30.1 C
Jakarta
Array

5700 KM Menuju Surga (Bagian V)

Artikel Trending

5700 KM Menuju Surga (Bagian V)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

INI PERINTAH ALLAH, BUKAN SEKEDAR MIMPI

***

Selama dua tahun, sejak tahun 2009, setiap Senad mendapatkan perintah melalui mimpi untuk menunaikan ibadah haji degan berjalan kaki, Senad meminta petunjuk kepada Allah melalui istikhoroh. Setiap hari, Senad memantapkan niatnya untuk menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allah tersebut. Senad juga berulangkali membaca kayat al-Qur’an mengenai perintah Allah agar nabi Ibrahim menyembelih puteranya Ismail. Ia berusaha mengambil semangat yang dimiliki oleh nabiullah Ibrahim,

Dan Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya aku pergi meghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.’ Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab,’Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”[1]

Setiap membaca ayat ini hati Senad bergetar, merasa kagum dan sekaligus haru. Bagaimana seorang nabi yang dikenal mempunyai hati paling lembut di dunia ini seperti nabi Ibrahim mampu menempatkan kecintaannya kepada Allah dengan mengorbankan Ismail atas perintah Tuhannya di saat usianya sudah tua[2]. Seorang anak yang sebenarnya sudah lama ia nantikan kehadirannya. Anak yang merupakan anugerah yang paling dicintainya di dunia ini.

Perintah yang datang melalui mimpi itu mampu menggerakan hati dan keimanan Ibrahim, sehingga dalam pergulatan batinnya menghadapi ujian keimanan ini, ia sama sekali tak pernah bertanya kenapa atau mengapa harus anaknya yang disembelih? Ibrahim membuang jauh-jauh segala pertanyaan itu. Kalau pun ada sesuatu yang dipikirannya adalah nasib anaknya, Ismail yang sudah beranjak dewasa dan tampan. Ibrahim sendiri sudah ikhlas menyerahkan semuanya kepada Allah termasuk segala sesuatu yang dimilikinya bahkan anaknya sekali pun.

Walau Ibrahim dan Ismail menghadapi masa depan yang menakutkan, namun mereka sungguh-sungguh menjalankan kepatuhan mereka kepada Allah. Betapa pun berat sekali perasaan Ibrahim. Ia dilingkupi perasaa putus asa, sedih, dan duka karena menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi putera satu-satunya itu akan meninggal di tangannya sendiri, walau pun dia merasa bangga dengan kesalehan dan ketaatan puteranya kepada Allah.

Ketika Ibrahim dan Ismail menyerukan niat mereka untuk mematuhi perintah Allah, Allah menyuruh Ibrahim untuk membawa Ismail, dua pembantu Ibrahim, dan seekor keledai ke sebuah gunung yang kini dikenal sebagai Mekah. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk memotong kayu yang dibutuhkan untuk membakar tubuh Ismail yang dikurbankan. Usai memotong kayu mereka menaruh kayu-kayu bakar itu di punggung keledai untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke gunung.

Setelah mereka mencapai kaki gunung, Ibrahim dan Ismail menurunkan kayu dari punggung keledai dan Ibrahim memerintahkan kedua pembantunya untuk tetap tinggal di kaki gunung bersama dengan keledai tersebut.

Ibrahim dan Ismail kemudian mengambil kayu itu, dan Ibrahim kemudian meletakkannya di bahu Ismail. Sambil mendaki gunung Ismail menggendong kayu di punggungnya dan Ibrahim membawa pisau untuk menyembelih puteranya dan kayu api untuk menyalakan api sesudah Ismail disembelih.

Ketika mereka berdua sampai di tempat yang telah ditentukan oleh Allah, keduanya meletakan barang bawaan mereka, dan Ibrahim membangun sebuah altar sebagai tempat pengurbanan Ismail. Ketika altar berhasil didirikan dan setelah Ibrahim meletakkan kayu untuk membakar tubuh Ismail di sekelilingnya, Ibrahim meletakkan Ismail di atasnya sambil berbaring dengan wajah dan dahi berada di atas altar.

Ismail bersujud kepada Allah sebelum beberapa saat lagi dia disembelih oleh ayahnya sendiri. Saat pisau sudah siap untuk diayunkan, baik ayah mau pun puteranya tak mundur dari keyakinan mereka untuk mematuhi perintah Allah. Sebuah ketaatan yang sempurna dan begitu teguh.[3]

Senad benar-benar meresapi keikhlasan hati yang dimiliki oleh Ibrahim dan puteraya Ismail. Semua milik Allah dan apabila Ia meminta maka kita harus ikhlas untuk memberikannya kepada Allah begitu gumannya di dalam hati. Begitu pun dengan mimpinya untuk berjalan kaki menunaikan ibadah haji. Ia merasa yakin bahwa itu perintah Allah kepada dirinya. Keyakinan itu ia dapatkan karena ia sudah delapan kali bermimpi yang sama, ia juga sudah lama merenungi itu, dan melakukan istikhoroh untuk meminta petunjuk-Nya. Makin banyak ia berdoa dan meminta petunjuk kepada-Nya, makin yakin hatinya bahwa ini adalah perintah Allah bukan sekedar mimpi biasa.

Nabi Ibrahim dan puteranya Ismail mampu memberikan apa pun yang diminta oleh Tuhannya, kenapakah ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji dengan cara berjalan kaki dia harus keberatan dan bertanya mengapa harus jalan kaki? “Ya Allah aku yakin ini perintah-Mu dan dengan jiwa dan ragaku aku akan datang menghampiri-Mu, labbaik allahumu labaik.” Gumannya di dalam hati. Ia sangat yakin. Sangat yakin sekali.***

Ikuti penulis di:

Wattpad:birulaut_78

Instagram: mujahidin_nur

[1].  Qs. Ash-Shaffat : 99-110

[2] Anbiya Allah oleh Ahmad Bahjat Cet. 25

[3] Abraham, The Friend of God oleh Jerald F Dirks, 1 edition Published by Amana Publications, maryland 2002

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru