26.8 C
Jakarta
Array

Nasaruddin Umar: Jadi Muslim yang Baik Tak Perlu Mirip Arab

Artikel Trending

Nasaruddin Umar: Jadi Muslim yang Baik Tak Perlu Mirip Arab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa menjadi umat Islam yang baik tidak harus kearab-araban, dalam artian tidak perlu menjadi seperti orang Arab atau mengikuti budaya Arab. Mengikuti budaya Indonesia juga bisa menjadi umat muslim yang baik.

Nasaruddin mengatakan hal tersebut dalam acara peluncuran buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius di kantor Lemhannas, Jakarta, Kamis (14/2).

“Tidak mesti mirip Arab. Kita bisa menjadi orang Indonesia, orang Jawa, tetapi juga the best muslim,” tutur Nasaruddin.

Nasaruddin mengatakan hal itu lantaran merasa risau. Menurutnya, belakangan ini terjadi ‘deindonesiasasi’ dalam pemahaman keagamaan di Indonesia. Deindonesiasasi yang dimaksud yakni memahami agama tanpa menyesuaikan budaya yang ada di Indonesia.

Menurut Nasaruddin, hal itu tidak seperti di zaman dulu. Dia mengatakan bahwa para pendahulu menyebarkan agama setelah melalui proses penyesuaian dengan budaya Indonesia terlebih dahulu. Dengan kata lain, tidak menyebarkan atau mengajarkan agama secara mutlak seperti asalnya. Baik itu Islam, Katolik, Kristen dan seterusnya.

“Sehingga membuat semua agama bersahabat satu sama lain,” ujar Nasaruddin.

Berbeda halnya di masa kini. Nasaruddin menilai saat ini terjadi krisis penyebaran pemahaman agama atau yang dia sebut deindonesiasasi pemahaman keagamaan.

Padahal, kata Nasaruddin, Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa Dirinya diutus untuk menyempurnakan. Bukan memulai dari nol.

“Sekarang itu kan krisis. Bahkan dengan istilah saya itu, deindonesianisasi pemahaman keagamaan,” kata Nasaruddin.

“Kita harus belajar kembali. Nabi Muhammad SAW itu mengatakan bahwa ‘Kami diutus hanya untuk menyempurnakan’. Bukan untuk membuldozer yang sudah ada. Bukan dari nol,” ujar dia.

Nasaruddin kemudian mengatakan dirinya tidak cemas dengan berkembangnya paham terorisme di Indonesia di kemudian hari. Dia mengaku lebih risau dengan perkembangan paham radikalisme.
Menurutnya, terorisme lebih merupakan spontanitas. Seseorang melakukan tindakan teror lantaran ada perasaan ketidaksenangan yang terakumulasi lalu memuncak. Kemudian mendidih hingga meletup dan melakukan tindakan teror.

Berbeda halnya dengan radikalisme. Menurut Nasaruddin, radikalisme lebih berbahaya karena benar-benar ingin meninggalkan budaya khas Indonesia dalam memahami agama. Akibatnya, tidak ada rasa kebersamaan dengan agama-agama lain.

“Kelompok radikalisme itu ingin mulai dari nol,” kata Nasaruddin.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru