31.1 C
Jakarta
Array

Ajarkan Pendidikan Agama Yang Menghargai Kemajemukan Kepada Anak

Artikel Trending

Ajarkan Pendidikan Agama Yang Menghargai Kemajemukan Kepada Anak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada anak bertanya kepada bapaknya, “Pa, kasihan ya, Pa, si Dodo dan keluarganya.” “Memang kenapa dengan si Dodo dan keluarganya?” tanya Bapaknya. “Kata Bu guru mereka akan masuk neraka karena agamanya berbeda dengan kita. Kasihan kan, Pa, padahal kan mereka baik sekali.” Anggapan seperti itu mungkin tidak hanya dimiliki oleh seorang anak, tetapi sudah menjadi bagian dari kesadaran banyak orang dewasa yang terlanjur dididik untuk menganggap “yang berbeda” sebagai yang lebih rendah dari agamanya, budayanya, etnisnya, dan tradisinya.

Ketika berbicara tentang “pendidikan agama”, segera kita diperhadapkan dengan dilemma-dilema yang pelik. Di satu sisi, ada niat baik orang tua untuk membekali anaknya dengan nilai-nilai moral. Banyak orang tua mengungkapkan keinginan mereka untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua, dengan memberikan pendidikan agama yang baik.

Sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum memilih menambah pelajaran secara privat atau belajar di lembaga-lembaga keagamaan. Namun ketika pendidikan agama bagi anak menjadi pilihan, muncul pertanyaan mengenai agama seperti apa yang harus ditampilkan. Kita paham, agama adalah salah satu ajang kontestasi yang kuat yang tak jarang disalahgunakan untuk berbagai macam kepentingan. Agama punya kekuatan luar biasa membentuk karakter, namun sejarah juga menunjukkan nyanyian dan pekik tangan anak soleh: “Islam-Islam Yes, Kafir-kafir No,” mengundang pertanyaan mendalam, apakah anak-anak perlu menaruh kebencian seperti itu?.

Sebaliknya, upaya untuk menyajikan pendidikan agama yang lebih terbuka pun memiliki dilemanya sendiri. Dari generasi ke generasi, serbuan media semakin mengkhawatirkan. Kontrol orang tua seakan seperti dilemahkan dan dinetralisir oleh kepentingan yang tujuan utamanya bukan untuk membangun moralitas yang luhur. Sehingga sebagian orang tua tetap merasa penting membangun karakter pada anak sejak dini.

Seringkali tolehan mengacu kepada agama. Kalau pendidikan agama tidak diberikan, muncul pertanyaan apakah anak mampu membangun moral di dalam dirinya filter terhadap pengaruh-pengaruh dari luar dirinya?.

Mungkin jalan tengah tentang gagasan dan praktik baru dalam pendidikan anak, yakni tentang pendidikan multicultural bisa menjadi pilihan. Pendidikan agama yang mengkotak-kotakan dipandang dapat memicu diskriminasi dan berpeluang besar terjadinya anggapan pemahamannya lebih benar dari pemahaman orang lain. Sehingga pendidikan multicultural yang mendudukan “yang berbeda” sama tinggi dan sama nilai menjadi sangat penting dalam paradigma pendidikan kita untuk meningkatkan toleransi sesama umat beragama, dan menolak adanya diskriminasi dan eksklusivisme. Maka membangun kesadaran multicultural sejak dini menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia mengingat sangat majemuknya masyarakat yang menghuni negeri ini.

Menurut HAR Tilaar, pendidikan multikultur tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan, akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan mengapresiasi. Dari sini diharapkan akan muncul modal kultural bangsa, karena bangsa yang kehilangan modal kultural akan sangat rawan terjadi perpecahan.

Modal kultural ini lahir dari kekayaan kearifan lokal bangsa yang jika diangkat bisa menjadi kekuatan yang sangat besar. Dalam konteks Indonesia yang dikenal amat majemuk, pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

Penanaman kesadaran multikultur sejak usia dini akan menjadi langkah yang sangat kreatif dan strategis dalam upaya pengelolaan kemajemukan bangsa. Seperti kata pepatah “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.” Dengan adanya pendidikan multikultur, diharapkan tidak lagi terjadi perpecahan diantara umat yang saling berbeda.

[zombify_post]

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru