Ajaran Rasul Terdahulu
Risalah Nabi Besar Muhammad saw bersifat universal diperuntukkan bagi semua umat manusia hingga bangsa jin. Ajaran beliau saw juga tidak terikat oleh waktu dan terbatas oleh tempat. Sementara risalah dan ajaran para rasul terdahulu hanya terbatas pada kaum dan wilayah tertentu saja. Al-Quran secara gamblang menyebutkan satu persatu kaum para rasul yang telah lewat sebut saja kaum Ad bagi Nabi Hud, kaum Tsamud bagi Nabi Saleh, kaum Madyan bagi Nabi Syuaib, kaum Bani Israil untuk Nabi Musa dan Isa. Dakwah para rasul terdahulu yang bersifat lokal ini juga dipertegas oleh Nabi saw sendiri, “Dahulu para Nabi itu diutus hanya untuk kaumnya saja. Sementara saya diutus untuk seluruh umat manusia HR. al-Bukhari.
Sejatinya ajaran-ajaran (baca: syariat, sengaja penulis hindari kata ini agar tidak terkesan kaku di telinga pembaca) para rasul yang diutus oleh Allah swt memiliki tujuan yang sama. Tidak ditemukan perbedaan dalam ajaran yang prinsip. Mereka, para rasul tunggal dalam ajaran (QS al-Syura [42]: 13). Salah satu ajaran rasul terdahulu yang secara prinsipnya sama dengan ajaran Islam adalah tentang tauhid (pengesaan Allah swt) dan keimanan (QS. al-Anbiya [21]: 25 & QS Al Imran [3]: 64), demikian terang Manna al-Qatthan dalam bukunya Târîkh al-Tasyrî al-Islâmî (1996).
Lalu apakah hanya tentang tauhid dan keimanan saja kesamaan ajaran kita, agama Islam dengan ajaran-ajaran rasul yang telah purna? Tidak, masih ada segelintir ajaran terdahulu yang ada titik kesamaan dengan ajaran kita. Mengenai hal ini para ulama kita berbeda-beda sikap serta memilah-milah, mana ajaran terdahulu yang masih berlaku dan mana ajaran sudah di-amandemen oleh ajaran Islam.
Oleh karena itu ajaran-ajaran rasul terdahulu dipilah-pilah oleh ulama, mana yang sama dengan ajaran Islam, mana yang berbeda, dan mana yang tidak jelas posisinya. Setidaknya ajaran-ajaran terdahulu dibagi menjadi tiga bagian; yang sama, yang berbeda, dan yang belum jelas. Pertama, kesamaan ajaran seperti berpuasa sebagaimana firman Allah swt dalam QS al-Baqarah [2]: 183 wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian (umat rasul terdahulu), berkurban sebagaimana riwayat dalam musnad Ahmad dan al-Mustadrak dari al-Hakim yang menyatakan ini merupakan ajaran Nabi Ibrahim as, dan juga khitan ajaran Nabi Ibrahim as sebagaimana QS al-Baqarah [2]: 124 (baca tafsîr al-Jalâlain karya al-Suyuthi). Kesamaan ini memang ditemukan kesesuaiannya dalam Al-Quran maupun hadis. Kedua, ajaran-ajaran yang berbeda sebut saja seperti cara bertaubat bagi Bani Israil harus dengan bunuh diri, mensucikan najis harus dengan cara memotong bagian yang terkena najis, diharamkannya memakan binatang yang berkuku, gajih sapi dan kambing (QS al-Anʻâm [6]: 145-146). Perbedaan ini ada karena memang ajaran dalam Al-Quran dan hadis telah merevisinya. Ketiga, ajaran yang belum ada kejelasan dipakai atau direvisi dalam agama Islam. Macam ketiga inilah yang diperselisihkan para ulama. Perbedaan sikap dikalangan para ulama ini berangkat dari perbedaan pandangan dalam memahami Islam sebagai agama perevisi ajaran terdahulu atau hanya sebatas penyempurna agama-agama terdahulu. Pandangan yang menyatakan Islam meng-amandemen semua ajaran-ajaran terdahulu berlandaskan QS Ali Imran [3]: 19, sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Sehingga ajaran-ajaran terdahulu yang tidak diterangkan dalam Al-Quran maupun sunah untuk direvisi ataupun disetujui, maka akan tidak diberlakukan dalam Islam. Sedangkan pendapat sebaliknya mengatakan bahwa ajaran-ajaran terdahulu masih berlaku selama Al-Quran dan hadis diam tidak merevisinya, pandangan ini digawangi oleh ulama madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Maliki dan segelintir ulama madzhab Syafii. [Ali Fitriana]