Adalah terang benderang bahwa Islam radikal (bertujuan untuk pendirian negara Islam atau kekhalifahan Islam) telah mengancam tatanan dunia global dewasa ini, terutama aspek keamanan. Kebanyakan simpatisan dengan memiliki tendensi radikal, misalnya, menyerukan untuk mengadopsi sebuah disiplin agama yang ketat guna melawan kejahatan yang merundung masyarakat kontemporer dan secara negatif mempengaruhi dan mengarahkan perilaku manusia. Strategi non-kekerasan yang berdasar pada imitasi (peniruan) yang kaku, kukuh dan ketat pada kehidupan (baca: menghidupkan sunnah) Nabi SAW, telah didesain untuk disebarluaskan secara gencar kepada masyarakat Muslim lainnya di pelbagai belahan dunia melalui promosi dakwah Islam.
Pada saat yang sama, tinimbang mengadopsi jalan kekerasan dengan jihad, komunitas ini telah memfokuskan pada jalan damai untuk menyembuhkan kemurnian Islam yang telah terkontaminasi dengan pola hidup Barat dan secara bertahap mengenalkan perubahan fundamental ke dalam masyarakat Islam untuk kembali kepada perilaku sunnah nabi yang ketat. Dengan ujaran berbeda, aktivisme politik Islam yang damai, berdasar pada prinsip keagamaan telah menjadi strategi lain yang didesain untuk merestorasi kekuasaan Umma yang telah berkurang. Ia menghidupkan kembali semangat untuk membela sebuah gerakan solidaritas pan-Islamik, yang merujuk pada Jamaludin Al-Afghani, untuk melawan nilai dan dominasi Barat yang mencengkeram dunia Muslim.
Gerakan Islam radikal yang beragam telah mengusung sebuah kesamaan keyakinan, namun menganut tujuan dan cara yang berbeda. Namun, ketika aktivis politik telah memanggil untuk mengadopsi hukum keTuhanan (bersendikan shari’ah) di dalam negara-negara Muslim dan menyerukan komunitas Muslim secara umum dan setiap Muslim secara khusus untuk mengangkat bendera jihad untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berubah menjadi para pejuang miitan. Bahkan, dalam definisi “radikalisme keagamaan”, penekanannya pada sebuah jalan dengan mana sebuah kategori khusus komunitas Muslim telah menjadi dan mengalami proses “radikalisasi”. Dalam hal ini, apa yang mereka dapat terima sebagai justifikasi dan keharusan untuk bergerak ke arah jihad melawan negara dan warganya atau mengeksternalisasi efeknya ke dunia global.
Secara esensi, pemahaman radikalisme mengsyaratkan satu kewaspadaan mengenai peranan dominan doktrin Islam radikal di dalam inisiatif politik, oleh karena Islam tidak mengenal konsep sekuler tentang pemisahan antara negara dan agama. Dalam alur pemikiran ini, Islam politik memiliki dua tujuan yang berkelindan satu sama lain: memapankan solidaritas dengan Umma dan merestorasi rejim politik Muslim di bawah otoritas kekhalifahan. Dalam kerangka kerja Islam politik, kebanyakan Muslim radikal tidak setuju dengan penggunaan jalan jihad kekerasan sebagai cara untuk menegakkan pemerintahan. Beberapa gerakan, seperti Ikhwanul Muslimin yang eksis di banyak negara tidak menjauhi jihad kekerasan untuk tujuan politik, yang berasal dari posisi keagamaan skala luas. Namun, semuanya percaya bahwa kekuatan Islam terletak pada nilai dan praktik Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang saleh (salafi).
Dalam sejarah Islam, Salafi tidak pernah menyatu, tetapi merupakan faksi-faksi yang terpisah. Salafi adalah “Men of God” (orang-orang yang hidup dalam tuntunan Tuhan) yang menjadi tipe ideal salafi, di mana salafisme dilihat sebagai sebuah jalan untuk mencapai kebangkitan Isalam. Salafi telah digunakan oleh Ibn Wahhab yang bersekutu dengan Ibn Saud untuk mendirikan negara kerajaan Saudi Arabia dengan pertumpahan darah. Salafi juga diadopsi oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dkk, yang membawa salafi dalam arti modern, namun tidak diakui oleh Salafi-Wahabi. Nahdhatul Ulama juga di tanah air mengembangkan pendidikan Salafiyyah moderat, yang mengacu pada sahabat Nabi yang saleh, bukan pada Salafi-Wahhabi yang disponsori oleh Arab Saudi untuk mengukuhkan justifikasinya sebagai penjaga masjidil Haram dan masjid Nabawi. Namun, faksi salafi yang berhaluan garis-keras telah ditumbuh-kembangkan berdasar pada ideologi Islam dan mengupayakan pemberlakuan negara Islam melalui seruan jihad untuk mengobarkan sebuah revolusi jihad. Mereka mengambil inspirasi dari pandangan seorang militan yang merupakan tokoh Ikhwanul Muslimin, yaitu Sayyid Qutb (1906-1966).
Bagi Qutb, jihad bukanlah sekedar cara membela Muslim dan wilayahnya tetapi juga melakukan revolusi yang ofensif untuk melawan musuh-musuhnya yang telah meruntuhkan kedaulatan Tuhan, baik di dunia Muslim maupun dunia sekuler, dengan kedaulatan manusia melalui demokrasi. Selanjutnya kelompok Salafi jihadi global adalah sebuah gerakan keagamaan untuk memperbarui keagamaan dengan mengupayakan restorasi kejayaan Muslim yang hilang di dalam sebuah negara bangsa yang terbentang dari Maroko hingga Merauke, dengan menggunakan jalan jihad kekerasan. Dalam hal ini, mereka menyerang pemerintahan Muslim yang tidak memperjuangkan negara Islam sebagai musuh dekat (Near Enemy) dan juga kekuatan-kekuatan Barat (Far Enemy).
Pelbagai event mutakhir, yang berasal dari kebijakan politik dan domestik negara Barat dan pemerintahan Muslim, telah melabeli serangan Islam sebagai pelaku serangan teror (teroris). Pelabelan tersebut telah memberikan signifikasi pada proses politisasi Muslim. Satu perasaan yang teridentifikasi dalam Umma dan permusuhan melawan bentuk represi dan mempermalukan Muslim di seluruh dunia, telah mengakibatkan gelombang reperkusi yang tidak diharapkan. Revolusi Iran telah menjadi titik keberangkatan, di mana Muslim melihat bahwa jatuhnya rejim Shah adalah sebuah kemenangan Islam dan bukti bahwa negara Islam dapat dibentuk, meskipun di tengah bangkrutnya dan merajalelanya korupsi di negara Muslim. Kejadian tersebut telah memberikan efek berkekuatan penuh dalam membentuk kesadaran Muslim dan identitas Muslim bersama sebagai Umma. Juga terusirnya Uni Soviet dari tanah Afghanistan adalah bukti dari kekuatan jihad dari banyaknya Mujahid Muslim dunia yang terlibat. Sebagai satu akibat, saat ini banyak tempat seperti Afghanistan, Aljazair, Mesir, Kashmir dll telah disemangati oleh nilai Islam radikal dan kekuatan militer yang terbangun. Pembantaian Muslim di Bosnia oleh Kristen Serbia dipahami sebagai serangan pada Umma. Juga kasus penyerangan US ke Irak dan Libya belakangan di Suriah dan Yaman telah membangkitkan jihad kekerasan untuk menyembuhkan Islam murni. Inilah yang disebut radikalisasi pejuang Muslim militan.
Radikalisasi diujarkan terbentuk karena kondisi sosial politik yang menindas Muslim dan juga sebagai minoritas yang terekspos dengan marjinalisasi. Diakui bahwa terdapat pengaruh untuk radikalisasi, namun alasan utama mengapa sebagian orang siap mengadopsi jalan jihad kekerasan lebih kompeks adanya. Radikalisasi tidak tergantung pada beberapa proses dan faktor yang unik, namun pengaruh yang mentransformasikan mereka ke dalam radikalisasi juga dipengaruhi figur dan ajaran-ajaran radikal yang ditemui dalam lingkungan masjid, rekrutmen di kampus dan juga melalui keterpaparan di internet dan jaringan keluarga, perkawanan melalui sel-sel dalam pengajian tertutup (halaqah).
Oleh karenanya, di sini perlunya militansi gerakan Islam moderat untuk membendung proses radikalisasi yang berlangsung di ranah masjid, kampus dan internet sehingga barisan pemuda Muslim tidak gampang terekspos dan terjebak menjadi barisan “mujahid” yang mengagungkan jihad kekerasan mencapai tujuan pendirian negara Islam atau khilafah Islamiyyah.
Oleh: Ridwan al-Makassary
Penulis, adalah Peneliti pada Centre for Muslim States and Societies (CMSS) University of Western Australia.