29 C
Jakarta
Array

Adakah Sistem Khilafah Menurut Imam Syafi’i..? (bagian I)

Artikel Trending

Adakah Sistem Khilafah Menurut Imam Syafi’i..? (bagian I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Yang dimaksud khilafah (الخلافة) dalam tulisan ini adalah “kepemimpinan global yang bersifat politik untuk seluruh kaum muslimin guna menjaga dien dan mengurus urusan dunia”. Terkadang ia disebut imamah (الإمامة) atau lebih spesifik lagi disebut imamah uzhma (الإمامة العظمى) untuk membedakan dengan imamah sughro, yakni aktifitas mengimami dalam salat. Terkadang ia juga disebut imamah kubro (الإمامة الكبرى).

Penggunaan istilah khilafah terkait dengan makna bahasanya. Khilafah berasal dari kata “kholafa” (خلف) yang bermakna “menggantikan”. Dalam konteks politik, makna “menggantikan” yang dimaksud adalah “menggantikan kepemimpinan”. Kekhilafahan Abu Bakar disebut demikian karena Abu Bakar menggantikan Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin politik (bukan menggantikan aspek kenabiannya).

Demikian pula para Kholifah sesudahnya. Begitu datang zaman dinasti, mulai Bani Umayyah, Abbasiyyah sampai Utsmaniyyah, lafaz khilafah ini tetap dipakai secara majasi meskipun bentuk pemerintahan telah berubah menjadi sistem kerajaan/monarki yang mana pergantian kekuasaan dilakukan dengan cara pewarisan tahta, bukan musyawarah kaum muslimin atau yang mewakilinya.

Adapun pandangan Asy-Syafi’i terhadap khilafah, maka kita bisa memulainya dengan memberikan selayang pandang terhadap kitab “masterpiece” beliau, yakni kitab “Al-Umm”.

Di antara hal yang sangat menarik dan mengejutkan terkait dengan kitab “Al-Umm” adalah tidak adanya pembahasan secara khusus terkait tema khilafah/imamah atau yang semakna dengannya.

Asy-Syafi’i tidak membuat bab khusus tentang khilafah dan bahkan beliau juga tidak menulis tentang topik itu dalam satu “fashl” kecil sekalipun. Asy-Syafi’i membuat bab khusus yang menerangkan bagaimana sikap terhadap pemberontak kekuasaan sah dalam bab yang berjudul “qital ahli al-baghyi”, akan tetapi pembahasan induk yang menjadi “kepalanya” yakni khilafah justru malah sama sekali tidak dilakukan. Tidak ada pembahasan tentang hukum menegakkan khilafah, hukum melengserkannya, cara perpindahan kekuasaan, syarat-syarat kholifah, dan pembahasan yang semisal dengannya.

Jika pembahasan tentang hukum mewujudkan khilafah saja tidak dilakukan Asy-Syafi’i dalam bab khusus dalam “Al-Umm”, maka pembahasan yang lebih jauh dari itu, yakni pembahasan tentang sistem pemerintahan yang menerangkan organ-organ pemerintahan serta hubungan satu organ dengan organ yang lainnya tentu lebih tidak mungkin ada. Faktanya memang demikian. “Al-Umm” tidak mengandung pembahasan hukum khilafah dalam satu bab spesifik, apalagi pembahasan sistem pemerintahan yang dinamakan khilafah/imamah itu.

Hal ini sebenarnya sungguh mengherankan, karena kita tahu Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Jadi, masa hidup Asy-Syafi’i adalah masa yang masih “panas-panasnya” terjadi perebutan kekuasaan dan pergantian pemerintahan dari masa dinasti Bani Umayyah yang berpindah ke masa Bani Abbasiyyah.

Sebelum masa Umayyah juga sangat terkenal konflik antara Ali dengan Muawiyah ditambah konflik Ali dengan Aisyah. Di masa sebelumnya juga terjadi upaya pelengseran Utsman dari tampuk kekuasaan karena ketidakpuasan atas kebijakan Utsman dan berakhir dengan syahidnya Utsman karena dibunuh pemberontak.

Asy-Syafi’i juga pasti tahu bagaimana wafatnya Umar karena dibunuh sehingga pergantian kekuasaan waktu itu dilakukan dengan pembetukan satu komite khusus yang terdiri dari sejumlah calon pengganti Umar. Asy-Syafi’i juga pasti tahu bagaimana para shahabat nyaris berpecah antara Muhajirin dengan Anshor sebelum terpilihnya Abu Bakr sebagai Kholifah, dan semua peristiwa-peristiwa politik yang semakna.

Seharusnya peristiwa politik yang mencekam dan melahirkan banyak problem ini -jika dianggap persoalan hukum syara’- sudah semestinya dibahas oleh Asy-Syafi’i dan dicarikan jawabannya menurut dalil. Sudah pasti ada banyak pertanyaan yang harus diselesaikan terkait khilafah, misalnya,

  • “Bagaimana sebenarnya cara pengangkatan seorang kholifah agar peristiwa saqifah bani Sa’idah yang mengancam persatuan kaum muslimin itu tidak sampai berulang?”,
  • “Bagaimana sebenarnya hukum “istikhlaf” untuk mengangkat kholifah sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar saat menunjukk Umar sebagai penggantinya?”
  • “Apakah “istikhlaf” itu sah semata-mata “istikhlaf” ataukah harus disertai dengan baiat baru sah sebagai kholifah?”
  • “Bagaimana cara pengangkatan kholifah jika tidak ada “istikhlaf” karena kholifah wafat tiba-tiba seperti yang terjadi di masa Umar?”
  • “Pembentukan komite calon kholifah itu status hukumnya bagaimana?”
  • “Kalau dibuat semacam pemilihan umum seperti pemilhan Utsman bagaimana status hukumnya?”
  • “Seperti apa status hukumnya jika kholifah langsung diangkat sebagian kaum muslimin tanpa melalui proses pemilu seperti yang terjadi pada pemilihan Ali?”
  • “Bagaimana jika ada pemberontak yang memerangi kholifah yang sah kemudian pemberontak ini menang? Apakah dia menjadi penguasa sah yang baru sebagaimana kemenangan Muawiyah atau seperti kemenangan Abbasiyyah saat menggulingkan Umayyah?”
  • “Bagaimana sebenarnya hukum menegakkan kekhilafahan dengan sistem monarki?”
  • “Bolehkah dalam Darul Islam membentuk kelompok-kelompok yang bertujuan politis untuk meraih kekuasaan seperti kelompok syiah, khowarij, kelompok Umayyah, kelompok Abbasiyyah dan semisal dengan mereka?”

Asy-Syafi’i juga pasti tahu hukum wajibnya menegakkan hudud, wajibnya menegakkan hukum jinayat, wajibnya mengadili manusia dengan adil, wajibnya jihad dan semua hukum fikih yang membutuhkan kehadiran negara. Menjadi pertanyaan politik-fikih penting, yakni “Apakah hukum-hukum ini tidak mengharuskan dibentuk organ-organ pemerintahan seperti peradilan, militer, polisi, wali dan seterusnya yang sifatnya wajib diwujudkan?”

Dan banyak lagi problem-problem politik yang mungkin berjumlah puluhan atau bahkan mungkin ratusan yang layak untuk dibahas dan diijtihadi. Anehnya, dengan segenap latar belakang sejarah politik umat Islam “semencekam” ini, ternyata tidak ada satu hurufpun Asy-Syafi’i menulis, membahas, mengupas dan berijtihad seputar khilafah/imamah maupun pembahasan yang sifatnya menyinggung sistem pemerintahan.

Ini benar-benar menarik, karena Asy-Syafi’i dikenal kejeliannya yang luar biasa dalam membahas hukum. Membahas masalah air untuk bersuci saja Asy-Syafi’i sampai membahas berbagai fakta air seperti air hujan, air salju, air es, air sumur, air sumber, air laut, air musyammas, air yang bercampur dengan benda suci, air yang bercampur najis dan seterusnya.

Padahal pembahasan tentang air ini hanya diturunkan terutama dari satu ayat dalam surah Al-Furqon; 48 yang kemudian diperkuat dengan sejumlah hadis. Dalam kitab “Ar-Risalah” Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia itu pasti ada hukumnya dan dalil dari Al-Qur’an serta As-Sunnah sudah cukup untuk menjawab semua masalah hukum itu. Oleh karena itu menjadi menarik, ajaib, dan “aneh” jika Asy-Syafi’i tidak membahas hukum khilafah dan segala sesuatu yang terkait dengannya sama sekali.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru