27.9 C
Jakarta

Absennya Frasa “Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan dan Sikap Reaktif Kaum Obesitas Agama

Artikel Trending

KhazanahTelaahAbsennya Frasa “Agama” dalam Peta Jalan Pendidikan dan Sikap Reaktif Kaum Obesitas...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Frasa “agama” menjadi perdebatan panjang dengan berbagai respons para cendekiawan. Perwakilan ormas yang santer menjadi pembicaraan tatkala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nasional, asuhan Nadiem Makarim, menteri termuda dalam jajaran kabinet Indonesia Maju, menyusun peta jalan pendidikan nasional 2020-2035.

Absennya frasa “agama” ini memang perlu kita kritisi, apalagi dalam UUD 1945 mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Berkenaan dengan sistem pendidikan nasional yang harus terlaksana adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia.

Term ini menjadi final bagi bangsa Indonesia, dan begitu responsif tatkala menanggapi fenomena ini. Apalagi seperti kita ketahui sebelumnya bahwa persoalan apa pun yang bersinggungan dengan agama sangat sensitif dan memicu ketegangan publik.

Di samping karena Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai ragam agama, menurut hemat penulis agama menjadi satu-kesatuan yang tidak bisa terpisahkan oleh kehidupan masyarakat. Ia menjadi pedoman hidup, sehingga apa pun masalah yang terkait dengan agama akan memicu respons publik.

Namun, pertanyaan yang mendasar adalah sangat pentingkah mencantumkan frasa “agama” sehingga turut menimbulkan respon yang begitu masif?

Pertama, mencantumkan frasa “agama” tidaklah amat sangat penting. Sebab ini hanya persoalan peletakan frasa saja. Tidak lebih. Sejatinya terdapat pada pelaksanaan sistemnya yang secara jelas berupaya untuk meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ibarat orang penganut esensialis, seseorang tidak perlu mengucapkan kata “cinta”. Jika seseorang menampilan sikap kecintaan dengan bentuk kemanunggalan sejati, istilah yang Erich Fromm pakai. Maka kalimat “cinta” itu tidaklah terlalu penting.

Sebaliknya, logika ini juga bisa kita tarik kepada pentingnya pencantuman frasa “agama” dalam peta jalan pendidikan nasional.  Ibarat perumpamaan yang sudah kita sebutkan sebelumnya. Kata “cinta” justru harus tercantum sebagai penegasan terhadap rasa dan upaya yang ditunjukkan. Keduanya sama-sama benar, menurut perspektifnya masing-masing.

Tidak heran ketika Marx menyebut agama sebagai candu.  Candu yang ia maksud berdampak terhadap permasalahan sosial yang terjadi. Padahal sejatinya, agama tidak sebagai dasar dari permasalahan, justru sebaliknya. Makanya, Gus Dur dalam gagasan keislamannya mendorong “Agama menjadi etika sosial” bukan hanya sebatas menjadi legitimasi produk jilbab, legitimasi ktp, legitimasi perilaku bersyariah, dan legitimisasi simbol lainnya.

BACA JUGA  Melihat Fenomena Takut Menikah, Benarkah Akibat dari Sistem Liberal?

Kritis Demi Agama Penting, Tapi Tidak Perlu Reaktif

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sikap reaktif merujuk pada reaksi negatif terhadap lingkungan, baik respons atas sebuah fenomena ataupun yang lain. ketika berkaitan langsung dengan sikap atas absennya frasa “agama” menjadi persoalan pelik jika sikap ini mengemuka.

Meniadakan kritis rasanya sangat aneh dalam negara demokrasi yang menghendaki kebebasan berekspresi di mana kedaulatan tertinggi adalah rakyat. Tentu pemaknaan pemerintah sebagai pelayanan rakyat rasanya perlu kita refresh ulang jika masih mempersoalkan kritik yang diberikan oleh masyarakat.

Jangan sampai kejadian seorang guru yang baru-baru dimarahi oleh perangkat desa lantaran mengupload jalan di Desa Cijalingan, Kecamatan Cicantayan yang rusak (Tempo) juga terjadi pada sebagian kelompok ketika menyikapi pemerintah yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Sikap kritis sangat penting untuk kita upayakan dalam rangka menghidupkan sistem demokrasi di Indonesia. Kita perlu mengapreasi bapak Nadiem Makarim yang selalu responsif terhadap berbagai masukan tentang perbaikan sistem pendidikan nasional dari berbagai kalangan, utamanya para ormas-ormas seperti Muhammadiyah, NU dll yang turut hadir semenjak Indonesia belum merdeka.

Kehadiran kritik dari kalangan mereka tentu sangat bermanfaat sekali mengingat bahwa mereka tahu betul dengan berbagai hiruk pikuk perjalanan Indonesia. persoalan ini sebenarnya memicu perhatian publik, apalagi ketika respons bapak Nadiem Makarim dengan secara jelas mengklarifikasi atas absennya frasa “agama” yang dimaksud.

Akan tetapi, sikap-sikap reaktif yang timbul atas masalah ini justru berkepanjangan. Menyamakan Indonesia dengan negara China yang membuang agama dengan mementingkan kebudayaan seperti cuitan Tengku Zul, misalnya. Sikap semacam ini tidak perlu kita lontarkan. Kritikan saja cukup, apalagi setelah mendapat klarifikasi dari bapak Nadiem Makarim.

Isu-isu semacam ini sangat sensitif. Orang-orang golongan obesitas agama selalu menggoreng dengan negara komunis, anti agama, dan label kafir lainnya. Artinya, mereka mencari ruang untuk terus bergerilya, menggencarkan simbol agama, akhirnya jatuh pada kampanye NKRI Bersyariah, dll. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru