32.1 C
Jakarta
spot_img

Ajakan Hijrah ke Bumi Syam: Jangan Tertipu Rayuan Palsu!

Artikel Trending

KhazanahTelaahAjakan Hijrah ke Bumi Syam: Jangan Tertipu Rayuan Palsu!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Hiruk-pikuk persoalan kemenangan Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di Suriah membawa dampak yang begitu besar terhadap umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pasalnya, organisasi dan militan Islam di berbagai negara mengucapkan selamat kepada mereka karena telah meruntuhkan rezim Bashar al-Assad, yang telah lama berkuasa secara diktator dan kejam.

Melansir The Guardian pada Kamis (12/12) lalu, banyak cabang Ikhwanul Muslimin mengeluarkan pernyataan gembira merayakan kemenangan HTS, serta memuji rakyat Suriah atas penggulingan rezim Assad. Organisasi Ikhwanul Muslimin (IM), yang merupakan gerakan Islamis veteran dengan tujuan mendirikan pemerintahan Islam, juga memberikan ucapan selamat atas kemenangan HTS. Beberapa kelompok IM di dunia, seperti di Yordania dan Lebanon, menyatakan dukungan terhadap kemenangan tersebut. Para pejabat setempat turut menyatakan simpati kepada HTS dan kampanyenya.

Namun, kemenangan HTS sebenarnya tidak dapat dimaknai sebagai kebangkitan umat Islam semata. Hal ini disebabkan oleh kerja keras dari rakyat Suriah yang majemuk, khususnya dari kalangan lintas etnis dan agama, termasuk kelompok Kristen Ortodoks. Selain itu, upaya diplomasi dengan berbagai negara seperti Inggris, Amerika, Qatar, dan Turki juga berperan besar dalam penggulingan rezim tersebut.

Hal yang perlu diwaspadai dari kemenangan HTS, khususnya di Indonesia, adalah potensi dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis, jihadis, atau radikal untuk menyerukan jihad global dan pembentukan khilafah. Dengan narasi bahwa kemenangan HTS merupakan kebangkitan Islam dan tegaknya khilafah, masyarakat harus berhati-hati terhadap informasi yang beredar luas di media sosial. Tujuannya adalah agar tidak terpengaruh untuk melakukan hijrah ke Suriah demi berjihad atau berupaya menegakkan khilafah di Indonesia.

Hijrah ke Bumi Syam, Apakah Seindah Itu?

Sudah banyak contoh masyarakat Indonesia yang pernah hijrah ke Suriah tetapi kemudian pulang dengan penyesalan. Mereka menyadari telah terbuai oleh bujuk rayu kelompok radikal atau informasi semu yang bertebaran di media sosial. Salah satu contohnya adalah Nurshadrina Khaira Dhania, seorang perempuan muda yang pada tahun 2015 memutuskan hijrah ke Suriah setelah mendapatkan informasi tentang kemewahan dan keutamaan tinggal di negara khilafah.

Namun, kenyataan yang ia temui sangat berbeda. Dalam berbagai forum atau pertemuan, ia menceritakan pengalaman pahitnya. Imajinasi tentang Bumi Syam yang disampaikan oleh kelompok radikal tidak ia temukan, kecuali perilaku kasar, keras, bahkan sikap saling menyombongkan diri antar sesama Muslim.

Hal serupa juga dialami oleh Febri Ramdani, penulis buku “300 Hari di Bumi Syam”. Ia membagikan pengalamannya yang penuh ketakutan saat memutuskan hijrah ke Suriah. Dalam bukunya, ia menceritakan perjuangannya yang panjang untuk kembali ke Indonesia dan menyelamatkan keluarganya. Tempat yang awalnya ia bayangkan sebagai tempat penuh ketenangan, kemapanan, dan kemewahan ternyata justru diwarnai oleh pertumpahan darah dan kekerasan yang terus terjadi.

BACA JUGA  Proyeksi Propaganda HTI Tahun 2025: Narasi Lama dengan Wajah Baru

Karena itu, jangan sampai kita terbujuk oleh rayuan semu untuk hijrah ke Suriah. Banyak saudara Muslim yang telah menyesal mengambil keputusan tersebut. Dari kisah-kisah pahit mereka, kita perlu terus berupaya menyebarkan informasi agar tidak ada lagi korban serupa. Perjuangan untuk kembali ke Indonesia setelah hijrah ke Suriah bukanlah hal yang mudah; jalan yang dilalui sangat berliku. Narasi yang menyerukan jihad di jalan Allah dengan cara hijrah ke Bumi Syam untuk hidup di bawah naungan khilafah perlu kita tolak bersama.

Mengurai Propaganda, Mengedukasi Masyarakat

Media sosial telah menjadi salah satu alat utama dalam menyebarkan propaganda kelompok radikal. Dengan memanfaatkan platform seperti Facebook, X, dan Telegram, mereka menyajikan narasi yang tampak memikat, seperti janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan kehidupan yang ideal di bawah sistem khilafah. Kelompok ini menggunakan gambar-gambar yang menampilkan kemewahan, kebahagiaan, serta persatuan umat Muslim untuk menarik perhatian.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbanding terbalik. Seperti yang dialami Nurshadrina dan Febri, imaji tentang “Bumi Syam yang damai” hanyalah ilusi. Pengalaman mereka menjadi bukti bahwa banyak korban propaganda akhirnya terjebak dalam konflik berdarah, ketidakpastian, dan penderitaan tanpa akhir.

Edukasi dan literasi digital memiliki peran yang sangat penting dalam menangkal propaganda radikal. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya narasi radikal, khususnya bagi generasi muda yang rentan terhadap bujuk rayu kelompok ekstremis.

Program literasi digital bisa difokuskan pada cara mengenali berita palsu, memverifikasi sumber informasi, dan memahami bahaya ideologi radikal. Selain itu, narasi alternatif yang mengedepankan nilai-nilai Islam moderat, kasih sayang, dan kemanusiaan perlu terus diperkuat agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam propaganda yang menyesatkan.

Mantan korban propaganda, seperti Nurshadrina dan Febri, memiliki pengalaman langsung yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Dengan membagikan kisah mereka melalui buku, seminar, atau media, mereka dapat membantu mencegah orang lain terjebak dalam kesalahan yang sama. Kesaksian mereka memberikan sudut pandang otentik tentang bagaimana propaganda kelompok radikal bekerja, sekaligus menjadi peringatan bagi siapa pun yang mempertimbangkan untuk hijrah ke negara konflik.

Narasi jihad yang disalahgunakan kelompok radikal harus diluruskan. Dalam Islam, jihad memiliki makna luas yang mencakup perjuangan spiritual, intelektual, dan sosial. Hijrah ke Bumi Syam untuk mendukung kelompok radikal bukanlah bagian dari jihad yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, itu adalah penyimpangan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Ulama, cendekiawan, dan tokoh masyarakat perlu terus memberikan pemahaman yang benar tentang makna jihad. Dengan menyebarkan ajaran yang penuh kedamaian, Islam dapat menjadi benteng untuk menangkal radikal-terorisme.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru