Harakatuna.com – Menarik mencermati event Temu Muda Muslimah 2024 yang mengusung tema “The Next Level Activism: We Aspire, We Engage, & We Stand for Islam Kaffah. Muncul pertanyaan di benak kita, apa makna frasa “the next level activism” dalam tema tersebut. Mereka mengklaim gerakan mereka sudah atau setidaknya tengah menuju naik kelas. Sekali lagi, naik kelas yang seperti apa?
Analisa sederhana saya menyimpulkan bahwa frasa the next level activism itu bisa dipahami ke dalam setidaknya empat tafsiran. Pertama, dakwah HTI kini tidak lagi fokus di dunia nyata (reality), namun justru lebih aktif di dunia virtual (virtual reality). Mereka menjadikan internet dan media sosial sebagai alat untuk mempropagandakan agenda politis mereka.
Kedua, dakwah HTI kini tidak lagi sekadar berorientasi pada isu-isu pokok seperti jihad, khilafah, syariah, dan Islam kaffah. Alih-alih, dakwah HTI kini lebih banyak berorientasi pada isu-isu yang relevan di kalangan Gen Z. Misalnya, isu pendidikan, kesehatan mental, kehidupan sosial pemuda, dan sejenisnya.
Ketiga, dakwah HTI kini tidak hanya berorientasi pada indoktrinasi dan rekrutmen anggota sebanyak-banyaknya. Namun, orientasi dakwah mereka kini lebih pada membangun keterikatan (engagement) dengan para pengikutnya. Dengan kata lain, mereka fokus melahirkan kader-kader yang loyal dan militan.
Alias bukan sekadar pengikut yang tidak setia dan mudah berpindah haluan di tengah jalan. Keempat, dakwah HTI kini mulai mengadaptasi budaya populer, utamanya yang tengah hits di kalangan anak muda milenial dan Gen Z. Antara lain seperti musik, stand-up comedy, film, podcast, dan sejenisnya.
Agenda di Balik Frasa The Next Level Activism
Namun, dalam tafsiran saya, ada misi yang lebih berbahaya di balik frasa the next level activism tersebut. Dalam analisis saya, the next level activism ala HTI ini adalah mengubah Gen Z dari sekadar homo digitalis menjadi homo brutalis. Apa itu homo digitalis dan homo brutalis?
Homo digitalis adalah istilah yang kerap dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat yang sangat aktif di dunia digital (internet, media sosial, dan lainnya). Atau dengan kata lain, menjadikan media digital sebagai bagian integral dari kehidupannya. Gen Z bisa dikategorikan sebagai homo digitalis, karena mereka mencari informasi, pengetahuan, hiburan, dan pertemanan di dunia digital.
Homo digitalis inilah yang secara jumlah saat ini sangat dominan. Survei termutakhir menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penggunaan internet dan medsos terbesar di dunia. Saat ini, ada sekitar 221 juta pengguna internet aktif di Indonesia. Itu artinya, sekitar 70 persen lebih penduduk Indonesia adalah homo digitalis.
Jumlah yang sangat besar itu tentu menjadi sasaran empuk bagi kaum radikal-ekstremis seperti para simpatisan dan eksponen HTI. Maka, mereka aktif sekali memproduksi konten digital dan menyebarkannya di media sosial.
Tujuannya tidak lain adalah meradikalisasi homo digitalis itu dan mengubahnya menjadi homo brutalis. Istilah homo brutalis merujuk pada manusia yang berperilaku brutal, dalam artian pola pikir dan perilakunya didominasi oleh nalar sempit, bernuansa kebencian, dan pro kekerasan.
Homo brutalis adalah bahan bakar yang sangat potensial untuk menyulut api revolusi seperti dikehendaki oleh para pengasong khilafah. Masyarakat yang brutal niscaya mudah diadu-domba dengan sesamanya, diprovokasi agar bersikap intoleran, dan pada titik tertentu akan dengan sukarela melakukan teror dan kekerasan. Itulah puncak kengerian dari fenomena homo brutalis.
Perang Ideologi di Media Sosial
Adalah kewajiban kita seluruh elemen bangsa dan masyarakat utuk menggagalkan misi eks-HTI mengubah homo digitalis menjadi homo brutalis. Caranya tentu dengan membendung manuver mereka di media sosial. Perang yang kita hadapi saat ini bukan perang fisik yang melibatkan tentara atau senjata. Perang saat ini terjadi di ranah digital yang melibatkan kontestasi narasi dan para tentara digital berwujud akun-akun bot juga para pendengung (buzzer).
Media sosial telah menjadi battle ground baru bagi perang ideologi keagamaan; radikal versus moderat. Siapa yang menguasai kanal-kanal informasi, merekalah yang berkemungkinan besar menjadi pemenang. Kemampuan membangun narasi yang meyakinkan publik akan menjadi faktor penentu siapa yang akan mendulang simpati publik. Di era ketika kebenaran ditentukan oleh viralitas, faktor engagement atau keterikatan menjadi hal yang mutlak.
Maka, gerakan moderasi beragama pun kiranya juga harus menuju “next level” alias naik kelas. Agenda moderasi beragama tidak boleh berhenti hanya pada tataran wacana atau terrealisasi ke dalam kegiatan seremonial seperti seminar, pelatihan, studi banding, dan sejenisnya. Agenda moderasi beragama harus dibranding semenarik mungkin bagi kalangan Gen Z.
Jangan sampai, agenda moderasi beragama tenggelam oleh popularitas konten-konten dakwah HTI yang adaptif pada tren gaya hidup Gen Z. Agenda moderasi beragama harus bertransformasi dari sekadar seremonial formal menjadi tren yang menjangkau seluruh kalangan, terutama Gen Z yang menjadi sasaran utama radikalisasi.