26.9 C
Jakarta

Agama dan Kearifan Lokal Masyarakat

Artikel Trending

KhazanahTelaahAgama dan Kearifan Lokal Masyarakat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Dengan wajah tanpa dosa mengucapkan kalimat takbir, seorang laki-laki yang memaki rompi hitam sengaja menendang sesajen yang terdapat pada beberapa titik kejadian Gunung Semeru. Video yang viral itu mendapat kecaman dan ancaman dari para netizen. Tidak sedikit yang menyayangkan peristiwa itu. Meskipun demikian, tidak sedikit netizen justru membela aksi lelaki itu.

Jika dilihat dari keterangan yang terdapat dalam video tersebut, sesajen tersebut dilakukan oleh masyarakat Sumbersari untuk memohon keselamatan dari bencana. Lebih jauh diketahui bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar gunung semeru tidak hanya penganut Agama Islam saja, akan tetapi ada hindu, budha dan Kristen, kejawen dan masyarakat lainnya.

Demam syari’at dan membuang kearifan lokal

Sambil menunjuk sesajen yang berada di tempat tersebut, laki-laki yang menggunakan rompi hitam itu berkata, “Ini yang membuat murka Allah, jarang sekali disadari bahwa inilah yang mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan adzabnya” ucap laki-laki tersebut sambil membuang sesajen yang ada di depannya.

Lakum dinukum waliyadiin” artinya bagimu agamamu bagiku agamaku. Kiranya ayat tersebut merupakan final daripada cara kita menjadi manusia yang heterogen, tinggal di banyak agama yang tidak hanya Islam saja.

Aksi heroik seolah-olah membela Tuhan itu tidak lain bagian dari aksi tidak terpuji yang dilakukan oleh seseorang yang demam syari’at tanpa melihat tinggal di tanah mana ia berpijak. Jika dilihat dari pakaiannya, laki-laki tersebut tidak lain berasal dari kelompok kelompok radikal yang hadir dengan semangat 45, berdalih menjadi pahlawan untuk memurnikan Islam sebab ritual semacam itu adalah bagian merupakan penyebab dari murka Allah yang nyata.

Fenomena semacam ini sebenarnya sudah diungkap oleh Gus Dur dalam tulisannya yang berjudul “Islamku Islam Anda dan Islam Kita”. Menurut Gus Dur, orang-orang yang masih memaksakan keyakinan, kehendaknya kepada orang lain agar berbuat sama dengan dirinya, dan hanya membenarkan dirinya merupakan cara yang tidak rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual dan irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi tidak perlu diikuti orang.

Artinya, pada setiap pemahaman dan keyakinan yang diikuti oleh kita sendiri, khususnya sebagai umat Islam. Merupakan sebuah cara yang tidak etis perilaku oleh laki-laki dalam video tersebut melihat sikap ke aku-akuannya yang sangat tinggi. Bukannya untuk berdakwah, tapi justru ia menciderai agama Islam sebagai agama yang sangat ramah terhadap perbedaan.

BACA JUGA  Mengapa Aktivis Khilafah Menolak Dialog Antar Agama?

Fenomena itu bukanlah hal baru. Kita masih ingat tentang fenomena pengharaman tumpeng karena dijadikan sesajen. Padahal tumpeng jelas-jelas sudah menjadi makanan bagi masyarakat dan menjadi sebuah ikon tersendiri dalam perayaan-perayaan tertentu bagi beberapa kalangan.

Sesajen sendiri, merupakan sebuah bagian dari kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat, utamanya masyarakat Jawa sebelum Islam datang. Kepercayaan seperti senimisme, Hindu, Budha sudah berkembang sebelum Islam datang ke Indonesia. Ketika Islam datang, kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat seperti sesajen yang dimiliki oleh ajaran Hindu, Budha berjalan secara terbuka seiring dengan perkembangan Islam.

Melalui hal itu, terjadilah perbenturan budaya antara islamisasi dan proses identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Sejalan dengan ini,  menurut Koentjaraningrat, nilai budaya merupakan kristalisasi dari lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni: hakikat dari hidup manusia, hakikat dari karya manusia, hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Apapun nilai yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang akan menentukan sosok mereka sebagai manusia berbudaya.

Artinya, sekalipun sesajen dilakukan oleh umat Islam sendiri. Hal itu merupakan bagian dari cara masyarakat, utamanya masyarakat Jawa dalam mengekspresikan kecintaannya terhadap Allah Swt. Sekalipun hal itu ada yang mengatakan bahwa menyimpang dari ajaran Islam, namun melalui cara itu, masyarakat memiliki kekuatan magis seperti menjadi jembatan untuk menunjukkan kecintaannya kepada Allah. Jika sesajen tersebut justru dilakukan masyarakat di luar Islam, tidaklah dibenarkan untuk melakukan aksi tersebut. Menciderai keyakinan dan kepercayaan penganut lain, serta melukai hati pemeluk agama yang lain.

Agama dan kompleksitas ajaran

Dalam implementasinya, proses islamisasi yang berjalan dengan pesat, umat Islam yang semakin banyak, menyebabkan pandangan pada setiap umatnya berbeda. Hal itu juga termasuk pada aksi yang dilakukan olah laki-laki di atas merupakan wujud dari keberagamaan dia sebagai umat Islam. Namun, apakah yang ia lakukan mewakili umat Islam? Tidak! Sebab dia mewakili dirinya atas pemahamannya tentang Islam yang seperti itu.

Di luar itu, Islam adalah agama yang ramah terhadap pemeluk agama lain, tidak menyakiti, menciderai ataupun marah terhadap agama lain. Selain daripada model orang Islam seperti laki-laki di atas, masih banyak penganut agama Islam yang sangat ramah terhada umat lain, sebab mereka percaya bahwa Allah menciptakan perbedaan antar umatnya untuk saling mengasihi bukan sebaliknya. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru