26.1 C
Jakarta
Array

5 Cara Pengusung Khilafah Bertahan Hidup

Artikel Trending

5 Cara Pengusung Khilafah Bertahan Hidup
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Krisis moneter 1997-1998 memaksa Pak Harto lengser. Seketika itulah Orde Baru berakhir dan beralih ke Orde Reformasi. Iklim kebebasan berpendapat dan berorganisasi dibuka selebar-lebarnya. Surat kabar yang dulunya ditutup Orde Baru kembali terbit. Misalnya Majalah Tempo. Namun di sisi lain, turut muncul ke permukaan beberapa gerakan atau harakah yang dulunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Salah satu gerakan yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam perspektif orang awam, gerakan ini getol mengusung penegakan Syariat Islam melalui sistem politik Khilafah (pengusung Khilafah).

Khilafah adalah salah satu sistem politik dalam sejarah peradaban Islam. Pasca wafatnya Nabi, kepemimpinan umat Islam beralih ke Khulafaurrasyidin. Sayangnya, sistem ini sirna bersamaan munculnya sistem politik dinasti. Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Mamluk, Ayyubiyah, Mughal, Saljuk hingga Imperium Turki usmani. Di abad 20 diterapkan model wilayat el-Faqih di Iran, sementara di Arab saudi menerapkan sistem monarchi.

Wacana Khilafah sempat muncul tahun 1924. Sarekat Islam kala itu memprakarsai “Komite Khilafah” (Central Comite Chilafat).  Memasuki era 2000-an dipopulerkan kembali oleh Hizbut Tahrir. Di era pemerintahan SBY mereka mampu menggelar konferensi Khilafah Internasional (2007), Kongres Mahasiswa Islam Indonesia (2009), Konferensi rajab (2011), Muktamar Khilafah (2013) dan Muslim Youth Movement (2016).

Sementara di benua Eropa dipopulerkan oleh al-Muhajirun (berpusat di inggris). Memasuki tahun 2014, dideklarasikan oleh ISIS melalui sang khalifah, Abu bakar al-Baghdady. Mengutip pewartaan www.globalresearch.ca (16 Juli 2014), ketika dokumen NSA disebarluaskan Edward Snowden, ternyata sang Khalifah ini hasil didikan Mossad. Sialnya, banyak orang dari berbagai negara bergabung ke dalam ISIS.

Cara Bertahan Hidup

Meskipun pemerintah sejak 19 Juli 2017 mencabut legalitas pengusung Khilafah ini, tapi impian mereka terhadap Khilafah belum redup. Bagaimana cara pengusung Khilafah bertahan hidup? Pertama, Eks HTI mengelola aset pendidikan. Berdasar data yang saya himpun, tidak sedikit jumlah asetnya. Misalnya STIE Hamfara, Yogyakarta, Ma’had Syafaratul haramain (bogor), SDIT Insantama, hingga sejumlah bimbel di kota-kota besar. Lewat jalur inilah, impian mereka tersampaikan dengan maksimal. Anggota dan Simpatisan juga makin bertambah.

Kedua, tampil dengan wajah Baru. Eks HTI memasuki tahapan interaksi dengan umat (marhalah tafa’ul ma’al ummah). Model interaksi dengan umat tidak bisa sevulgar ketika era Presiden SBY. Kini mereka tampil dengan format/wajah baru. Contohnya : dulu buletinnya bernama “Al-Islam” kini berganti “Kaffah”. Entah kenapa buletin ini bisa beredar bebas di masjid dan mushollah yang berafiliasi ke Muhammadiyah.

Selain buletin jumat, mereka menggelar majelis Taklim dan kegiatan seminar. Contohnya : Majelis taklim Nafsiah islamiyyah di rejoso-Pasuruan. Majelis taklim ini diasuh Romli Abul wafa. Kalau seminar, pada januari 2018 salah satu elit mereka yaitu KH. Shiddiq al jawi menggelar kajian fiqh muamalah. Tak lupa menggandeng “komunitas tanpa riba”. Di masjid asy-Syahriah, kota Malang. Kala itu memaparkan hukum Syirkah. Beredar pula buletin kaffah di sana.

Ketiga, bergerak di jalur penerbitan buku.  Jika berkunjung ke pameran Islamic book fair, biasanya ada penerbit Al-Azhar press. Buku karangan Hafidz Abdurrahman MA, Abdul Qadim Zallum hingga Syekh Yusuf As-Sabatiin masih terbit. Di akun facebooknya, Al-Azhar press juga memasarkan buku-buku terbitan Pustaka thoriqul Izzah (PTI). Penerbit lainnya adalah Penerbit Quwwah. Penerbit yang berlokasi di Bantul ini menerbitkan “Pemikiran politik Islam” karangan Abdul Qadim Zallum.

Keempat, memanfaatkan media sosial. Contohnya : fanpage “Harakatono” dan “Kaffah media”. Dua fanpage ini cukup rajin membuat aneka meme. Ada juga fanpage “Shautul ulama media” menggalang opini “Kyai Membela HTI”. Isinya menghimpun berbagai pandangan moderat kyai terhadap kiprah Hizbut tahrir.

Kelima, sejumlah elit eks HTI sepanjang 2018 hingga 2019 terlihat memeriahkan aksi 212, aksi 411 dan Ijtimak ulama. Juru bicara, Ir. Ismail Yusanto terlihat hadir dalam Ijtimak ulama IV di Bogor. Ini fenomena janggal, tak biasanya mereka mau bergabung dengan gerakan lain. Jangan lupa bahwa HTI memisahkan diri dari FUI. Akibatnya Muhammad Al-Khattath memilih resign dan pihak HTI pun mendirikan korannya sendiri, yakni “Media Ummat”.

Akhir kata, saya melihat ketidakseriusan di pihak pemerintah. Terlanjur membekukan badan hukum organisasinya tetapi membiarkan aset pendidikan, penerbitan buku dan koran milik mereka eksis. Kemudian, gerakan lain mendiamkan dan memberi tempat berteduh bagi mereka. Wallahu’allam.

Fadh Ahmad Arifan, alumnus Fakultas syariah UIN Malang.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru