31 C
Jakarta
Array

Pancasila Sebagai Kalimatun Sawa Kebhinekaan

Artikel Trending

Pancasila Sebagai Kalimatun Sawa Kebhinekaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pancasila Sebagai Kalimatun Sawa Kebhinekaan

Oleh: Mohammad Sholihul Wafi*

Setelah perdebatan panjang terkait diterapkannya konsep negara-bangsa sebagai konstruksi NKRI dan Pancasila sebagai idelogi negara pada awal perumusannya, kini, muncul lagi kelompok yang ingin mendirikan Republik Indonesia berdasar khilafah dengan berideologi Islam. Tentu saja, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena akan menuai penolakan dan konflik yang bisa berujung pada pertumpahan darah. Lagipula, pembentukan NKRI berdasarkan Pancasila merupakan kristalisasi cita-cita klektif bangsa Indnesia yang majemuk (Din Syamsuddin,2015: 279). Itulah hasil ikhtiyar panjang perjalanan bangsa dalam lintasan sejarah yang tidak boleh dilupakan demi kemajuan negara kita bersama.

Negara, sebagaimana ungkapan Hegel, merupakan bentuk persinggungan antara kebebasan subjektif (subjective liberty) dan kebebasan objektif (objective liberty) seluruh elemen dan komponen bangsa. Sebab itu, pemilihan NKRI berdasar Pancasila adalah titik temu (meeting of mind) seluruh komponen tersebut. Pemilihan Negara Kesatuan agar seantero nusantara yang terdiri dari beribu pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke dapat bersatu. Sementara, penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan bentuk upaya mempertemukan kebhinnekaan nilai dan tradisi yang terkanndung dalam berbagai ras, agama, suku, bahasa, dan budaya.

Tentu saja, tidak mudah merangkai keberagaman yang majemuk tersebut dalam tubuh yang satu bernama Indonesia. Ini hanya bisa terjadi jika ada kelapangdadaan dan tenggang rasa yang besar, serta kebersamaan wawasan kenegaraan para pendiri bangsa. Kita bisa lihat ini dari perdebatan panjang sila pertama Pancasila yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas usul Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Hoof Bestur Muhammadiyyah waktu itu. Hal ini karena ada keberatan dari suatu kelompok atas tambahan tujuh kata tersebut, yang dikhawatirkan dapat menjadi ancaman keluar dari negara Indonesia yang baru mengawali cita-cita kemerdekaan.

Maka, disini dapat dipahami bahwa kebhinnekaan atau keragaman sangat rentan terhadap perpecahan. Meskipun pada kondisi yang lain bisa juga menjadi kekuatan. Tapi, ketika egoisme, eksklusivisme, dan absolutisme dikedepankan dalam kebhinnekaan ini, maka akan terjadi disintegratif yang akan mengancam perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, pengalaman bangsa-bangsa lain bisa dijadikan contoh, betapa keberagaman memetakan sentimen kepentingan hingga mencuat konflik yang berkepanjangan. Lihat saja, apa yang terjadi di Timur Tengah ataupun negara-negara lainnya.

Oleh sebab itu, diperlukan acuan bersama (common platform) dan acuan bersama (common denominator). Disinilah Pancasila memerankan hal itu.

Meminjam bahasa Al-Qu’an, Pancasila adalah kalimatun sawa’ atau “alat tunggal pemersatu” kebhinnekaan.

Secara lebih lanjut, Din Syamsuddin menyatakan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai “pernyataan politik”, tapi juga sebagai “pernyataan ideologis”. Sebagai pernyataan politik, ia mempersatukan berbagai kepentingan dan aliran politik. Sebagai pernyataan ideologis, Pancasila adalah penunjukan nilai-nilai yang terdapat pada banyak kelompok masyarakat, baik agama maupun adat.

Tidak Dapat Diganggu Gugat

Kenyataan Pancasila sebagai kalimatun sawa kebhinnekaan menegaskan bahwa kehadirannya sebagai landasan dan acuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat diganggu gugat. Karena justru akan memicu konflik penyulut perpecahan. Apalagi jika diganti hanya berdasar salah satu agama aja, seperti konsep khilafah Islam. Sebab, meskipun agama Islam dalah agama mayoritas masyarakat Indonesia, tapi penggantian bentuk negara menjadi khilafah akan menimbulkan kesan agama lain tidak dianggap. Pun, penulis yakin bahwa tidak ada satupun umat beragama selain Islam yang akan bersepakat. Sehingga, pemaksaan seperti itu akan menenggelamkan kita pada jurang kehancuran negara akibat perpecahan.

Lagipula, jelas bahwa dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 103, Allah berfirman “Dan berpegangteguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah berpecah-belah…”. Artinya, Islam sebagai agama tidak dibenarkan bersikap tertutup terhadap sebuah ide khilafah yang tidak memiliki landasan kuat baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Islam lebih menekankan persatuan daripada pemaksaan ide yang berujung perpecahan.

Jadi, pada dasarnya segala tindakan yang mengancam persatuan tidak dapat dibenarkan. Mau itu tindakan penggantian dasar negara yang berpihak pada satu kelompok, ataupun tindakan terorisme dan radikalisme lainnya. Ini karena, NKRI jauh lebih berharga daripada sentimen kelompok. NKRI adalah harga mati yang harus dijunjung tinggi. Tidak ada tawar-menawar lagi. Semua harus menjaganya dalam bingkai Pancasila yang telah kita sepakati secara bersama sebagai kalimatun sawa kebhinnekaan kita bersama. Wallahu a’lam bish-shawaab.

*Penulis adalah alumnus PP. Ishlahusy Syubban Kudus

 

 

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru