33 C
Jakarta
Array

Agama dan Nasionalisme: Kunci Eksistensi NKRI

Artikel Trending

Agama dan Nasionalisme: Kunci Eksistensi NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama dan nasionalisme merupakan dua faktor kunci yang menjaga eksistensi dan kesinambungan peradaban bangsa, sehingga tidak seharusnya dipisahkan.” KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU.

Meskipun hubungan agama dan nasionalisme telah selesai diperbincangkan pada era Natsir, Soekarno, dkk. pembahasan mengenai hubungan keduanya masih saja menarik diperbincangkan hingga kini. Pasalnya, meski telah ditemukan titik kompromi, ada saja umat beragama (baca: Islam) yang menolak konsep nasionalisme. Golongan ini menganggap nasionalisme sebagai bid’ah yang akan merusak nilai transendental keimanan yang agung.

Perlu dipahami, nasionalisme merupakan sebuah paham yang direalisasikan dalam sebuah gerakan yang mendambakan kepentingan bersama. Dengan demikian, karena agama juga mendambakan kemaslahatan bersama daripada kemaslahatan individu, sejatinya agama dan nasionalisme tidak saling bertentangan. Keduanya justru saling bahu-membahu mewujudkan bangsa yang beradab.

Islam Mendorong Nasionalisme

George McTurner Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia mencatat sejumlah aspek yang menjadi pendorong muncul­nya nasionalisme di Indonesia. Selain kesatuan teritori, rasa persatuan Indonesia dibentuk oleh agama Islam, bahasa kesatuan, volksraad (majelis rakyat), dan surat kabar. Lebih dari 90 persen penduduk Indonesia me­nganut Islam, kata Kahin saat itu, jelas merupakan faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme yang terpadu.

Dalam ungkapannya, Kahin mengatakan, “Agama Islam bukan hanya suatu ikatan biasa, ini benar-benar merupakan semacam simbol `kelompok dalam’ (in group) untuk melawan pengganggu asing dan penindas suatu agama berbeda”. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menafikan peran Islam dalam pembangunan nasionalisme ke­bang­saan yang berlangsung di Indonesia. Pun, sastrawan yang sering dicap kiri, seperti Pramoedya Ananta Toer juga mengungkapkan hal serupa dalam tetralogi Bumi Manusia.

Maka, tak heran, kalau sejak awal Natsir telah menegaskan bahwa konsep nasionalisme dalam pengertian ikatan persatuan antar etnis untuk pertama kali dipakai dan memperoleh makna persatuan yang sesungguhnya oleh dan dari kalangan Islam. Tak hanya itu, Deliar Noer dalam The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1990-1942 menambahkan bahwa Islam identik dengan nasionalitas. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan nasionalisme di Indonesia dimulai dengan nasionalisme Muslim.

Jadi, pada dasarnya nasionalisme dan keimanan bukan sesuatu yang berseberangan, bahkan justru beririsan. Ketuhanan ialah pandu agar negara yang telah dibuat tidak menemui jalan sesat. Nilai-nilai ketuhanan yang maha esa yang diletakkan pada sila pertama justru menjadi karakter khas dalam berbangsa. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 dengan fasih menggambarkan tautan Tanah Air di hadapan Allah SWT, ‘…Tanah air itu ialah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia…Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, Tanah Air kita? Menurut geopolitik, Indonesia-lah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja, Borneo saja, Selebes saja, Ambon saja, atau Maluku saja, melainkan segenap kepulauan yang ditunjuk Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudra. Itulah Tanah Air kita.

Dengan demikian, kalau ada orang-orang yang masih mengutak-atik ihwal hubungan agama dan nasionalisme, apalagi mempertentangkan keduanya. Hal itu bukan hanya mencerminkan kegagapan pikir, melainkan juga menggambarkan pemahaman yang tercerabut dari akar sejarah kebangsaan. Mereka tidak pernah membaca bagaimana negeri ini didirikan oleh leluhur kita. Selebihnya, mereka tak dapat memaknai agama secara rasional, membumi, dan kontekstual (Salahudin, 2015).

Pun, bagi setiap warga negara Indonesia (WNI), kecintaan terhadap Tanah Air yang kemudian mengikatkan diri menjadi sebuah NKRI ialah fitrah yang melesak dalam palung setiap jiwa warga negara Indonesia. Mau memeluk agama apa pun, ketika ia menjadi WNI, maka ia juga harus menetapkan komitmen nasionalisme terikat bersama NKRI. Tanpa terkecuali umat beragama Islam, kita harus tetap menjaga persaudaraan antar umat beragama dan senantiasa mengedepankan kepentingan peradaban bangsa dan negara. Karena bukankah dahulu saat Nabi Muhammad SAW ketika di Madinah, juga saling bahu-membahu antara umat Islam, Yahudi, dan Nasrani dalam membela tanah airnya Madinah al-Munawwarah dari serangan dan gangguan kaum kafir Quraisy Makkah.

Maka itu, umat beragama harus senantiasa menjadi umat yang agamis sekaligus nasionalis. Hal ini karena agama dan nasionalisme adalah kunci eksitensi NKRI. Keduanya harus berjalan beriringan agar kita dapat menetapkan langkah menjadi bangsa maju, beradab, dan tidak ada pecah-belah. Untuk itu, marilah senantiasa mengokohkan jiwa nasionalisme dalam diri kita bersama. Mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan kelompok demi kemaslahatan NKRI. Wallahu a’lam bish-shawaab.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru