34 C
Jakarta

Abnormalitas Normalisasi UEA-Israel (Bagian II)

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahAbnormalitas Normalisasi UEA-Israel (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak Donald Trump mengumumkan normalisasi UEA-Israel pada Kamis (18/8) kemarin, ia hendak mengubah situasi politik di AS yang dalam beberapa bulan terakhir banyak menyudutkan dirinya. Penanganan masalah rasisme dan virus corona di bawah pemerintahan Trump dinilai gagal. Belum lagi kebijakan politik luar negerinya yang sangat minim prestasi. Terutama pada detik-detik konfrontatif yang sempat memanas dengan Iran pada beberapa bulan lalu. Sementara kebijakan perang di AS sama sekali bukan kebijakan yang populis.

Trump membutuhkan suatu kebijakan atau prestasi yang memungkinkannya bisa bertahan dalam gelanggang politik pada pemilu mendatang sebagai petahana. Normalisasi UEA-Israel menjadi sebuah capaian penting bagi AS. Selain itu, Partai Demokrat dan Joe Biden jelas tak bisa mengkritisinya. UEA dan Israel telah menghadiahi Trump sesuatu yang berharga pada waktu yang sangat tepat. Seluruh rentetan peristiwa di balik terwujudnya normalisasi ini adalah pertaruhan politik yang didramatisir sedemikian rupa.

Tak hanya Trump yang diuntungkan secara politik, PM Israel, Benjamin Netanyahu juga diuntungkan. Krisis politik yang mengharuskan digelarnya pemilu hingga tiga kali putaran dalam kurun waktu kurang dari setahun dan dugaan skandal korupsi telah menggerus secara signifikan pengaruh Netanyahu di Israel. Bahkan Netanyahu menjadi satu-satunya pemimpin aktif Israel yang terjerat dugaan kasus korupsi.

Boleh jadi normalisasi UEA-Israelv dengan jalur diplomatik ini memang menjadi hadiah berharga secara politik, tapi bukan berarti bisa berdampak secara sangat signifikan, apalagi untuk jangka panjang. Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh Jimmy Carter. Carter sebagai petahana tidak mampu memenangkan pemilu 1980 meskipun pada masa jabatannya ia pernah berhasil mewujudkan perdamaian bersejarah antara Mesir dan Israel dalam kesepakatan Camp David 1978. Pada akhirnya, kebijakan politik luar negeri AS tidak selalu memberi dampak signifikan secara politik, apalagi politik jangka pendek dan politik elektoral. Publik AS justru banyak tertarik menyoroti isu-isu domestik yang menyangkut hajat hidup mereka ketimbang menyoroti isu geopolitik kawasan.

Normalisasi UEA-Israel dan Langkah Palestina yang Kian Tertatih

Palestina sangat keras merespon normalisasi hubungan diplomatik UEA-Israel. Sejumlah petinggi otoritas Palestina, termasuk presiden Mahmoud Abbas juga mengecam sikap UEA yang secara terang-terangan melakukan pengkhianatan atas perjuangan dan cita-cita pembebasan Palestina. Perjuangan Palestina terus berhadapan dengan upaya pembunuhan secara perlahan. Kerasnya pembantaian yang dilakukan Israel di Palestina berjalan seirama dengan langkah-langkah “besar” negara-negara Arab yang perlahan mulai meninggalkannya.

Semua retorika dan cita-cita utopis persatuan bangsa Arab akan benar-benar terkubur untuk selamanya. Intinya, bila Palestina ingin mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya, mereka harus berjuang sendiri, menghadapi musuh sendiri dan mebuang jauh-jauh semua harapan ulur tangan bangsa Arab lain agar tak ada lagi rasa sakit hati akibat pengkhianatan. Bahkan pada awal-awal normalisasi hubungan diplomatik ini diumukan, jagat Twitter banyak diramaikan dengan tagar berbahasa Arab #Falasthin_Laisat_Qadhiyyati (#Palestina_Bukan_Urusanku).

Sikap apatis terhadap persoalan Palestina kini bukan hanya terjadi dalam lingkaran para elit, tetapi juga terus disebarkan melalui berbagai propaganda di media sosial. Cara ini sangat efektif karena selain memberi pengakuan pada entitas yang bernama Israel sebagai sebuah realitas, ia juga memberi kesan yang cenderung menyudutkan Palestina sebagai entitas yang tak bisa mengatasi berbagai perpecahan dalam dirinya sendiri. Semua upaya pembenaran terus dikumandangkan dan pada akhirnya, secara perlahan, negara-negara Arab seperti terjebak dalam hukum rimba, membiarkan yang kuat menang. Sehingga bukan lagi persoalan benar dan salah, tapi persoalan siapa yang bisa memberikan keuntungan pragmatis.

Keuntungan pragmatis itulah yang disadari betul oleh UEA. Tak ada gunanya ia mendukung habis-habisan perjuangan Palestina—terutama karena dalam beberapa tahun terakhir, UEA cenderung sangat ugal-ugalan dalam menyikapi isu tentang Palestina. Sebaliknya, hubungan di balik layar dengan Israel sudah sangat lama terjalin dalam berbagai kerja sama strategis, baik dalam sektor ekonomi, militer dan lainnya. Hubungan gelap kedua negara itu kini berakhir dan mulai memasuki babak baru dalam lembaran sejarah percaturan politik di Timur Tengah.

Bagi perjuangan Palestina sendiri, sebenarnya posisi UEA tidaklah benar-benar penting. Ia menjadi penting karena dengan saling berangkulan bersama Israel, maka UEA telah memberi daya tawar lebih tinggi bagi Israel di kawasan. Pengaruh Israel akan semakin meluas dan akan semakin berkonfrontasi dengan pengaruh Iran.

Negara-negara Arab lain yang selama ini juga memiliki hubungan gelap dengan Israel, barangkali hanya menunggu momentum saja untuk ikut berangkulan bersama Israel. Mereka hanya butuh jeda untuk melihat riak-riak kecil yang muncul dari berbagai respon publik perihal normalisasi ini. Anggap saja langkah UEA sebagai salam pembuka yang sekaligus mengawali berbagai peristiwa selanjutnya.

Yang jelas, cita-cita dan semangat perjuangan rakyat Palestina tak akan bisa padam begitu saja. Semakin mereka tersudutkan, mereka akan semakin mendapatkan momentum untuk memperkuat barisan konsolidasi secara internal.

Saya pernah mendengar sebuah pernyataan satire penuh sarkastik yang menggambarkan situasi dunia Arab saat ini “falasthin laisat nakbah al-‘arab, bal al-‘arab hiya nakbah falastin (Palestina bukanlah bencana bangsa Arab, tapi bangsa Arab adalah bencana bagi Palestina)”.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan Mohammed bin Zayed, putra mahkota UEA akan mendaratkan kakinya ke Israel? Mari kita tunggu.

Wallahua’lam.

 

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru