31.1 C
Jakarta
Array

5700 KM Menuju Surga (Bagian VI)

Artikel Trending

5700 KM Menuju Surga (Bagian VI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

KALAU BISA TUNDALAH UNTUK BEBERAPA WAKTU

***

“ Sebentar lagi abi akan berangkat,” ungkap Senad kepada isteri dan anak-anaknya. “Allah telah memerintahkanku berkali kali melalui mimpi agar aku menunaikan ibadah haji di tahun ini. Aku pun sudah dua tahun meminta petunjuk-Nya.” Ucap Senad menjelaskan. Sementara Aqueena dan anak-anaknya hanya terdiam seribu bahasa. Apa yang ditakutkannya selama ini kini menjadi kenyataan. Seketika pikirannya diselimuti kesedihan dan perasaan cemas tiada terkira.

Suasana begitu hening saat itu, hanya suara mereka yang terkadag terdengar memecah kesunyian, pendar-pendar cantik lampu di ruangan tamu rumah Senad malam itu tak mempunyai makna sama sekali keindahannya bagi Aqueesna dan kedua anaknya. Hati mereka membeku, sebeku suasana musim dingin di Banovici malam itu.

Bagi Aqueena dan anak-anaknya, mereka sama sekali tidak bisa memercayai niatan ayah mereka untuk berjalan kaki dari benua Eropa menuju benua Asia untuk menunaikan ibadah haji hanya berdasarkan perintah Allah melalui mimpi. Sesuatu yang sangat gila dan membahayakan. Pikir mereka.

“Umi?” panggil Senad kepada isterinya. Wajah cantik khas perempuan Eropa timur itu mendongak perlahan. Mulutnya terkatup sambil mata birunya menatap ke arah suaminya, kosong. Jemarinya yang lentik ia jentik-jentikkan untuk mengusir kegalauan yang kini berhasil menguasai batinnya. Sesekali ia mengepalkan tangan berusaha megusir rasa dingin yang menyegrap. Rambut pirangnya yang terjatuh dibalik kerudungnya malam itu sesekali ia rapihkan dengan tangannya.

“Abi minta umi dan anak-anak ikhlas dan berusaha untuk menerima perintah yang Allah diberikan kepada abi. Abi ingin umi mencontoh Siti Hajar, yang mengikhlaskan puteranya untuk dikurbankan oleh suaminya karena perintah Allah. Begitu pun kepada anak-anakku, Abi ingin kalian mempunyai ketaatan seperti Ismail. Menerima apa pun yang Allah perintahkan kepadanya.” Jelas Senad berusaha meneguhkan perasaan isteri dan anak-anaknya.

Perkataan Senad makin membuat Aqueena sedih, terbayang olehnya akan jauh dan lama takkan pernah bertemu suaminya. Ia tidak tahu berapa puluh bulan yang akan diperlukan Senad untuk menunaikan ibadah haji? Dan yang paling dia takuti adalah apabila terjadi sesuatu yang buruk pada Senad. Bagaimana makannya? Minumnya? Tidurnya? Tiba-tiba sebaris pertanyaan itu membuat hatinya makin bersedih. Membayangkannya membuat Aqueena makin tidak kuat kalau ini benar-benar terjadi.

Seberapa pun ikhlas Aqueena melepas suami berjalanan kaki menuju Mekah tapi jiwanya sebagai seorang perempuan takkan bisa ia bohongi. Ia merasa berat dan sedih dengan keputusan yang diambil oleh suaminya, walau pun ia yakin ia tidak akan bisa melarang suaminya atau minimal menunda niatannya, tapi minimal, ia akan berusaha untuk itu.

“Abi, bisakah abi menunda niatan abi untuk menunaikan ibadah haji? Bukankah kita tidak punya tabungan yang cukup, untuk bekal abi sekali pun tidak ada?” pinta Aqueena dengan suara berat. Aqueena membayangkan suaminya akan bisa mamaklumi permintaanya kalau alasannya adalah perbekalan. Tapi Senad mempunyai pikiran lain yang tidak bisa dipahami oleh Aqueena,

“Abi tidak memerlukan perbekalan, Umi. Allah sudah menyiapkan semuanya untuk abi selama abi dalam perjalanan nanti.”

Aqueena terhenyak, suaminya benar benar sudah nekat pikiranya. ”Allah memang sudah menyiapkan semua untuk kita abi. Tapi Allah juga mempunyai cara untuk memberikan rezeki itu. Abi tolong pikirkan lagi?”

Hati Aqueena mulai sesak dipenuhi dengan bayang-bayang kesedihan yang menyelimuti. Pada suatu sisi sebenarnya ia bangga dengan kesalehan suaminya. Ketaatannya kepada Sang Khalik. Tapi di sisi yang lain, Aqueena merasa keberatan dengan niatan suaminya untuk menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki.

“Abi, pikirkan lagi yah? Abi bisa melakukannya tahun depan. Semoga keuangan kita sudah membaik dan abi punya bekal untuk ke Mekah?” Senad hanya terdiam mendengar masukan isterinya. Dia berusaha untuk memahmi perasaan isterinya tapi ini adalah perintah Allah. Betapa pun berat bagi isteri dan anak-anaknya ia tetap harus menunaikannya sekarang. Di tahun ini.

“Tidak bisa ditunda umi. Tahun ini abi harus berangkat.” Jawab Senad singkat. Ia mengelus-elus pundak isterinya, berusaha menenangkan isterinya. Ia tahu isterinya galau. Aqueena makin tak kuasa menahan perasaan sedihnya. Air mata kini makin deras menuruni pipinya. Tangisnya pun pecah tanpa sanggup ia bendung sama sekali.

Senad membelai-belai kepala isterinya, ia berusaha sekuat tenaga memberikan ketenangan di hati isterinya sambil membisikan kalimat agar isterinya bersabar. Namun apa yang dilakukannya tidak banyak membawa manfaat apa-apa, Aqueena terus menangis seakan-akan ia ditinggal selamanya. Sambil mulutnya tiada henti mengatakan,” Ya Allah semoga aku sanggup menerima ujian-Mu ini.” Begitu doanya sambil sesekali mengelap air mata yang kini telah membasahi pipinya. ***

Ikuti penulis di:

Wattpad:birulaut_78

Instagram: mujahidin_nur

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru