27.8 C
Jakarta

Adaptasi Budaya Jaga Kebersamaan dalam Keberagaman

Artikel Trending

KhazanahOpiniAdaptasi Budaya Jaga Kebersamaan dalam Keberagaman
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai negara yang besar, baik dari aspek jumlah penduduk maupun luas wilayah, Indonesia memiliki banyak kebudayaan. Ragam budaya itu berasal dari aneka latar belakang, mulai suku, agama, ras, dan golongan. Belum lagi jika dikalkulasikan dengan fakta bahwa banyak orang Indonesia yang merantau ke luar negeri. Ada yang sekolah, ada pula yang bekerja. Kerap kali, mereka yang pulang dari negeri seberang, disengaja atau tidak, membawa pula budaya asing tersebut ke lingkungan lokal.

Prinsipnya, Indonesia tidak bisa mengelak dari konsekuensi budaya yang variatif. Yang menjadi masalah adalah jika warna-warni kebudayaan itu menjadi momok dan dijadikan alasan perselisihan. Kalau sudah begitu, silang pendapat tak akan kunjung selesai. Debat kusir tentang identitas yang pasti dipertahankan masing-masing orang tak mungkin menemui jalan keluar.

Selayaknya, masing-masing orang yang memiliki budaya berbeda dengan pihak lain, melakukan adaptasi. Sehingga, tiap budaya yang berbeda dalam satu lingkungan, bisa hidup berdampingan. Harmoni tercipta dan keselarasan terwujud.

Salah satu teori adaptasi budaya yang bisa dijadikan landasan praktis adalah Co-Cultural. Salah satu ilmuwan yang memopulerkan teori ini adalah Mark Orbe, melalui karyanya yang berjudul Constructing co-cultural theory: An explication of culture, power, and communication (1997). Sejatinya, Orbe cenderung mengetengahkan problem budaya minor, marjinal, atau pendatang. Meski demikian, bila ditelaah lebih lanjut, konsep Co-Cultural Orbe dapat dikontekstualisasikan pada berbagai posisi kebudayaan.

Orbe menilai, orang dengan satu entitas budaya akan mendekati budaya lain yang hasil akhirnya adalah satu di antara tiga. Pertama, terasimilasi atau menjadi menjadi bagian dari kultur lain. Kedua, ia terakomodasi atau diterima kelompok lain dengan baik, serta tetap bisa mempertahankan budayanya. Ketiga, terseparasi atau terpisah secara mutlak dengan kelompok lain. Ia mungkin bisa hidup bersama kelompok lain dalam hal-hal yang tidak menyangkut kebudayaan.

Ada sebuah gerakan dakwah Islam dari India yang agaknya sukses melakukan adaptasi budaya dan dapat dianalisis melalui teori Co-Cultural tersebut. Gerakan ini masuk Indonesia sejak sekitar 30 tahun yang lalu (As’ad Said Ali, Jamaah Tabligh, 2011) dan memiliki markas di Jawa Timur.

Saat lahir, gerakan ini sejatinya berbasis fikih pada Mahzab Hanafi. Namun, saat masuk ke Nusantara yang mayoritas mengikuti Mahzab Syafii, mereka tidak segan menggunakan model Syafii demi beradaptasi. Secara kelompok, mereka tidak mau terseret pada politik praktis dan perdebatan khilafiyah. Pasalnya, dua hal itu sering menjadi sumbu silang pendapat.

Mereka mempertahankan identitasnya. Sebagian dari mereka terlihat memakai pakaian khas india, gamis sepanjang lutut dan mengenakan celana panjang, ditambah kopiah bundar berbahan kain atau wol. Program mereka untuk keluar dan berdakwah dari rumah ke rumah pun sudah dipahami sebagai karakteristik. Di sisi lain, mereka terakomodasi dan diterima di Indonesia relatif tanpa resistensi.

Beberapa kalangan menilai mereka memiliki hubungan dengan Islam garis keras. Tapi, itu sekadar labelling prematur yang dikeluarkan dari otak yang minim referensi dan gemar menyederhanakan definisi.

Proses adaptasi budaya, hanya bisa sukses apabila interaksi antarbudaya dilakukan dengan proporsional. Interaksi itu mesti ditopang dengan komunikasi yang baik. Muaranya, budaya-budaya yang berbeda bisa hidup di masyarakat secara harmonis. Bisa menjalin kebersamaan dalam keberagaman.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Sejumlah pakar, semisal William G. Scoot, menyebutkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi proses komunikasi antarbudaya (Tommy Suprapto, Pengantar Teori Komunikasi, 2006). Yakni, the act (perbuatan atau tingkah), the scene (setting, lingkungan, adegan), the agent (pelaku atau aktor), the agency (media atau perantara), dan the purpose (tujuan).

Apabila implementasi praktis dari lima faktor itu ideal, proses komunikasi yang menjadi pondasi adaptasi budaya bakal berjalan dengan mapan. Pembedahan lima faktor itu bisa dimulai dari the purpose, atau tujuan berkomunikasi. Tentu ada banyak bentuk tujuan dari laku komunikasi. Tiap tujuan, memiliki metode komunikasi yang berbeda.

Sebagai contoh, apabila tujuannya untuk keperluan bisnis, treatment yang dilakukan pasti berbeda dengan yang bertujuan murni untuk merekatkan hubungan sosial, atau untuk menjaga ukhuwah Islamiah. Komunikasi yang bertujuan bisnis relatif lebih lugas dan tidak bertele-tele. Sedangkan untuk hal-hal lain, umumnya dilaksanakan dengan sejumlah pendekatan psikologis, sosiologis, dan reflektif.

Dalam proses komunikasi, the act mesti dilakukan secara apik dan tidak berlebihan. Bahasa tubuh, gerakan badan, ekspresi, yang semua itu masuk kategori bahasa non-verbal harus diaplikasikan secara pas. Dalam konteks ini, ideal berarti tidak kurang dan tidak lebih. Tidak perlu terlalu menonjolkan budaya sendiri, maupun berupaya seakan-akan mengikuti budaya lawan berkomunikasi. Biasa saja, di tengah-tengah.

The scene berkenaan dengan lingkungan atau setting berkomunikasi. Setting ini mesti punya hubungan dengan tujuan berkomunikasi. Analoginya, apabila seseorang ingin melamar lawan jenisnya untuk menikah, tidak mungkin hal itu dilakukan di sebuah warung kopi yang ramai pengunjung. Itu terlalu berisiko budaya, khususnya apabila yang dilamar memiliki kultur yang berbeda.

Bisa jadi, lamaran gagal karena yang dilamar mengganggap kalau prosesi itu menjadi tidak sakral. Sepantasnya, lobang atau peluang resistensi budaya mesti ditutup serapat mungkin. Dalam konteks ini, eksperimen budaya sebaiknya tidak dilakukan secara sporadis.

Sementara itu, topik tentang the agent cenderung membahas bagaimana komunikator menyampaikan pesan baik verbal maupun non-verbal. Jadi, bahasa tubuh, gerakan badan, ekspresi, hingga model komunikasi lisan mesti diperhatikan agar tidak menyinggung lawan bicara dari budaya yang berbeda.

Ada pun the agency adalah tentang media berkomunikasi. Semua orang mesti memahami bahwa selalu ada kemungkinan perbedaan cara penyampaian pesan dilihat dari aspek media. Sedangkan media komunikasi yang bukan tatap muka, pasti memiliki celah bias (Harold Innis, The Bias of Communication, 1957). Bias komunikasi ini harus dimengerti oleh komunikator dan komunikan. Sehingga, tidak terjadi kesalahpahaman.

Dalam komunikasi tatap muka, komunikan yang tidak tahu maksud komunikator bisa langsung melakukan klarifikasi secara komprehensif. Berbeda apabila komunikasi dilakukan melalui aplikasi obrolan, telepon, media sosial, atau lain sebangsanya. Kalaupun klarifikasi terhadap pesan dilakukan, ia tidak bakal bisa holistik. Distorsi makna bisa saja terjadi. Mereka yang berasal dari budaya yang berbeda, pada proses komunikasi semacam ini, mesti beradaptasi dengan bias yang potensial muncul tanpa diduga sebelumnya.

Adaptasi budaya yang bertolak dari proses komunikasi penting dilakukan oleh masyarakat majemuk seperti Indonesia. Tidak hanya punya urgensi bagi mereka yang punya agama sama tapi berbeda budaya. Namun juga, antaragama dan antarbudaya berbeda.

Rio F. Rachman
Rio F. Rachman
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Awardee Beasiswa 5000 Doktor Kemenag di FISIP Universitas Airlangga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru