27.3 C
Jakarta

Agama, Corona, dan Rumor Radikal di Kampung (1/2)

Artikel Trending

Milenial IslamAgama, Corona, dan Rumor Radikal di Kampung (1/2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hanya sehari setelah sampai di rumah, di salah satu perkampungan di Madura, saya harus servis motor ke bengkel. Ganti ban. Harus segera karena, akan dipakai ke mesjid buat taraweh. Harus rajin karena, kepulangan saya ke kampung juga demi ber-Ramadhan secara maksimal. Maklum, di perantauan, di Jakarta, taraweh menjadi ibadah langka, lantaran Corona.

Tidak butuh lama untuk basa-basi dengan si tukang bengkel. Obrolannya berkisar alasan saya pulang. Saya jawab, karena Corona. Singkat. Memang tak ada niat diskusi. Lagi pula saya mau ganti ban, bukan mau debat. Tetapi, si tukang bengkel ini memang keras kepala. “Mana ada penyakit bisa menular, saya gak percaya. Kalau mati, percaya ke Corona, jangan bilang tidak syirik,” celotehnya.

“Semua ini dipolitisasi. Umat Islam memang diinginkan tidak ke mesjid, tidak berjemaah, tidak taraweh. Ini adalah perang orang kafir. Mereka gak bisa nyerang hadap-hadapan, makanya pake politisasi virus. Cuma karena saya bukan siapa-siapa, ngikut saja. Coba ada yang mau kompak, orang Islam, mau perang, saya akan ada di garis paling depan,” imbuhnya.

Si istri menimpali, “Aturan dari mana itu pula shalat pakai tutup muka (masker, pen.). Di mana-mana orang shalat itu, kalau wajah ditutup, mau laki-laki atau perempuan, shalatnya gak sah. Tanya aja ke pak ustaz manapun begitu.” Saya yang alumni pesantren, yang diajari bahwa anggota sujud ada tujuh, dan wajah tak termasuk, hanya dahi, jelas mengernyitkan dahi. Heran.

Cerita tersebut hanya satu, dari sekian cerita yang saya jumpai, di kampung. Corona, semangat keagamaan yang meluap-luap, dan rumor-rumor yang beredar menjadi cerita unik nan radikal. Term ‘radikal’ di sini sebenarnya tidak ingin saya pakai. Khawatir sensitif, lalu ada yang tersinggung.

Tetapi, kalau wabah Corona sampai jadi ajang menjelekkan pemerintah, rumor perang dengan orang kafir, bahkan menganggapnya sebagai perang agama, harus disebut apa, sekalipun lucu, kalau bukan radikal? Radikalisasi memang tumbuh subur di mana-mana. Di kampung, ia merajai narasi masyarakat.

Rumor Lucu nan Radikal

Ada lagi rumor yang tak kalah lucu. Saya berkunjung ke rumah kerabat. Setelah basa-basi ditanya kenapa pulang, seseorang dari famili berujar begini: “Berarti niat Ahok sudah kesampaian. Dia kan pengen sekali orang Islam lemah. Sekarang mesjid sudah sepi. Taraweh dilarang, Jum’atan juga. Aduh aduh aduh.” Terdengar aneh, bukan?

Lucu, karena banyak rumor yang saya dengar, yang justru sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Corona. Bagaimana bisa dinalar, misalnya, mengaitkan Corona dengan Ahok? Atau, memang benar masker itu tidak sah dipakai shalat? Atau, memangnya benar pemerintah Indonesia sekarang sedang berkomplot melemahkan Islam, dengan melarang shalat berjemaah, Jum’at, dan lainnya?

Semua rumor yang beredar di kampung, jika diamati, ada orientasi terhadap suatu tujuan politik tertentu. Bahasa kasarnya, tidak murni rumor belaka, melainkan diatur sedemikian rupa, ditembakkan kepada orang tertentu. Saya tidak ingin menyebut siapa pelakunya. Pembaca yang baik akan memahami apa yang saya maksud. Ini, juga, tidak dalam rangka tuduhan.

BACA JUGA  Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Yang tidak dapat diterima adalah jika dikatakan, semua tentang Corona adalah settingan belaka. Itu artinya menyebarkan hoax. Bagaimana mungkin dapat diterima, semua pemangku kebijakan di dunia, termasuk Saudi Arabia, berkomplot memojokkan Islam dengan membatasi akses ibadah kolektif mereka?

Corona adalah musibah. Sebagian lainnya mengatakan, itu hanya konspirasi. Apa pun itu, tidak menyangsikan keberadaan Corona itu sendiri. Yang masih diperdebatkan adalah: kenapa ia ada, dan apa penyebabnya. Kebijakan inti di seluruh dunia ialah melarang perkumpulan. Menariknya, dari semua agama, yang paling banyak kegiatan berkumpul adalah Islam.

Maka tidak heran ketika pelarangan beberapa kegiatan keagamaan sangat terasa. Seakan hanya Islam yang dilarang, meski nyatanya tidak demikian. Alasan satu-satunya ialah kita mesti menyadari, ada kesadaran politik yang dimanfaatkan, dalam kondisi ini. Ada yang bermaksud memojokkan pemangku kebijakan, dengan cara membenturkan agama dengan Corona.

Agama vis-á-vis Corona

Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ulama dari Mesir, mengarang sebuah kitab berjudul Badzl al-Ma‘un fi Fadhl al-Tha‘un. Konon, kitab tersebut ditulis lantaran al-Asqalani kehilangan tiga putrinya; Fatimah, Aliyah, dan Zin Khatun yang meninggal akibat tha’un. Wabah tha’un yang istilah hari ini disebut virus jelas bukan masalah baru. Yang baru adalah rumor masyarakat tentangnya.

Al-Asqalani mengatakan, “Tha’un tidak hanya menimpa umat Islam, tetapi mencakup seantero semesta,” [hlm. 25]. Dan “Kewajiban kita selaku umat Islam adalah jangan mencari mati dengan melakukan sesuatu (yang menyebabkan penularan), juga adalah wajib untuk menjaga kebersihan diri agar mata rantai virus terputus. Jika tetap sakit, sabar saja, muhasabah diri, dan bertawakal kepada Allah. Kita pasrahkan kepada takdir. Setiap penyakit ada obatnya.” [hlm. 27]

Antara agama dan Corona, adalah hubungan antara penyakit dengan kepasrahan kepada Tuhan. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan, agama dimanfaatkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan virus. Ia tidak dipahami sebagai wabah, melainkan taktik orang lain, atau agama lain, untuk membatasi gerak agama tertentu. Ini yang kita hadapi sekarang.

Corona di kampung adalah potret polarisasi politik kalangan radikalis. Adalah tidak ungkin dikatakan, narasi bergulir dengan sendirinya. Orang yang memiliki semangat keagamaan agresif didoktrin negatif, melalui sentimen keagamaan yang sebenarnya tidak memiliki landasan kebenaran apa pun. Dalam konteks ini, Corona berseberangan dengan agama.

Apa yang terjadi di kampung adalah akumulasi doktrin, kepentingan, dan potret keagamaan masyarakat. Sebagai sesuatu yang digerakkan, ia pasti berasal dari suatu mindset. Tindak-tanduk masyarakat perihal Corona kemudian dapat dikatakan sebagai hasil indoktrinasi. Artinya, agama dan Corona adalah tragedi yang dipolitisir oleh para penggerak radikalisme.

Bersambung…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru