waallhu a’lam

*Penulis adalah Wakil Sekretaris Majelis Pemuda Islam Indonesia

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru