32.9 C
Jakarta

2021, Terorisme Terus Berkobar?

Artikel Trending

Milenial Islam2021, Terorisme Terus Berkobar?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia pada 2020 ini tampak masih belum bebas dari ancaman terorisme. Gejala ini terlihat dari sejumlah peristiwa yang menghantam negara Indonesia sepanjang 2020. Beberapa ancaman terorisme meneror beberapa lokasi strategis di Indonesia, bahkan pada rakyat kecil di pelosok desa.

Berbagai aksi terorisme selama 2020, telah menambah daftar panjang catatan “merah” di Indonesia. Pembusukan demokrasi dan harmonisme berlangsung sebab tingkah buruk para terorisme.

Itu mengindisikan bahwa, 2021 nanti, masih akan terus menjadi perhatian serius dan tantangan bagi kita. Sebab, kaderasi di berbagai tempat, seperti wilayah-wilayah Jawa Tengah, masih terus berlangsung dan berkembang.

Meski pemerintah telah tegas, tapi kaderasi dan perekrutan calon terorisme tambah menyebar luas. Anak-anak kecil yang cerdas direkrut, seperti ditemukan di vila Semarang minggu lalu. Dan, beberapa perempuan seperti kejadian bom-bom di Surabaya, Bekasi, dan Jakarta menjadi jalan “basah” bagi para teroris.

Walau kini, beberapa negara menyatakan bahwa Indonesia relatif berhasil memberantas terorisme (Azra, 2020), tetapi para teroris dan napiter, dari gelagatnya masih siap ingin bertempur, melakukan aksi terorisme di berbagi penjuru Indonesia.

Bisa saja, dalam bulan Desember 2020 ini, beberapa teroris ada yang ditangkap dan memberi kesan aman bagi kita. Tetapi lainnya, yang masih diburu seperti Ali Kalora dan sebangsanya, di hutan Poso, masih belum ditemui rimbanya hingga sekarang.

Penting dicermati, suasana senyap nan adem ini, sering memiliki nuansa yang tak terduga. Gejala baru sering hadir. Ia menghantam pada kejiwaan kita. Pada romantisme kehidupan kita. Seperti tahun 2016, di suasana tenang, beberapa teroris pada ditangkapi, tetapi ada gejala lain dan baru, yang pada saat itu tindakan terorisme berkobar.

Pertama, saat itu adanya calon pengebom yang siap bunuh diri yang sedang dipersiapkan oleh para teroris. Dan itu perempuan: Dian Yuli Novita. Kedua, gejala baru ini adalah, banyaknya anak kecil dan dewasa yang ingin bergabung bersama para teroris. Kasus-kasus sepanjang 2016 sampai 2020, terbanyak yang ditangkap adalah anak yang barusia di bawah umur 18 tahun (Kompas, 24/12/2016).

Menurut Azyumardi Azra, dua gejala di atas, mengindikasikan bahwa merekalah bagian masyarakat yang paling rentan terkontaminasi paham dan praktis ektrem, radikal dan teroristik (Azyumardi Azra, 2020).

2021 Apakah Teroris Akan Terus Berkobar?

Sejak masa reformasi, hingga kini, kenapa terorisme masih bergolak dan jaringannya tambah mapan di bumi Indonesia? Pertanyaan inilah mungkin yang harus dan perlu kita pikirkan saat ini, menjelang barakhirnya tahun 2020. Dan apakah 2021 nanti, para teroris ini masih eksis dalam menselancarkan serangannya, pada kehidupan kita yang tenang?

Seperti peristiwa sebelum-sebelumnya, tidak ada penjelasan tunggal yang bisa menjelaskan bagaimana itu terjadi. Dan tidak ada penjelasan kongkrit dan mapan untuk menjawab pertanyaan di atas, berserta sampingannya.

Tetapi, terorisme hadir dan kembali hidup–yang bagi para peneliti hari ini mereka, disebut sebagai “masyarakat pasif”—akan menjerumuskan secara diam-diam pada pihak lawan ke dalam paham teroristik—dengan kepasifannya. Terorisme melakukan jalan “pasif”, yang bagi Azra, itu merupakan amalgamasi dari kombinasi faktor-faktor yang mendukung aktivitasnya.

BACA JUGA  Stop Polarisasi! Rakyat Indonesia Mesti Bersatu

Faktor utama yang mendorong aksi-aksi terorisnya dan perang adalah, berlanjutnya kekerasan dan perang yang ada di sebarang negara kita Indonesia. Negara Arab Saudi, Suriah, Afghanistan dan lain-lain, utamanya terkait gejolak ISIS. Kemunculan ISIS meski terbilang baru (2013), cukup banyak masyarakat yang simpatik dan berbaiat kepadanya, baik masyarakat Barat dan Indonesia.

Dengan sponsor surga dan negara Islam yang akan dibangun sama persis seperti kehidupan masa Nabi dan khalifah, membuat masyarakat luas masuk dalam perangkapnya. Mereka menjual isu agama dan kejelekan sistem yang dibuat manusia untuk dijadikan bumbu alasan bahwa negara ini dan itu, tidak sesuai dengan Islam, maka karena demikian, harus dibangun negara Islam. Dan negara bersistem bauatan manusia, harus ditumpas.

Mereka juga menjual penderitaan warga Muslim, meski hanya sekadar tipu-tipu lewat video pendeknya. Tetapi itu adalah modal yang sangat fantasis membuat kaum lugu bersimpati kepadanya. Maka itu, dengan semangat yang membara, mereka bergabung dangan ISIS, meski kemudian hanya dijadikan alat martir untuk membunuh sesama (jika lelaki) dan menjadi barang murah: pemuas nafsu mereka (jika perempuan).

Konflik, perang, dan berbagai strategi sponsor tipu-tipu ISIS di atas, menjadi sumber motivasi dan inspirasi dari sebagian orang dan kelompok teroris. Mereka, ISIS, memang sering melakukan “penyatuan emosi” umat Muslim dengan isu agama. Karena terbawa pada isu itu, masyarakat Muslim ingin membalas dendam dengan melakukan “jihad” teroristik.

Upaya-upaya itu dilakukan sekadar ingin berbalas dendam. Tetapi juga kadangkala terjebak pada teologi “syahidisme”, yang mana ketika mati berjuang membela agama, maka ia akan mati syahid dan masuk surga. Dengan masuk surga mereka menganggap bisa mengencani beribu-ribu bidadari cantik susakanya, dan sepuasnya. Sebuah misi yang fatalistis dan saruistik.

Begitu juga teologi “hijrah” dan “jihad” menjadi bumbu utama, mengapa sebagian umat Muslim (anak muda, artis, dan mayarakat awam) mutakhir bergabung di jalan terorisme. Sepanjang 2020 ini, jika ada teroris baik anak muda, tua, dan perempuan menjalankan aksi terorismenya, alasan utama mereka adalah hijrah dan melakukan jihad Islam. Sungguh teologi itulah yang barangkali menjadi justifikasi keagamaan untuk melakukan aksi terorisme dan aksi kekerasan yang lain atas nama agama, hijrah, jihad, dan syahid.

Akankah 2021 aksi terorisme masih akan terus bergolak dan berkobar? Melihat gejala populisme yang berkembang sepanjang 2019 ini, apalagi ditambah dengan politik identitas yang dimainkan para politisi untuk kepentingan pragmatisnya, tentunya potensi itu akan nyaris besar.

Tetapi harapan 2021, ini kita diberi kemampuan selalu mawas diri untuk menebalkan paham moderasi kita, pada diri sendiri, keluarga, teman, kerabat, dan para tetangga, beserta jamaah pengajian kita. Kita tidak mungkin selalu menunggu apa intruksi dari aparat keamanan, apalagi para politisi.

Pemberantasan terorisme tentu saja bukan hanya tanggung jawab negara atau Densus 88. Melainkan kita yang mencitai perdamaian di dunia. Tapi, 2021 ini, harapan kita tetap sama: menunggu pemerintah lebih tegas tuntas melawan terorisme ke akar-akarnya. Semoga.

 

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru