32.1 C
Jakarta

Ahmadiyah dan Eksistensi Moderasi di Pulau Seribu Masjid

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuAhmadiyah dan Eksistensi Moderasi di Pulau Seribu Masjid
image_pdfDownload PDF
Judul: Refleksi Moderasi Beragama dalam Penyelesaian Konflik Ahmadiyah Lombok, Penulis: Lutfatul Azizah, Penerbit: Pustaka Egaliter, Cetakan: Pertama, 2022, Tebal: viii+182 hlm, ISBN: 978-623-5440-49-1, Peresensi: Karunia Haganta.

Harakatuna.com – Laporan yang disusun oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah berjudul Api Dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z (2018) menyatakan bahwa pada kelompok siswa dan mahasiswa, intoleransi lebih tinggi terhadap kelompok seagama yang dicap sesat ketimbang kelompok yang berbeda agama. Salah satu contohnya adalah intoleransi terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang kerap dicap sesat di Indonesia.

Keprihatinan serupa juga diungkapkan Ahmad Najib Burhani dalam Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia (2020). Menurutnya, moderasi beragama yang diterapkan pemerintah masih menemui keterbatasan dalam pelaksanaannya, khususnya pada kelompok minoritas yang dicap sesat seperti Ahmadiyah. Burhani menyebutnya sebagai pluralisme terbatas (delimited pluralism).

Diskriminasi yang dialami Ahmadiyah sering kali mencapai tahap kekerasan fisik, seperti penyegelan enam masjid Ahmadiyah pada 2011 di Depok yang didasarkan pada Peraturan Walikota Depok No. 9 Tahun 2011. Dewi Nurrul Maliki dalam artikel berjudul “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia” (2010) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga menemukan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta, seperti pengusiran, kekerasan verbal, dan penggerudukan rumah jemaat Ahmadiyah secara beramai-ramai. Tempat lain yang memiliki sejarah panjang diskriminasi terhadap Ahmadiyah adalah Lombok, dengan terasingkannya jemaat Ahmadiyah di pengungsian Asrama Transito Majeluk.

Buku berjudul Refleksi Moderasi Beragama dalam Penyelesaian Konflik Ahmadiyah Lombok merupakan salah satu upaya untuk mendiskusikan pemecahan masalah diskriminasi terhadap Ahmadiyah di Lombok. Buku yang diangkat dari tesis Lutfatul Azizah di UIN Sunan Kalijaga ini berupaya merefleksikan moderasi beragama dalam kerangka resolusi konflik dan membangun perdamaian (peace building). Refleksi ini penting karena, menurut Lutfatul, moderasi juga perlu diterapkan bukan hanya pada pencegahan konflik, tetapi juga penyelesaian konflik (hal. 6–7).

Lutfatul terlebih dahulu menjelaskan situasi umum, seperti ajaran Ahmadiyah, kelompok Ahmadiyah, serta kondisi Ahmadiyah di Lombok, maupun kehidupan keberagamaan di Lombok secara umum. Kelompok Ahmadiyah sendiri terbagi dua, yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan keduanya adalah pada status Mirza Ghulam Ahmad yang dianggap nabi oleh Ahmadiyah Qadian, sedangkan oleh Ahmadiyah Lahore dipandang sebagai mujaddid (hal. 24).

Kelompok Ahmadiyah di Lombok termasuk kelompok Ahmadiyah Qadian. Jumlah pengungsi berdasarkan daftar dari Kemenag maupun Dinsos ternyata tidak sesuai dengan realitas lapangan yang ditemukan Lutfatul. Hal ini kemungkinan karena dinamika, seperti ada yang keluar dari pengungsian (hal. 29).

Secara umum, kehidupan keberagamaan di Lombok ditandai oleh kesadaran terhadap relasi lintas iman, seperti antara Muslim dan Hindu, serta adanya percampuran budaya lokal dengan agama. Dari segi administratif, ada tiga organisasi yang mengatur dinamika kehidupan keberagamaan di Lombok, yakni Kemenag, Forum Keserasian Sosial (FKS), dan Kesbangpoldagri NTB (hal. 47–51).

BACA JUGA  Resolusi Jihad: Sejarah yang Sempat Terabaikan

Hubungan antara kelompok Ahmadiyah dengan non-Ahmadiyah dapat dibedakan antara sebelum dan setelah konflik. Sebelum konflik, relasi ini terjalin baik-baik saja. Namun, didorong oleh berbagai hal, terutama adanya fatwa Ahmadiyah sesat dan pertemuan Tuan Guru se-Lombok pada 2009 yang menyatakan halal darah Ahmadiyah (hal. 60), hubungan mulai merenggang.

Di Desa Ketapang, Ahmadiyah dilarang bermukim di sana meski tetap diperbolehkan beraktivitas seperti mengurus lahan (hal. 61). Ketegangan ini justru direspons sembarangan oleh Gubernur pada saat itu, yang menginstruksikan Kemenag Provinsi NTB untuk membina jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah menolak ini, yang sayangnya dianggap sebagai penolakan bantuan pemerintah (hal. 63).

Untuk mengatasi masalah ini, Lutfatul mendorong pemahaman terhadap konflik dan penerapan moderasi beragama sebagai bagian dari membangun perdamaian (peace building). Memahami konflik ini mencakup pemetaan aktor dan konteks, serta memahami karakter konflik, seperti konflik laten, terbuka, atau konflik di permukaan (hal. 74–83). Memahami konflik adalah langkah penting untuk memulai membangun perdamaian.

Kerangka kerja selanjutnya melibatkan penentuan kebutuhan, asesmen dampak konflik, asesmen dampak perdamaian, pemetaan aktor, peluang respons dan tindakan, serta kapasitas kelembagaan (hal. 97–101). Tujuannya adalah mewujudkan perdamaian, tidak hanya perdamaian negatif, tetapi juga perdamaian positif. Perdamaian negatif mencakup tidak adanya kekerasan, sedangkan perdamaian positif mencakup kesetaraan.

Menurut Lutfatul, kondisi relasi Ahmadiyah dan masyarakat lain sedang berada di titik stagnan (hal. 116). Meski tidak ada gejolak besar, konflik belum selesai. Hambatan utama dalam penyelesaian konflik adalah ideologisasi agama yang menegaskan identitas sebagai pemisah kawan dan lawan. Di sisi lain, lembaga seperti MUI turut andil melalui fatwanya. Tim PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dan Tim Penyelaras yang merupakan hasil kerja sama tuan guru, Kakandepag NTB, dan Kepala Bakesbanglinmaspoldagri juga gagal karena hanya fokus pada pembinaan (hal. 126), maupun ganti rugi dan relokasi (hal. 143).

Untuk membangun perdamaian, Lutfatul mengajukan transcend method, metode penanganan krisis sosial secara kreatif. Metode ini mencakup tiga tindakan: kreativitas, orientasi pada masa depan, dan dampak berkelanjutan dari faktor psikologis dan budaya yang mendalam (hal. 153–154).

Beberapa kelebihan dan kekurangan buku ini dapat dicatat. Kelebihannya adalah penggambaran dinamika penanganan konflik antara kelompok Ahmadiyah dan warga Lombok lainnya serta sikap kritis Lutfatul terhadap data dari wawancara. Namun, kelemahan utama adalah kurangnya penerapan teori secara kritis, alur penulisan yang kurang teratur, dan kurangnya elaborasi data terkait organisasi lain yang disebutkan.

Karunia Haganta
Karunia Haganta
Lulusan Antropologi Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru