Harakatuna.com – Beberapa hari lalu, saya mengobrol dengan seorang dosen. Ia bercerita, hari ini, para mahasiswa menghadapi tantangan yang meresahkan: artificial intelligence (AI). Anak-anak muda, dawuhnya, tumbuh di tengah revolusi digital lewat intelegensia artifisial. AI mampu memberi jawaban atas berbagai pertanyaan, mulai persoalan sehari-hari hingga topik perkuliahan yang kompleks. Namun, di balik privilese itu, muncul fenomena menakutkan: defisit intelektual.
Defisit intelektual dimaksud merujuk pada berkurangnya kemampuan generasi muda berpikir kritis, mencari solusi mandiri, dan mendalami suatu masalah. Alih-alih berusaha memahami atau menganalisis, mereka malah suka mengandalkan jawaban instan dari AI. Jelas, ini bukan masalah sepele. Perlu ada perhatian serius. Utamanya, ketika AI tidak dijadikan alat bantu saja, melainkan sumber utama kebenaran. Otak manusia pun bak nganggur; yang berpikir adalah mesin.
Dengan kata lain, ada paradoks di hadapan masyarakat Indonesia: AI sebagai solusi kesulitan atau pemantik kemalasan intelektual serta hilangnya proses berpikir. Bayangkan, ketika generasi lama biasa membaca buku, berdiskusi, atau menganalisis data untuk mendapatkan pemahaman, generasi hari ini cukup ketikkan segala masalahnya di ChatGPT, dan ribuan jawaban akan tersuguhkan. Keterampilan berpikir kritis yang idealnya terbentuk justru terkikis.
Anak-anak muda hari ini, kata seorang dosen kemarin, berpikir tidak melalui otak, melainkan dengan jari. Ironi? Jelas. Sebab, AI memberi jawaban langsung tanpa memaparkan proses atau argumen, yang berpotensi besar membentuk pola pikir instan yang dangkal.
Selain itu, adiksi AI membuka peluang radikalisasi. Sebab, algoritma AI itu didasarkan pada pola dan data historis, sehingga bertendensi bias atau memperkuat narasi tertentu. Generasi muda yang tak terbiasa menganalisis sesuatu—akibatnya otaknya tumpul oleh AI—sangat rentan terjebak bias informasi bahkan hoaks yang meresahkan. Bukankah narasi radikal menyebar melalui ruang gema (echo chamber)? Awas, jangan sampai generasi muda dibebalkan oleh AI mereka sendiri.
AI Bikin Anak Muda Jadi Bebal
Penting dicatat, saya tidak mengunggulkan generasi zaman dulu daripada generasi hari-hari ini. Degradasi kognitif yang dimaksud di sini ialah menurunnya kemampuan berpikir logis, analitis, dan kritis akibat kebiasaan adiksi AI. Faktanya, AI memang telah menggeser pola belajar anak muda. Buku-buku tak laku hari ini, bukan karena adanya e-book, melainkan karena AI menawarkan referensi instan—sekalipun penuh kekeliruan dan tidak otoritatif.
Pada saat yang sama, algoritma AI memprioritaskan efisiensi dan kepuasan pengguna. AI memberi jawaban berdasarkan pola prompt si user, bukan dialektika pemikiran logis. Akibatnya, anak muda murni menerima jawaban secara pasif, tanpa mengoreksi sedikit pun. Dalam jangka panjang, kebiasaan buruk semacam itu melemahkan daya nalar, hingga lahirlah generasi anti-kritik, sok benar, dan terjebak dalam zona nyaman pseudo-intelektual.
Dan ini bahayanya: anak muda jadi bebal. Ketika kemampuan berpikir kritis melemah, generasi muda menjadi pandir. AI, melalui algoritmanya, juga memperkuat bias kognitif pengguna. Orang yang tertarik pada topik Wahabisme lalu terus-menerus disuguhi konten yang memperkuat pandangan tersebut, maka ia akan jadi Wahabi. Pandangan yang berbeda atau bertentangan pun tak mendapat tempat, sehingga seseorang semakin terisolasi dari wasatiah Islam.
Ketika anak muda terpapar Wahabisme, mereka akan menginternalisasi ideologi tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya. Bebal, istilahnya. Anak muda jadi sulit diajak berdialog. Mereka menolak mendengarkan argumen apa pun, merasa paling benar, dan bahkan menolak fakta yang kontras dengan keyakinannya. Bebal intelektual semacam itu mengejawantah sebagai tantangan besar bagi para pendidik, keluarga, bahkan pemimpin Masyarakat.
Keniscayaan Revolusi Intelektual
Apa solusinya? Banyak. Yang paling radikal adalah revolusi intelektual. Ia menjadi keniscayaan untuk mengatasi tantangan defisit intelektual dan ancaman radikalisasi anak muda di era AI yang disruptif. Revolusi di situ tidak sekadar dalam arti perubahan pola pikir, tetapi juga transformasi struktural dalam cara kita mendidik, membentuk ekosistem intelektual, dan memanfaatkan teknologi secara bijaksana. AI tidak bisa ditentang, namun penggunaannya harus ‘bijak’. Lantas, bagaimana caranya?
Pertama, dimulai dari pembenahan sistem pendidikan. Pendidikan berorientasi pada hafalan dan penyeragaman perlu dirombak total jadi pendidikan yang mendorong berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Anak muda harus dibiasakan untuk bertanya, meragukan, dan mencari jawaban dengan pendekatan analitis. Teknologi AI, alih-alih digunakan secara plek-ketiplek, justru dijadikan mitra pembelajaran. AI sebagai pemandu, bukan pembantu yang membuat pikiran jadi tumpul.
Kedua, pengarusutamaan literasi digital sebagai bagian integral dari pendidikan. Anak muda perlu paham bahwa informasi itu diproduksi, disebarluaskan, dan dimanipulasi. Sehingga, mereka terselamatkan dari hoaks, propaganda, dan narasi eksklusivisme. Kesadaran kritis terhadap pola algoritma AI—yang kerap memperkuat bias dan memenjarakan user dalam echo chamber—justru akan jadi langkah awal membangun generasi yang berpikir tajam dan kritis.
Ketiga, diupayakan di dan melalui masyarakat luas, termasuk keluarga dan komunitas. Budaya diskusi yang sehat, baca buku yang istikamah, respek pada perbedaan pendapat, dan dorongan untuk terus belajar sepanjang hayat mesti ditanamkan sejak dini. Semua itu, tujuan jangka panjangnya, sebagai benteng terhadap radikalisasi, serta daya tahan intelektual dalam rangka menghadapi tantangan global masa depan; era di mana pikiran kritis boleh jadi langka atau bahkan punah oleh AI.
Keempat, memasifkan pemanfaatan teknologi secara bijak dan proporsional. Revolusi intelektual perlu memastikan bahwa “AI dipakai untuk memberdayakan manusia, bukan menggantikannya.” Regulasi yang tepat dan edukasi tentang potensi serta risiko AI perlu dimasyarakatkan, agar anak-anak muda tidak menjadi konsumen teknologi belaka, melainkan juga inovator yang mampu mengembangkannya dengan basis akhlak, moral, dan etika.
Tentu, dalam implementasinya, revolusi intelektual bersifat lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan ormas sipil perlu bersinergi menciptakan kebijakan dan inisiatif yang pro-intelektualitas. Jika tidak, maka defisit intelektual akan terus menggerogoti anak muda, dan pada gilirannya para generasi bangsa menjadi katalis radikal-terorisme. Jangan sampai itu terjadi!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…